Opini
Kemenangan yang Membunuh: Dilema Tentara Israel

Di balik gemerlap angka-angka kemenangan dan sorak-sorai media tentang dominasi militer, ada nyawa yang hilang tanpa suara. Mereka yang seharusnya menjadi simbol keberanian dan kekuatan justru hancur di balik seragam mereka sendiri. Bunuh diri tentara Israel yang baru kembali dari Gaza bukan sekadar statistik kering. Itu adalah jeritan yang tak terdengar dari medan perang yang tak pernah berhenti, medan perang yang sekarang lebih terasa di dalam kepala mereka sendiri daripada di garis depan. Ini tentang manusia. Bukan robot. Bukan mesin. Tentara yang menatap kehancuran, menyaksikan teman-teman mati, dan menyadari bahwa medan perang sesungguhnya adalah trauma, rasa bersalah, dan dilema moral yang menumpuk tanpa akhir.
Angka resmi mengungkap kenyataan yang mengerikan: tujuh dari enam belas bunuh diri tentara dalam tujuh bulan pertama 2025 adalah reservis. Dua di antaranya meninggal saat masih bertugas di Gaza. Tahun-tahun sebelumnya juga menunjukkan tren yang mengkhawatirkan: 21 kasus pada 2024, 17 pada 2023, dan 14 sebelumnya. Ini bukan hanya statistik. Ini cermin dari tekanan psikologis yang menggerogoti pasukan dari dalam, bahkan ketika mereka tampak kuat di luar. Ironisnya, saat Netanyahu dan media memamerkan “keberhasilan operasi” dan dominasi militer, ada tentara yang tidak sanggup menghadapi hasil dari perintah yang mereka jalankan.
Yang lebih tragis adalah sebagian besar korban bunuh diri ini telah kembali ke rumah. Mereka sudah jauh dari medan tempur fisik, namun tetap tidak bisa lolos dari medan perang psikologis. Trauma begitu dalam menempel hingga setiap suara, setiap bau, setiap ingatan, menjadi trigger yang memaksa mereka menghadapi kembali ledakan, darah, dan teriakan yang pernah mereka saksikan. Mereka kembali ke keluarga, ke lingkungan yang tampak aman, tapi otak mereka tetap di garis depan. Bukti nyata bahwa secara psikologis, tentara Israel kalah, meski tubuh mereka telah pulang dari Gaza. Kemenangan yang diumumkan pemerintah hanyalah lapisan tipis di atas kehancuran internal pasukan mereka sendiri.
Militer Israel bahkan menelusuri setiap kasus bunuh diri secara resmi: catatan pribadi, wawancara dengan keluarga dan rekan dekat. Fakta ini menegaskan satu hal yang pahit: militer mengetahui parahnya krisis internal ini, tapi tidak melakukan langkah sistemik untuk menyelamatkan tentara. Program dukungan psikologis jangka panjang nyaris tidak ada. Rotasi pasukan, perhatian pada kesehatan mental, atau pertimbangan menarik pasukan dari operasi ofensif—tidak ada. Negara yang seharusnya melindungi pasukan justru membiarkan mereka runtuh. Pilihan yang tersisa bagi tentara hanyalah menghadapi trauma hingga titik ekstrem atau menyerah pada kehancuran mental—yang sering berujung pada bunuh diri.
Ini bukan masalah individu semata. Setiap bunuh diri adalah tragedi keluarga, komunitas, dan militer. Bayangkan tetangga di Tel Aviv atau Haifa menerima kabar bahwa anak, suami, atau saudara mereka meninggal bukan karena serangan musuh, tapi karena beban psikologis yang menumpuk tak tertahankan. Sementara itu, pemerintah terus memamerkan “operasi berhasil” dan media menyorot angka penghancuran target. Pilihan ketiga—menghentikan perang atau menarik pasukan—tidak pernah muncul di meja keputusan Netanyahu. Nyawa tentara dianggap tidak seharga propaganda kemenangan. Bunuh diri menjadi efek samping yang tak bisa lagi disembunyikan.
