Connect with us

Opini

Kemenangan Senyap Iran di Muscat

Published

on

Studio berita BBC Persian dipenuhi suasana tegang saat seorang koresponden melaporkan perkembangan terbaru dari Muscat, Oman. Layar di belakangnya menampilkan peta Timur Tengah dengan garis-garis merah yang melambangkan ketegangan geopolitik. Di depan meja presenter, sebuah teks berjalan cepat menyampaikan kabar: Iran telah menunjukkan dominasinya dalam pembicaraan dengan AS. Koresponden itu menyebutkan tiga poin penting yang menjadi sorotan dunia—pemilihan lokasi, larangan media internasional, dan format negosiasi tidak langsung—yang kini dikenal sebagai kemenangan awal Iran di panggung diplomasi.

Perundingan di Muscat yang baru saja berlangsung menjadi sorotan karena menunjukkan kuatnya posisi Iran dalam menghadapi tekanan AS. Iran berhasil memaksakan Oman sebagai lokasi pembicaraan, menolak usulan AS untuk menggunakan UEA. Oman, dengan sejarah panjangnya sebagai mediator netral, telah memfasilitasi dialog antara Iran dan AS sejak lama, termasuk perundingan kesepakatan nuklir 2015. UEA, sebaliknya, dianggap terlalu dekat dengan AS dan Israel, terutama setelah Perjanjian Abraham yang memicu kemarahan Iran. Dengan memilih Oman, Iran memastikan pembicaraan berlangsung di wilayah yang lebih menguntungkan bagi mereka, sebuah langkah yang menegaskan kontrol mereka atas dinamika negosiasi.

Langkah kedua yang mengejutkan adalah larangan Iran terhadap kehadiran media internasional, sebuah keputusan yang diterima secara diam-diam oleh AS dan Oman. Menurut laporan ABC News, pembicaraan ini berlangsung selama dua setengah jam tanpa sorotan kamera global. Iran, yang sering merasa narasinya diputarbalikkan oleh media Barat, memilih untuk mengontrol informasi yang keluar. Ini bukan hanya soal strategi komunikasi, tetapi juga upaya untuk menjaga dukungan domestik di tengah tekanan ekonomi akibat sanksi AS. Dengan langkah ini, Iran memastikan bahwa cerita yang sampai ke publik adalah cerita yang mereka susun sendiri, sebuah kemenangan taktis yang memperkuat citra mereka sebagai pihak yang tak mudah diatur.

Poin ketiga yang tak kalah penting adalah desakan Iran pada format pembicaraan tidak langsung, meskipun AS menginginkan dialog tatap muka. Reuters melaporkan bahwa Iran, melalui Menteri Luar Negeri Abbas Araghchi, hanya bersedia bernegosiasi melalui mediator Oman, sebuah pendekatan yang telah mereka gunakan sejak lama. Format ini memberikan Iran ruang untuk bermanuver tanpa tekanan langsung dari delegasi AS, sekaligus menghindari kesan bahwa mereka tunduk pada musuh lama mereka. Persetujuan AS terhadap format ini menunjukkan bahwa Iran berhasil memaksakan syarat mereka, sebuah langkah yang sejalan dengan kebijakan mereka sejak Revolusi Islam 1979 yang menolak hubungan langsung dengan Washington kecuali dalam kondisi tertentu.

Ketiga kemenangan ini bukan sekadar simbolis, tetapi juga memiliki implikasi strategis yang mendalam. Dengan memilih Oman, Iran tidak hanya mendapatkan lokasi yang netral, tetapi juga mengirimkan pesan bahwa mereka tidak akan berkompromi dengan tekanan AS. Oman, menurut Ynetnews, telah lama menjadi penengah dalam konflik regional, termasuk antara Washington dan kelompok Houthi pada 2016. Pilihan ini juga mencerminkan kecerdasan Iran dalam memanfaatkan hubungan historis mereka dengan Oman, yang tetap baik meskipun negara itu bagian dari Gulf Cooperation Council yang sering bersitegang dengan Iran. Ini adalah langkah cerdas yang memperkuat posisi Iran di panggung regional.

Larangan media internasional, di sisi lain, menunjukkan betapa Iran memahami pentingnya narasi dalam diplomasi modern. Dalam laporan The Guardian, disebutkan bahwa pembicaraan ini dianggap sebagai momen “Nixon di China”—sebuah metafora untuk terobosan diplomatik yang tidak terduga. Namun, dengan menutup akses media, Iran memastikan bahwa momen ini tidak diwarnai oleh interpretasi Barat yang mungkin merugikan mereka. Ini sangat penting mengingat laporan dari sebuah lembaga penelitian AS pada 2025 yang menyebut ancaman nuklir Iran telah mencapai “bahaya ekstrem,” sebuah narasi yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan tekanan internasional terhadap Tehran. Dengan mengendalikan informasi, Iran menjaga ruang untuk bernegosiasi tanpa tekanan publik yang berlebihan.

Format pembicaraan tidak langsung juga memberikan Iran keuntungan psikologis dan strategis. Menurut ABC News, utusan AS Steve Witkoff dan Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi hanya bertukar posisi melalui mediator, sebuah proses yang memungkinkan Iran untuk menyaring pesan dan menjaga jarak emosional dari AS. Ini sangat penting bagi Iran, yang harus menyeimbangkan tekanan eksternal dengan kebutuhan domestik. Rakyat Iran, yang telah lama hidup di bawah sanksi, sering skeptis terhadap hubungan dengan Barat. Dengan menghindari pembicaraan langsung, Iran menjaga citra mereka sebagai pihak yang tidak mau tunduk, sebuah langkah yang memperkuat dukungan internal sekaligus memberikan fleksibilitas dalam negosiasi.

Namun, meskipun ketiga poin ini menunjukkan dominasi Iran di tahap awal, kita harus melihatnya dalam konteks yang lebih luas. Perundingan ini masih jauh dari selesai, dan seperti yang dilaporkan Reuters, Iran juga menghadapi tekanan besar, termasuk ancaman serangan militer dari AS jika pembicaraan gagal. Kemenangan prosedural ini memang memberikan Iran posisi tawar yang lebih kuat, tetapi hasil substantif—seperti keringanan sanksi atau pengakuan atas program nuklir mereka—masih belum jelas. Iran harus memanfaatkan keunggulan awal ini untuk mencapai tujuan mereka tanpa memicu eskalasi lebih lanjut, sebuah tantangan yang tidak mudah di tengah ketegangan geopolitik yang terus meningkat.

Secara keseluruhan, tiga kemenangan Iran di Muscat menunjukkan bahwa mereka adalah kekuatan yang tidak bisa dianggap remeh dalam diplomasi internasional. Dengan mengatur lokasi, narasi, dan format pembicaraan, Iran telah menegaskan bahwa mereka mampu berdiri tegak di hadapan tekanan global. Namun, perjalanan masih panjang, dan dunia menanti apakah keunggulan awal ini akan membawa mereka pada kemenangan yang lebih besar atau justru menjadi pijakan yang rapuh di tengah badai geopolitik yang tak kunjung reda.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *