Connect with us

Opini

Kelompok Perlawanan Suriah Lahir: Di Mana Al-Sharaa?

Published

on

Kelompok perlawanan Suriah mengklaim bertanggung jawab atas serangan terhadap pasukan pendudukan Israel di zona buffer, menurut laporan Al-Akhbar. Ini bukan serangan biasa; ini adalah pertama kalinya dalam dua bulan terakhir ada kelompok yang berani menargetkan pasukan Israel di wilayah Suriah. Sebuah momen bersejarah yang seharusnya membuat dada para patriot Suriah membusung bangga. Namun, tunggu dulu—di mana Ahmad al-Sharaa? Bukankah dia pemimpin transisi yang katanya sah? Atau mungkin dia sedang sibuk menghitung kertas-kertas transisi?

Mungkin kita harus memahami, menjadi pemimpin transisi itu tidak mudah. Terlalu banyak agenda, rapat, dan tentu saja, banyak waktu yang dihabiskan untuk berdiam diri, menimbang “keseimbangan geopolitik.” Tapi apakah itu alasan untuk membiarkan rumah sendiri diinjak-injak pasukan asing? Jika ya, alangkah mulianya diam itu.

Kelompok perlawanan yang muncul ini bukan sekadar sekumpulan orang bersenjata. Mereka adalah cermin, pantulan dari kegagalan seorang pemimpin menunjukkan keberanian. Mereka hadir karena ada ruang kosong yang seharusnya diisi oleh pemerintah, tapi dibiarkan menganga, mengundang debu dan rasa malu.

Bayangkan ini: rumah Anda diobrak-abrik penyamun. Tetangga Anda datang melawan, sementara Anda duduk manis di ruang tamu, menyesap teh, sambil berkata, “Kita tunggu saja apakah mereka akan pergi dengan sendirinya.” Hebat sekali, bukan? Sebuah definisi baru dari kepemimpinan.

Apakah al-Sharaa mengira nasionalisme cukup dengan pidato dan pernyataan pers? Nasionalisme itu tindakan, bukan retorika kosong yang hanya bergema di lorong-lorong birokrasi. Rakyat tidak butuh kata-kata manis ketika peluru dan bom menghujani tanah air mereka. Mereka butuh aksi.

Kelompok perlawanan ini, dengan segala kontroversinya, menunjukkan satu hal: mereka tidak menunggu izin dari siapa pun untuk membela tanah air. Mereka tidak duduk di kursi empuk, memikirkan strategi diplomasi yang tidak pernah berakhir. Mereka turun ke medan, menghadapi risiko nyata, sesuatu yang tampaknya terlalu berat untuk ditanggung seorang pemimpin transisi.

Mungkin ada yang bilang, “Pemerintah harus berhati-hati, ini soal politik internasional.” Baiklah, tapi sejak kapan kedaulatan menjadi bahan tawar-menawar di meja perundingan? Sejak kapan hak untuk mempertahankan tanah sendiri bergantung pada kalkulasi diplomatik? Sejak kapan diam menjadi simbol kebijaksanaan?

Kita hidup di zaman di mana definisi kepemimpinan telah direduksi menjadi kemampuan menghindari konflik. Ironis, karena sejarah selalu mencatat mereka yang berdiri tegak di tengah badai, bukan mereka yang bersembunyi di balik tirai, berharap badai itu lewat tanpa menyapanya.

Al-Sharaa seharusnya menjadi suara paling lantang menentang agresi ini. Tapi suara itu tenggelam, mungkin tertimpa tumpukan dokumen-dokumen transisi yang entah kapan selesai. Sementara itu, kelompok perlawanan menunjukkan bahwa keberanian tidak butuh mandat resmi, hanya butuh hati yang tidak rela melihat tanah air diinjak-injak.

Jadi, ke mana al-Sharaa? Apakah dia sedang sibuk mengukur stabilitas politik dengan penggaris diplomasi? Atau mungkin dia percaya bahwa waktu adalah penyembuh terbaik, bahkan untuk luka akibat pendudukan? Jika demikian, semoga dia sadar, luka yang dibiarkan tanpa diobati hanya akan membusuk.

Dalam sejarah, nama-nama besar dikenang bukan karena mereka pandai bernegosiasi, tapi karena mereka tahu kapan harus berdiri, kapan harus bertindak. Al-Sharaa punya kesempatan itu. Tapi kesempatan tidak menunggu, sama seperti musuh tidak menunggu kita siap untuk melawan.

Jadi, mungkin pertanyaan sebenarnya bukan “ke mana al-Sharaa?” Tapi “apakah dia benar-benar ada di sana?” Karena seorang pemimpin yang tidak hadir di saat paling dibutuhkan, sama saja dengan tidak pernah ada sama sekali.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *