Opini
Kebebasan Pers Eropa: Topeng Demokrasi atau Sensor Terselubung?

Di bawah langit Eropa yang gemar memamerkan jubah kebebasannya, Uni Eropa (UE) pada 20 Mei 2025 menjatuhkan sanksi kepada Huseyin Dogru dan AFA Medya, pengelola outlet berita Red. Nama yang ditulis dengan huruf kapital, bukan sembarang singkatan, melainkan sebuah merek yang bangga dengan warna merahnya—mungkin simbol semangat, atau mungkin juga darah perjuangan. Tuduhannya? Mereka “mendukung” Rusia dan menyebarkan “narasi” Hamas, kelompok perlawanan Palestina yang oleh UE dicap sebagai teroris. Ironisnya, sebuah outlet kecil di Istanbul, yang mestinya terlalu kecil untuk mengguncang menara-menara megah di Brussels, malah dianggap ancaman besar oleh institusi yang berlagak sebagai penjaga nilai demokrasi.
Di sinilah ironi itu bersemayam: UE, sang raksasa demokrasi, mengklaim membela kebebasan pers. Namun, ketika suara yang berbeda—bahkan yang mengkritik narasi dominan—muncul, mereka tidak ragu menggunakan alat hukum untuk membungkam. Sanksi yang dijatuhkan pada Red. adalah contoh nyata kebebasan pers ala “western-style”: hanya boleh berbicara dalam koridor yang sudah ditentukan. Jika keluar dari batas, siap-siap dicap musuh demokrasi dan dipersekusi.
Menariknya, Red. tidak hanya mengkritik Rusia atau Palestina semata, tapi juga membuka tabir propaganda Barat yang selama ini jarang tersentuh media arus utama. Mereka menghadirkan perspektif berbeda, yang sering dianggap “berbahaya” oleh para penjaga status quo. Lalu, apa bedanya mereka dengan outlet seperti Deutsche Welle atau Radio Free Europe/Radio Liberty (RFE/RL) yang mendapat dana besar dari pemerintah Barat? Keduanya juga memiliki agenda tersendiri—meskipun bungkusnya adalah “kebebasan” dan “demokrasi.” Tapi anehnya, mereka tidak pernah disanksi atau dianggap bermasalah oleh UE. Bukankah ini memperlihatkan standar ganda yang mencolok?
Mari kita sejenak tarik mundur ke belakang. Sejak pecahnya perang di Ukraina, UE dan sekutunya memberlakukan sejumlah sanksi ketat terhadap Rusia, termasuk pembatasan informasi yang dianggap mendukung pihak Moskow. Dalam hal ini, kebebasan pers dijadikan tameng, namun lebih tepatnya menjadi pedang untuk menyerang siapa pun yang berseberangan. Misalnya, aturan Council Regulation (EU) No 833/2014 yang melarang penyebaran narasi pro-Rusia dalam konteks perang Ukraina. Aturan ini sendiri sebenarnya merupakan upaya canggih untuk mengontrol opini publik, bukan melindungi kebebasan pers.
Sanksi terhadap Red. adalah contoh paling mutakhir. Padahal, menurut laporan-laporan independen, outlet ini lebih banyak memaparkan fakta dan analisis yang sering kali diabaikan media mainstream. Namun karena mereka berani menampilkan sisi lain dari konflik yang sensitif, mereka dijerat tuduhan “mendukung terorisme”—klaim yang sangat subyektif dan mudah dipolitisasi. Apakah kebebasan pers hanya boleh berlaku jika narasi yang diusung sejalan dengan kepentingan politik tertentu? Jika demikian, demokrasi di Eropa mana yang kita bicarakan?
Mari bandingkan dengan Indonesia, tanah air kita tercinta. Di zaman Orde Baru, kebebasan pers memang terkekang ketat. Media harus patuh pada garis rezim, dan mereka yang berani melawan dicap subversif atau makar. Tapi setidaknya, rezim Orba tidak memakai alasan “kebebasan pers” untuk menindas lawan. Di Eropa, kini malah muncul paradoks: kebebasan pers dipuja-puja, tapi juga dipersenjatai untuk menindas. Jika dulu kita mengenal media sebagai corong rakyat, kini media resmi dan pemerintah bersekongkol mengatur “kebenaran” mana yang boleh disiarkan.
Fenomena ini membuka tabir besar tentang siapa sebenarnya yang memegang kendali narasi global. UE dan negara-negara Barat lain sering mendaku diri sebagai penjaga demokrasi, tapi sekaligus menjadi sensor utama yang melanggengkan kekuasaan mereka dengan memanipulasi informasi. Mereka mengatur standar “kebenaran” berdasarkan kepentingan geopolitik, bukan pada fakta atau keadilan.
Maka tak heran bila label “teroris” digunakan secara longgar untuk membungkam kelompok atau media yang menentang mereka. Hamas, misalnya, oleh UE dan sekutunya dikategorikan teroris, sementara aksi-aksi militer dan blokade yang menimbulkan penderitaan rakyat Palestina jarang sekali disebut sebagai pelanggaran HAM yang serius. Kontras ini memperlihatkan bagaimana kekuatan global memilih sisi dalam narasi dan mengabaikan hak asasi manusia secara selektif.
Kembali ke Red., sanksi yang dijatuhkan tak sekadar tindakan administratif. Ini adalah pesan keras bahwa suara alternatif harus dibungkam. Bahwa kebebasan pers tidak untuk semua, melainkan hanya untuk mereka yang mau “bermain sesuai aturan” yang sudah ditentukan oleh kekuatan besar. Kebebasan yang selektif ini jauh dari esensi demokrasi yang sesungguhnya, dan lebih mirip topeng tipis yang menutupi kepentingan politik.
Yang paling menarik, banyak media mainstream di Eropa dan Amerika malah bersikap diam atau bahkan mendukung kebijakan ini secara terselubung. Padahal mereka juga pernah menjadi korban sensor dan tekanan politik. Namun kini, demi menjaga aliansi geopolitik dan arus modal, mereka rela mengorbankan prinsip-prinsip yang dulu mereka junjung.
Fenomena ini mengingatkan kita bahwa kebebasan pers bukanlah suatu kondisi yang statis atau mutlak, melainkan sesuatu yang bisa diperalat sesuai kepentingan penguasa. Di sinilah peran media alternatif dan outlet independen menjadi krusial, meski menghadapi risiko besar.
Lalu, bagaimana kita menyikapi kondisi ini? Pertama, sebagai pembaca dan warga dunia, kita harus lebih kritis dalam menyerap informasi. Jangan mudah percaya narasi tunggal yang disodorkan oleh media arus utama. Kedua, dukung keberadaan media independen dan alternatif yang berani mengangkat sudut pandang yang berbeda. Karena tanpa keberadaan mereka, demokrasi hanya menjadi ilusi.
Di tengah maraknya propaganda dan manipulasi, tugas kita adalah menjaga agar jubah kebebasan tidak berubah menjadi tirani yang terselubung. Kebebasan pers harus dirawat sebagai hak fundamental, bukan alat politik. Jika tidak, kita akan hidup di dunia di mana suara yang berani bicara kebenaran justru dibungkam oleh kediktatoran demokrasi modern.
Sebagai penutup, mari kita ingat kembali bahwa kebebasan pers sejati bukan hanya soal boleh tidaknya menyampaikan berita. Ia adalah soal keberanian menghadirkan kebenaran, meski tak populer dan berisiko. Karena hanya dengan begitu, demokrasi bisa hidup dan bernafas—bukan sebagai kata kosong dalam manifesto politik, melainkan sebagai realitas yang dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.