Connect with us

Opini

Kebijakan Proteksionisme Trump Terhimpit Resistensi Ganda

Published

on

Gedung Putih berdiri megah di bawah langit Washington yang kelabu, namun di dalamnya, suasana kacau. Laporan Reuters-Ipsos, dirilis Rabu lalu, mengguncang narasi keberhasilan ekonomi Donald Trump. Hanya 37% rakyat Amerika kini memuji kinerja ekonominya, turun dari 42% di awal masa jabatannya. Polling 4.306 warga AS antara 16-21 April, dengan margin error dua persen, mengungkap kecemasan publik: 75% khawatir resesi mengintai. Proteksionisme Trump, yang dielu-elukan sebagai perisai ekonomi, kini terjepit resistensi dari dalam dan luar.

Tarif, senjata utama Trump dalam perang dagang, menjadi bumerang. Awal April, ia memberlakukan tarif universal 10% untuk semua impor dan tarif balasan hingga 245% bagi negara dengan surplus dagang besar. Tujuannya mulia: melindungi industri lokal, memaksa mitra dagang tunduk. Namun, The Wall Street Journal melaporkan bahwa administrasi kini mempertimbangkan pengurangan tarif impor China dari 145% ke 50-65%. Barang non-strategis bahkan mungkin hanya dikenai 35%. Trump sendiri mengakui, “145 persen itu sangat tinggi dan tidak akan setinggi itu.”

Resistensi domestik menjadi pemicu utama. Publik Amerika, yang merasakan kenaikan harga konsumen dan inflasi, mulai mempertanyakan janji “America First.” Sektor teknologi, tulang punggung ekonomi modern, menjerit paling keras. Tarif tinggi mengancam rantai pasok global, terutama untuk elektronik seperti smartphone, laptop, dan semikonduktor yang bergantung pada China. Pada 12 April, administrasi terpaksa memberikan pengecualian untuk barang-barang ini, berlaku surut sejak 5 April. Langkah ini, meski pragmatis, mencerminkan kekalahan taktis.

Industri tak sendiri dalam pemberontakan senyap ini. Publik, yang 75% di antaranya cemas akan resesi, memberikan tekanan politik nyata. Data Reuters menunjukkan bahwa ketidakpuasan terhadap kebijakan ekonomi Trump bukan sekadar angka, melainkan cerminan realitas sehari-hari: harga bahan pokok melonjak, daya beli menyusut. Ketika dompet rakyat berbicara, bahkan pendukung setia Trump mulai goyah. Resistensi ini bukan sekadar protes, melainkan badai yang mengguncang fondasi citra sang presiden.

Sementara itu, dari luar, mitra dagang AS tidak tinggal diam. Tarif agresif Trump memicu respons keras dari negara-negara seperti China, yang memiliki surplus dagang besar dengan AS. Retaliasi dagang, dalam bentuk tarif balasan atau pembatasan ekspor, mengancam memperburuk ketegangan. China, misalnya, bisa membatasi pasokan bahan baku kritis seperti mineral langka, yang vital bagi industri teknologi AS. Ketidakpastian ini membuat pelaku pasar global ragu, melemahkan posisi AS dalam negosiasi.

Kebijakan tarif dua tingkat yang tengah dipertimbangkan—35% untuk barang non-strategis dan minimal 100% untuk barang keamanan nasional—adalah upaya kompromi yang canggung. Ini menunjukkan bahwa Trump, meski tetap berpegang pada retorika proteksionisme, terpaksa mengakui realitas ekonomi. Namun, langkah ini juga memunculkan pertanyaan: jika tarif tinggi begitu efektif, mengapa harus dikurangi? Kontradiksi ini memperkuat persepsi bahwa kebijakan Trump lebih didorong oleh populisme ketimbang perhitungan matang.

Di dalam negeri, drama tak berhenti di ranah ekonomi. Trump, bersama sekutunya seperti Elon Musk, melancarkan serangan verbal terhadap Reuters, menuduh agensi itu menerima “jutaan dolar dari pemerintah AS untuk menyesatkan publik.” Trump bahkan menuntut Reuters mengembalikan dana tersebut. Namun, Thomson Reuters dengan cepat membantah, menjelaskan bahwa kontrak $9,1 juta yang dimaksud adalah untuk layanan keamanan siber, diberikan pada masa jabatan pertama Trump, bukan untuk pelaporan berita. Serangan ini, alih-alih memperkuat posisi Trump, justru memperlihatkan kepanikan.