Trauma tentara Israel adalah kombinasi dari tekanan fisik, psikologis, dan moral. Mereka menyaksikan teman-teman mati di depan mata, menghadapi risiko permanen bagi tubuh sendiri, dan ikut ambil bagian dalam operasi yang menimbulkan penderitaan warga sipil. Konflik ini bukan sekadar perang konvensional; ini adalah perang moral dan psikologis, di mana mereka yang diperintahkan menyerang terus dihantui oleh konsekuensi perbuatan mereka sendiri. Tekanan ini menimbulkan depresi berat, gangguan stres pasca trauma (PTSD), rasa bersalah, dan pada banyak kasus, pilihan tragis untuk mengakhiri hidup.
Ironi tajam muncul ketika melihat paradoks antara klaim kemenangan dan realitas psikologis pasukan. Pemerintah Israel menonjolkan angka operasi sukses, sasaran hancur, dan superioritas militer, seolah semua terkendali. Padahal kenyataannya, tentara yang kembali dari medan tempur masih menderita, masih terperangkap dalam trauma, dan banyak yang tidak sanggup bertahan secara mental. Angka bunuh diri adalah bukti: perang telah menelan pasukan sendiri, bahkan ketika mereka sudah jauh dari garis depan. Kemenangan yang digembar-gemborkan adalah kemenangan kosong—kemenangan yang terlihat di papan skor, sementara nyawa dan kesehatan mental tentara hancur.
Saya rasa, dari perspektif ini, seluruh glorifikasi kemenangan tampak hampa. Bunuh diri tentara bukan sekadar tragedi personal; itu adalah kritik terhadap logika perang itu sendiri dan kebijakan pemerintah. Jika perang memaksa tentara menghadapi dilema moral ekstrem sampai mati akibat trauma psikologis, ini menunjukkan kegagalan strategi pemerintah dalam mempertimbangkan dampak manusiawi. Netanyahu bisa memamerkan dominasi militer, tapi negara tidak bisa menutupi kenyataan psikologis yang menghancurkan pasukannya sendiri.
Dari perspektif lokal, analoginya terasa jelas: tetangga yang tampak kuat di luar, namun diam-diam berjuang melawan beban yang tak terlihat. Inilah yang dialami tentara Israel: terlihat gagah dan dominan, tapi rapuh di dalam. Ketika pemerintah mengabaikan faktor internal ini, pasukan menjadi pion dalam permainan besar yang jauh lebih penting daripada nyawa individu—permainan narasi internasional dan kekuasaan politik.
Yang lebih tragis, banyak tentara sudah kembali dari Gaza, pulang ke rumah, tetapi tetap tidak mampu melepaskan diri dari trauma yang menempel. Ini bukti bahwa secara psikologis, tentara Israel kalah. Medan tempur fisik mungkin telah mereka tinggalkan, medan tempur mental dan moral tetap membayangi, lebih mematikan daripada senjata manapun. Bunuh diri adalah bukti paling jelas dari keruntuhan ini, sekaligus cermin kegagalan kebijakan yang mengabaikan manusia di balik seragam.
Akhirnya, narasi ini menegaskan satu hal: perang yang terus berlangsung bukan hanya menghancurkan yang ditaklukkan, tetapi juga menghancurkan mereka yang diperintah untuk menyerang. Bunuh diri tentara Israel adalah simbol tragis dari paradoks ini. Dunia boleh menatap “kemenangan” yang dipromosikan, tapi kenyataan sesungguhnya adalah pasukan yang berjatuhan di medan perang psikologis, sementara pemerintah tetap tak peduli. Pelajaran yang bisa diambil bukan sekadar strategi militer atau angka statistik, tapi tentang manusia yang dijadikan alat, dan konsekuensi yang tidak pernah dihitung dalam klaim kemenangan yang berkilau.
Di balik layar gemerlap klaim dan sorak-sorai media, ada korban yang diam, luka yang dalam, dan keputusan pemerintah yang mengabaikan hak paling dasar: keselamatan hidup dan ketenangan jiwa mereka yang diperintah untuk menyerang. Bunuh diri tentara Israel bukan sekadar tragedi, melainkan cermin gelap dari absurditas perang modern, di mana kemenangan yang diklaim sesungguhnya membunuh dari dalam, dan kepedulian manusia diabaikan demi narasi dominasi yang rapuh dan sementara.
Pingback: Tentara Israel Saling Tembak, Friendly Fire Tinggi
Pingback: 900 Tentara Israel Tewas, Mitos Ked Runtuh