Opini
Kekejaman Al-Sharaa: Suriah dalam Kepungan Darah

Sebuah negeri yang dulu dikenal dengan pasar rempahnya yang riuh, masjid-masjid berornamen indah, dan kafe-kafe di tepi Laut Mediterania yang ramai dipenuhi tawa, kini telah berubah menjadi negeri hantu, di mana setiap jalan, rumah, dan sekolah menyimpan rahasia kekerasan. Di Suriah, kini lebih dari 3.000 orang dieksekusi secara ekstrayudisial dalam sembilan bulan terakhir. Angka-angka ini bukan sekadar statistik: ini adalah jeritan yang bergema di udara panas Homs, Hama, dan Tartous, di mana setiap langkah warga sipil bisa menjadi tiket menuju kematian.
Pemerintahan Ahmad al-Sharaa, alih-alih menjadi pelindung rakyat, telah menjelma menjadi eksekutor sistematis. Aparat keamanan, milisi loyal, bahkan mantan cabang Al-Qaeda, Hayat Tahrir al-Sham (HTS), saling bersinergi dalam membasmi minoritas Alawite dan Druze, kelompok yang dianggap “murtad” oleh ideologi kekuasaan baru. Eksekusi massal di 55 lokasi pada bulan Maret adalah puncak gunung es; nyatanya, kekerasan sektarian kini terjadi hampir setiap hari. Dan dunia? Dunia menonton seolah ini sekadar berita singkat di kolom terakhir surat kabar.
Yang paling menyedihkan, proses hukum seolah mati suri. Tidak ada satu pun pelaku yang diadili. Bukankah pemerintah seharusnya menjadi pelindung dan penegak keadilan? Namun di bawah al-Sharaa, hukum hanyalah tirai tipis untuk menutupi kebiadaban. Tanpa hukum, kemarahan rakyat menumpuk, trauma mengakar, dan suatu hari bisa meledak dengan cara yang lebih mengerikan daripada kekejaman yang berlangsung saat ini. Kita semua tahu: ketidakadilan yang berulang hanya memperpanjang penderitaan, dan rakyat menjadi saksi sekaligus korban bisu dari sebuah eksperimen kekuasaan yang gagal secara moral.
Cerita Mazen Najla, yang ditembak di tokonya sendiri, Aloush bersaudara yang hanyut di sungai setelah diculik, atau Amira Nasouri yang tewas akibat granat di rumahnya, menunjukkan satu hal: kehidupan sehari-hari warga sipil kini menjadi medan perang. Jalanan yang dulu diisi tawa anak-anak dan suara pedagang kini hanya bergaung dengan ketakutan. Setiap langkah kecil, setiap aktivitas sederhana—pergi ke toko, mengendarai sepeda motor, atau mengantar anak ke sekolah—bisa menjadi gerbang menuju kematian. Di Suriah era al-Sharaa, normalitas menjadi kemewahan yang tak pernah dimiliki rakyat.
Lebih mengerikan lagi, angka-angka ini hanyalah sebagian kecil dari tragedi nyata. SOHR mencatat 8.180 warga sipil tewas, termasuk 438 anak-anak dan 620 perempuan. Bayangkan anak-anak yang menatap dunia dengan rasa ingin tahu, kini tak pernah lagi menatap mata ibunya. Bayangkan perempuan yang menanam sayuran di kebunnya, kini menjadi korban kebiadaban. Pemerintahan yang seharusnya menjaga keamanan kini berubah menjadi mesin pembunuh yang terorganisir, membunuh keyakinan, harapan, dan nyawa manusia.
Ironi paling pahit adalah kolaborasi antara pemerintah dan milisi ekstremis. Aparat yang seharusnya menjaga warga sipil kini bekerja sama dengan mantan cabang Al-Qaeda. Bayangkan jika di kampung kita, aparat kepolisian tiba-tiba bekerja sama dengan kelompok kriminal yang dulunya merampok pasar; siapa yang masih percaya bahwa hukum bisa menegakkan keadilan? Al-Sharaa tampaknya percaya bahwa kekerasan yang dibalut ideologi sektarian adalah kunci mempertahankan kekuasaan. Dan rakyat, seperti biasa, menjadi korban dari ambisi politik tanpa moral.