Kepanikan itu wajar, mengingat taruhannya. Ekonomi AS, yang sudah bergoyang akibat inflasi dan ketidakpastian global, tidak mampu menahan tekanan berkepanjangan. Tarif tinggi memang bisa melindungi beberapa industri lokal, tetapi biayanya besar: harga barang melonjak, konsumen menderita, dan bisnis menghadapi gangguan rantai pasok. Pengecualian untuk elektronik adalah bukti bahwa bahkan administrasi Trump menyadari risiko ini. Namun, langkah setengah hati ini tidak cukup untuk meredakan badai.

Di panggung global, proteksionisme Trump juga kehilangan kilau. Negara-negara yang terkena tarif, terutama China, mulai mencari alternatif. Diversifikasi rantai pasok, penguatan aliansi dagang regional, dan pengurangan ketergantungan pada pasar AS menjadi strategi yang kian populer. Jika tren ini berlanjut, AS berisiko kehilangan pengaruh ekonomi globalnya. Ironisnya, kebijakan yang dimaksudkan untuk memperkuat “America First” justru bisa melemahkan posisi AS dalam jangka panjang.

Publik Amerika, yang kini hanya memberikan persetujuan 37% untuk kinerja ekonomi Trump, adalah hakim terakhir. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan cerminan frustrasi kolektif. Ketika 75% warga khawatir akan resesi, itu bukan lagi prediksi, melainkan peringatan. Trump, yang membangun citra sebagai pejuang rakyat, kini terlihat terpojok. Janji-janji besar tentang kebangkitan ekonomi mulai terdengar kosong ketika harga bensin dan roti terus naik.

Resistensi ganda ini—dari dalam dan luar—mengungkap kelemahan mendasar dalam strategi Trump. Proteksionisme, meski menarik sebagai slogan kampanye, sulit diterapkan tanpa konsekuensi. Tarif tinggi mungkin memenangkan tepuk tangan di rapat umum, tetapi di dunia nyata, mereka memicu inflasi, mengganggu perdagangan, dan memaksa kompromi. Pengurangan tarif yang diusulkan adalah pengakuan diam-diam bahwa pendekatan ini tidak berkelanjutan. Namun, apakah itu cukup untuk menyelamatkan citra Trump?

Masa depan kebijakan ini bergantung pada kemampuan Trump untuk menyeimbangkan ambisi politik dengan realitas ekonomi. Jika ia terus ngotot dengan proteksionisme tanpa fleksibilitas, resistensi domestik akan semakin menguat, dan mitra dagang akan semakin menjauh. Citra politiknya, yang sudah goyah, bisa runtuh sepenuhnya. Namun, jika ia mampu beradaptasi—meski dengan enggan—mungkin ada ruang untuk meredakan badai. Sayangnya, sejarah menunjukkan bahwa Trump lebih suka bertarung daripada berkompromi.

Pada akhirnya, kebijakan proteksionisme Trump adalah cerminan dari paradoks kepemimpinannya: visi besar yang kerap tersandung oleh detail. Resistensi ganda yang dihadapinya bukan sekadar tantangan, melainkan ujian. Publik Amerika, dengan dompet yang semakin tipis, dan mitra dagang, dengan kesabaran yang menipis, menunggu jawaban. Gedung Putih mungkin tetap berdiri megah, tetapi di dalamnya, badai terus mengamuk, dan Trump harus memilih: bertahan atau berubah.

 

Daftar Sumber

  1. Reuters-Ipsos Poll. (2025). Public Approval of President Trump’s Economic Performance. Dilaksanakan pada 16-21 April 2025.
  2. The Wall Street Journal. (2025). Trump Administration Considers Rolling Back Tariffs on Chinese Imports.
  3. Thomson Reuters. (2025). Statement on Cybersecurity Contract Clarification.
  4. Al Mayadeen English. (2025). Trump’s Economic Approval Drops to 37% as Tariff Rollback Mulls. Diakses dari: https://english.almayadeen.net/news/politics/trump-s-economic-approval-drops-to-37–as-tariff-rollback-mu
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *