Opini
Keamanan Suriah? Hanya Ilusi di Atas Mayat Alawite

Ketika dunia internasional mengangkat sanksi terhadap Suriah, banyak yang bersorak tentang “pemulihan” dan “perdamaian baru.” Tetapi, jika melihat ke lapangan, yang terjadi bukanlah rekonsiliasi, melainkan babak baru dalam buku lama kekerasan. Di pantai-pantai Tartous dan Latakia, mayat bergelimpangan, rumah-rumah terbakar, dan keluarga-keluarga Alawite yang dulu relatif aman kini menjadi sasaran pembantaian yang mengerikan. Lalu, bagaimana sanksi itu bisa dicabut sementara al-Sharaa masih menjalankan proyek kekerasan sistematisnya? Jawaban itu terletak dalam pola kekerasan dan motif genosida yang telah berakar dalam konflik Suriah.
Kekerasan di Suriah bukanlah episode yang berdiri sendiri, melainkan rangkaian pola yang terus berulang dengan wajah berbeda. Dulu, rezim Assad dituduh melakukan pembantaian terhadap kelompok Sunni dan oposisi. Kini, setelah Assad kehilangan pengaruhnya, komunitas Alawite yang sejak lama menjadi korban kembali menghadapi ancaman yang lebih besar. Jika sebelumnya mereka dilindungi oleh struktur kekuasaan, kini mereka ditandai sebagai penghalang bagi proyek politik baru yang dipimpin oleh al-Sharaa dan koalisinya.
Dalam studi kekerasan dan genosida, ada konsep yang disebut sebagai “pembalikan peran korban dan pelaku.” Ini bukan sekadar fenomena balas dendam, tetapi strategi politik. Kelompok yang sebelumnya berada dalam posisi terancam atau marginal sering kali, ketika mendapatkan kekuasaan, mereproduksi pola kekerasan yang sama terhadap kelompok lain. Ini bukan sekadar siklus balas dendam spontan, melainkan mekanisme terorganisir untuk mengamankan kekuasaan dan menciptakan stabilitas baru berbasis ketakutan.
Motif utama dalam kekerasan terhadap Alawite bukan hanya pembalasan atas kesalahan rezim Assad, tetapi upaya sistematis untuk melenyapkan mereka sebagai entitas politik dan sosial. Ini sesuai dengan pola yang ditemukan dalam berbagai genosida: penandaan kelompok target, dehumanisasi mereka dalam propaganda, diikuti dengan kekerasan fisik yang semakin meningkat. Dalam kasus Suriah, Alawite telah diidentifikasi sebagai musuh dalam narasi resmi al-Sharaa. Mereka dianggap sebagai sisa-sisa “regime lama,” yang keberadaannya sendiri dianggap sebagai ancaman bagi stabilitas baru.
Pola kekerasan ini juga menunjukkan ciri khas genosida: pembunuhan sistematis, pembersihan wilayah secara paksa, dan penghancuran identitas budaya. Seperti yang dilaporkan oleh Syrian Observatory for Human Rights, pembantaian ini bukan sekadar konflik bersenjata, tetapi aksi pemusnahan yang disengaja. Orang-orang dibantai di rumah mereka, perempuan dan anak-anak tidak luput dari pembunuhan, dan komunitas Alawite dipaksa mengungsi dalam jumlah besar. Dalam teori genosida, ini bukan sekadar pembantaian biasa, tetapi bagian dari strategi pemusnahan kelompok tertentu.
Yang lebih mencengangkan adalah bagaimana al-Sharaa merespons kekerasan ini. Dalam pidatonya, ia tampak tenang, nyaris tidak terganggu oleh ratusan mayat yang berserakan di pantai Tartous. “Ini adalah tantangan yang wajar,” katanya, seolah-olah ribuan nyawa yang melayang hanya bagian dari transisi kekuasaan yang biasa. Ini adalah narasi klasik dalam studi kejahatan kemanusiaan: pelaku tidak pernah mengakui kejahatan mereka sebagai sesuatu yang abnormal. Mereka membingkai kekerasan sebagai bagian dari “proses alami” dalam mencapai tujuan yang lebih besar.
Salah satu aspek paling mencolok dalam studi kekerasan dan genosida adalah bagaimana komunitas internasional meresponsnya. Dalam banyak kasus, dunia luar sering kali membiarkan kekerasan berlanjut selama ada kepentingan politik yang lebih besar. Sanksi terhadap Suriah dicabut bukan karena al-Sharaa telah berhenti melakukan kekerasan, tetapi karena dunia internasional telah menemukan keseimbangan baru dalam kepentingan geopolitik mereka. Ini adalah pola yang sudah kita lihat berkali-kali dalam sejarah: dari genosida Rwanda hingga pembersihan etnis di Myanmar, dunia hanya peduli jika ada insentif ekonomi atau politik yang memaksanya peduli.
Dengan diangkatnya sanksi, al-Sharaa kini memiliki legitimasi untuk melanjutkan pembantaiannya. Ia tidak perlu takut pada tekanan internasional karena sudah mendapatkan pengakuan de facto. Inilah yang disebut sebagai “impunitas internasional,” di mana pelaku kejahatan kemanusiaan diberikan ruang gerak yang lebih luas hanya karena dianggap lebih menguntungkan bagi tatanan global saat ini. Ini bukanlah keadilan transisional, ini adalah lisensi untuk membunuh.
Dalam teori keadilan transisional, ada prinsip utama bahwa sebuah negara harus mempertanggungjawabkan kejahatan masa lalunya untuk dapat bergerak maju. Tetapi, dalam kasus Suriah, tidak ada mekanisme pertanggungjawaban. Alih-alih proses keadilan, yang terjadi adalah penggantian satu kelompok pelaku dengan kelompok lainnya. Jika keadilan transisional bertujuan untuk membangun perdamaian berbasis rekonsiliasi dan pengakuan kesalahan, maka apa yang terjadi di Suriah adalah antitesisnya: kekerasan sebagai modal utama dalam membangun kekuasaan.
Lebih buruk lagi, propaganda resmi rezim baru membingkai pembantaian ini sebagai “tindakan pengamanan.” Dengan kata lain, pembunuhan massal terhadap Alawite dianggap sebagai tindakan preventif untuk memastikan stabilitas. Ini adalah logika yang sama yang digunakan oleh para diktator sepanjang sejarah untuk membenarkan genosida: dari Holocaust hingga pembantaian di Balkan, selalu ada justifikasi bahwa pembunuhan massal adalah “solusi terakhir” untuk mencapai ketertiban.
Ketika dunia berbicara tentang Suriah, narasi yang mendominasi adalah “akhir perang saudara” dan “stabilitas baru.” Tetapi di balik eufemisme ini, yang terjadi adalah penghapusan sistematis terhadap sebuah komunitas. Alawite yang sejak lama menjadi korban terus diperlakukan sebagai musuh yang harus dihancurkan. Dan komunitas internasional, seperti biasa, hanya akan bertindak jika kepentingan mereka terganggu. Hingga saat itu tiba, mayat akan terus bertumpuk, dan sejarah akan terus mengulang pola yang sama.