Opini
Kebijakan Paradoks Jerman

Pemerintah Jerman sedang mencari cara untuk memblokir peluncuran jaringan pipa gas Nord Stream 2, sebab negosiasi antara Rusia dan Amerika Serikat mengisyaratkan upaya penghidupan kembali jaringan pipa tersebut sebagai kemungkinan yang realistis. Begitulah bunyi laporan terbaru yang beredar, mencerminkan kebijakan yang begitu cerdas hingga tampak seperti aksi menembak kaki sendiri. Jika ada medali untuk keputusan yang paling bertentangan dengan kepentingan nasional, Jerman pasti juara.
Jerman adalah negara yang dulu dibanggakan sebagai raksasa industri Eropa. Namun kini, dalam kebijakan energinya, mereka lebih mirip seperti seseorang yang menolak air di tengah gurun hanya karena takut basah. Nord Stream 2 adalah proyek raksasa yang sudah jadi, siap beroperasi, tapi dibiarkan menganggur karena alasan politik yang semakin absurd.
Ketika Eropa diguncang krisis energi, harga listrik melonjak, dan pabrik-pabrik mengurangi produksi karena biaya yang tak tertahankan, Jerman tetap teguh pada pendiriannya: lebih baik menderita bersama sekutu Barat daripada mendapatkan energi murah dari Rusia. Logika ini sulit dicerna oleh siapa pun yang masih menggunakan akal sehat, tetapi di dunia politik Jerman, tampaknya ini dianggap visi strategis.
Sanksi terhadap Rusia disebut-sebut sebagai alasan utama Nord Stream 2 tidak boleh beroperasi. Namun, realitasnya adalah sanksi ini lebih banyak merugikan Jerman daripada Rusia sendiri. Rusia telah menemukan pasar baru untuk gasnya, sementara Jerman harus membeli LNG dari Amerika Serikat dengan harga berkali lipat lebih mahal. Patriotisme ala Jerman ternyata memiliki harga yang sangat tinggi.
Lebih ironis lagi, beberapa pihak di Amerika Serikat kini justru ingin memanfaatkan Nord Stream 2 sebagai alat tawar-menawar dalam perundingan dengan Rusia. Dengan kata lain, Amerika ingin memfasilitasi kebangkitan proyek yang justru ditentang mati-matian oleh Jerman. Jika ini terjadi, Jerman bukan hanya terlihat bodoh, tetapi juga kehilangan kendali atas kebijakannya sendiri.
Sementara itu, rakyat Jerman dipaksa untuk menerima kenyataan pahit. Tagihan listrik melonjak, industri berjuang untuk bertahan, dan ketergantungan pada energi alternatif seperti angin dan matahari masih belum mampu menggantikan kebutuhan gas. Namun, pemerintah tetap bersikeras bahwa ini semua adalah harga yang layak dibayar demi mempertahankan nilai-nilai demokrasi dan kebebasan.
Pertanyaannya, kebebasan siapa? Sebab dari sudut pandang ekonomi, Jerman justru semakin tidak bebas. Mereka terjebak dalam ketergantungan baru pada LNG Amerika Serikat, yang jauh lebih mahal dan sulit didapat. Mereka juga kehilangan leverage dalam kebijakan energinya sendiri karena mengikuti skenario yang lebih menguntungkan Washington ketimbang Berlin.
Namun, paradoks Jerman tak berhenti di situ. Pemerintah Jerman yang dulu lantang mendukung energi hijau dan transisi ke energi terbarukan kini malah kembali menghidupkan pembangkit listrik tenaga batu bara. Ini bukan sekadar kemunduran, tetapi juga pengkhianatan terhadap janji-janji iklim mereka sendiri. Rupanya, dalam dunia politik, idealisme bisa dengan mudah dikorbankan jika realitas mulai menggigit.
Sikap Jerman terhadap Nord Stream 2 juga menunjukkan kemunafikan yang luar biasa. Jika Rusia begitu berbahaya, mengapa mereka tetap membeli gas dari Moskow melalui jalur lain, seperti Turki dan Polandia? Jika energi Rusia adalah alat perang, mengapa negara lain di Eropa masih bisa mengimpor gas tanpa konsekuensi besar? Tampaknya, masalahnya bukan pada gas itu sendiri, melainkan pada jalur mana yang digunakan untuk mengirimnya.
Lebih menggelikan lagi, Jerman masih mengandalkan gas dari Norwegia dan Belanda, meskipun negara-negara ini pun mengalami kesulitan produksi. Akibatnya, Jerman semakin rentan terhadap fluktuasi harga global dan krisis pasokan yang bisa terjadi kapan saja. Tapi tentu saja, bagi pemerintah Jerman, yang penting adalah tetap terlihat sebagai pahlawan moral di panggung internasional.
Sikap keras kepala Jerman dalam menolak Nord Stream 2 juga berimbas langsung pada Ukraina. Sebab jika pipa ini beroperasi, Rusia bisa mengabaikan jalur gas yang melewati Ukraina, yang berarti kehilangan miliaran dolar pemasukan transit bagi Kiev. Jadi, alih-alih melindungi Ukraina, kebijakan Jerman justru semakin memperburuk keadaan mereka.
Di tengah semua kebingungan ini, satu hal menjadi jelas: Jerman sedang melakukan eksperimen sosial-ekonomi terbesar abad ini. Mereka ingin melihat sejauh mana ekonomi mereka bisa bertahan tanpa mengambil keputusan yang rasional. Apakah ini ujian ketahanan, atau hanya bentuk baru dari dogma politik yang sudah lepas dari kenyataan?
Saat rakyat Jerman menyalakan pemanas dengan rasa cemas karena harga energi yang mencekik, para pejabat di Berlin tetap sibuk menyusun retorika baru untuk membenarkan kebijakan mereka. Narasi bahwa pengorbanan ini demi “masa depan yang lebih baik” terus digembar-gemborkan, meskipun masa depan itu tampaknya semakin suram.
Ironisnya, perusahaan-perusahaan Jerman sendiri yang akhirnya memutuskan untuk mencari solusi yang lebih pragmatis. Banyak dari mereka kini mulai membangun kembali jaringan energi alternatif, termasuk mencari cara untuk tetap mendapatkan pasokan gas dari Rusia secara tidak langsung. Karena bagaimanapun, realitas ekonomi tidak bisa didikte oleh retorika politik yang kosong.
Pada akhirnya, kebijakan energi Jerman bisa disebut sebagai salah satu drama politik terbesar di abad ini. Mereka punya pipa gas yang siap digunakan, tetapi menolak memanfaatkannya. Mereka menolak gas murah dari Rusia, tetapi justru membeli gas dengan harga lebih mahal dari tempat lain. Mereka berbicara soal transisi energi, tetapi kembali ke batu bara. Jika ini bukan definisi dari kebijakan paradoks, lalu apa lagi?
Jerman mungkin ingin dikenang sebagai negara yang setia pada prinsip dan nilai-nilai Barat, tetapi jika kebijakan ini terus berlanjut, mereka lebih mungkin dikenang sebagai contoh bagaimana politik bisa mengalahkan akal sehat. Dunia sedang menyaksikan eksperimen besar ini, dan hanya waktu yang akan membuktikan apakah kebijakan paradoks Jerman akan membawa mereka menuju kejayaan atau justru menuju kehancuran ekonomi yang tak terhindarkan.