Setiap insiden pembunuhan menegaskan pola yang konsisten: warga sipil menjadi sasaran, bukan karena mereka bersenjata atau menentang pemerintah, tapi karena mereka dianggap “lain”—secara etnis, agama, atau komunitas. Hal ini jelas menunjukkan bahwa al-Sharaa tidak sekadar lalai; ia sengaja menciptakan keadaan di mana ketakutan menjadi alat penguasa. Dari Homs hingga Tartous, dari Aleppo hingga Idlib, masyarakat hidup di bawah bayang-bayang eksekusi, penculikan, dan pembunuhan tanpa alasan yang masuk akal, selain identitas mereka sendiri.
Kita harus reflektif di sini. Kekuasaan, ketika lepas dari moral dan hukum, akan berubah menjadi alat pembunuh. Suriah kini bukan sekadar negara yang dilanda perang; ia adalah laboratorium kekuasaan tanpa akal nurani. Ketika aparat keamanan dan kelompok bersenjata ekstremis bersinergi untuk menindas minoritas, dunia seolah menutup mata dan berkata, “Ini masalah internal.” Padahal tragedi ini menyoroti satu hal fundamental: manusia kehilangan hak untuk hidup.
Saya rasa, kritik terhadap al-Sharaa tidak bisa lagi bersifat diplomatis atau berhias kata-kata halus. Ini adalah kritik moral. Pemerintah yang seharusnya menjadi perisai rakyat kini menjadi pedang yang menebas nyawa. Setiap anak, setiap perempuan, setiap warga sipil yang tewas adalah cermin dari kegagalan etika pemerintahan. Tidak ada ruang untuk pembenaran, karena pembunuhan sistematis adalah kejahatan yang terang-terangan.
Lebih jauh, pemerintah ini juga gagal memikirkan masa depan bangsa. Kekerasan yang disemai hari ini akan menumbuhkan benih dendam dan kebencian yang sulit dihapuskan. Anak-anak yang kehilangan orang tua akan tumbuh dengan trauma, ketakutan, dan mungkin kebencian yang akan diwariskan. Komunitas yang hancur akan sulit lagi membangun tatanan sosial, dan negara yang tercerai-berai akan semakin sulit dipulihkan ketika rezim ini tumbang suatu hari nanti.
Ironi lain adalah bahwa kekejaman ini dibalut dengan narasi keamanan dan legitimasi. Al-Sharaa seolah berkata: “Ini semua untuk ketertiban dan stabilitas Suriah.” Padahal stabilitas yang dibangun di atas darah, ketakutan, dan kebencian bukanlah stabilitas; itu adalah ilusi yang rapuh, menunggu satu percikan untuk meledak. Dunia harus menyadari: ketika pemerintah menormalisasi pembunuhan sistematis, tidak ada satupun warga sipil yang aman, dan tidak ada satu pun prinsip kemanusiaan yang tersisa.
Di era digital, dunia bisa melihat semua ini melalui laporan-laporan seperti SOHR. Tetapi melihat saja tidak cukup. Kritik harus diubah menjadi tekanan nyata: diplomasi, sanksi, dan tindakan untuk menghentikan mesin pembunuh ini. Warga Suriah tidak bisa menunggu belas kasihan; mereka membutuhkan keadilan sekarang, sebelum lebih banyak anak-anak, perempuan, dan pria kehilangan nyawa mereka.
Akhirnya, rezim al-Sharaa adalah simbol dari kekuasaan tanpa moral, hukum, dan kemanusiaan. Eksekusi massal, penculikan, pembunuhan secara acak, dan ketidakadilan sistematis adalah wajah nyata dari pemerintah yang gagal. Suriah kini tidak lagi menjadi negeri yang aman; ia menjadi laboratorium tragedi kemanusiaan. Dan dunia? Dunia tidak boleh terus menutup mata. Kritik terhadap al-Sharaa bukan sekadar pilihan; ia adalah kewajiban moral bagi siapa pun yang masih percaya bahwa kemanusiaan lebih tinggi daripada kekuasaan.
Warga sipil, anak-anak, dan perempuan bukan statistik. Mereka adalah manusia. Dan ketika pemerintahan memilih untuk menghapus kemanusiaan demi kekuasaan, kritik, refleksi, dan tindakan bukan lagi sekadar wacana: itu adalah kewajiban moral, panggilan nurani, dan panggilan kemanusiaan. Suriah membutuhkan itu sekarang—sebelum darah yang tumpah hari ini menjadi lautan penderitaan di masa depan.