Opini
Kehadiran Polisi Syariah, Suriah Menuju Theokrasi?

Suriah, negeri yang dahulu dikenal dengan keberagamannya, kini tampak mulai menjajaki jalan menuju negara agama. Laporan Reuters mengungkapkan bahwa Suriah sedang melatih polisi baru dengan pendekatan berbasis ajaran Islam, mengisi kekosongan keamanan yang ditinggalkan oleh rezim Assad yang korup dan brutal. Langkah ini, di tengah situasi yang masih rapuh, seperti mencoba menambal dinding retak dengan lem murahan. Apakah syariah benar-benar solusi mujarab untuk mengobati luka perang selama 13 tahun?
Kebijakan ini terlihat sejalan dengan visi Hayat Tahrir al-Sham (HTS), kelompok yang kini menjadi penguasa de facto, yang sejak lama memimpikan terbentuknya negara Islam di Suriah. Namun, apakah mereka menyadari bahwa membawa agama ke dalam penegakan hukum di negara yang begitu beragam ini berisiko memantik konflik baru? Ibarat menyelimuti kucing liar dengan syal sutra: gagasan ini terdengar indah, tetapi hanya akan mengundang cakaran.
Para polisi yang kini beroperasi di Damaskus, dilatih dengan fokus pada hukum Islam, bahkan menanyai para pelamar soal keyakinan mereka. Ini seperti mengadakan pesta makan malam besar, tapi hanya menyajikan satu jenis makanan—jelas ada yang tidak cocok dan merasa tersisihkan. Langkah ini, meski mungkin dimaksudkan untuk memberikan stabilitas, mengabaikan fakta bahwa Suriah adalah rumah bagi Alawites, Druze, Kristen, dan banyak komunitas lain yang mewarnai mosaik bangsa ini.
Bagi banyak orang, langkah ini tampak seperti mencoba mencampur minyak dan air dalam satu wadah—mustahil untuk benar-benar menyatu. Alih-alih menenangkan situasi, kebijakan ini justru bisa memicu perpecahan baru. Bahkan, para analis regional telah memperingatkan bahwa langkah semacam ini hanya akan menambah kekhawatiran, baik bagi kelompok minoritas maupun mereka yang mendambakan kehidupan sekuler dan kosmopolitan.
Ahmed al-Sharaa, pemimpin de facto Suriah, berupaya meyakinkan dunia bahwa HTS telah meninggalkan akar hubungannya dengan al-Qaeda dan kini memprioritaskan moderasi. Ia juga berjanji untuk melindungi hak-hak minoritas. Namun, janji ini terasa seperti berusaha menari balet sambil memakai sepatu bot perang—niatnya mungkin baik, tetapi langkahnya tetap kikuk dan tidak selaras dengan keragaman yang ada.
Program pelatihan polisi baru ini hanyalah usaha tambal sulam untuk mengatasi kekosongan hukum dan keamanan yang ditinggalkan oleh rezim sebelumnya. Namun, menggunakan agama sebagai landasan utama penegakan hukum? Ini ibarat mencoba menyembuhkan luka bakar dengan madu—mungkin memberikan rasa lega sesaat, tetapi juga berpotensi menarik semut. Dengan pelatihan hanya 10 hari, yang sebagian besar berfokus pada hukum Islam dan penanganan senjata, upaya ini terasa terburu-buru dan jauh dari kata siap.
Jika Suriah benar-benar bergerak menuju sistem negara Islam, dampaknya terhadap minoritas bisa sangat mengkhawatirkan. HTS memiliki sejarah yang menunjukkan pola penindasan, seperti aturan berpakaian ketat untuk perempuan dan larangan bepergian tanpa pengawalan laki-laki. Meski belakangan mereka mengurangi kebijakan ekstrem di Idlib karena tekanan masyarakat, sulit membayangkan bahwa pendekatan ini akan membawa stabilitas yang inklusif.
Di sisi lain, ada peluang bahwa HTS akan mencoba pendekatan yang lebih moderat. Namun, tanpa kejelasan tentang revisi konstitusi, semua ini hanya sekadar spekulasi. Janji perlindungan untuk minoritas mungkin terdengar manis, tetapi melihat catatan HTS di masa lalu, skeptisisme tentu sangat beralasan.
Dengan polisi yang kekurangan staf, kantor-kantor yang dijarah, dan masyarakat yang hanya ingin kembali ke kehidupan normal, apakah ini benar-benar saat yang tepat untuk bereksperimen dengan teokrasi? Atau, mungkinkah ini adalah langkah pragmatis di tengah krisis?
Suriah tampaknya sedang memainkan permainan panjang, dengan agama sebagai kartu utama. Akankah langkah ini membawa kedamaian, atau justru menyeret negara ke dalam konflik baru? Waktu yang akan menjawab, tetapi untuk saat ini, Suriah tengah mempertaruhkan masa depannya di atas fondasi yang sangat rapuh.