Connect with us

Opini

 Keadilan untuk Gaza: Harapan di Pengadilan Jerman

Published

on

Israeli soldier of German origin on trial in Germany for alleged war crimes in Gaza.

Langit Gaza masih dipenuhi debu reruntuhan, sementara angka kematian terus merangkak seperti jam pasir yang tak henti menumpahkan butiran kesedihan. Di saat kita sibuk berdebat soal politik dalam negeri atau tenggelam dalam hiruk pikuk kampanye, ada absurditas lain yang mestinya mengguncang nurani: seorang tentara Israel berusia 25 tahun, lahir dan besar di Munich, kini dihadapkan pada kasus kejahatan perang Israel di pengadilan Jerman. Ironi ini lebih dari sekadar kabar hukum. Ia adalah cermin retak peradaban: apakah kita sungguh berani menatap wajah keadilan tanpa menutup sebelah mata?

Saya rasa, kabar ini ibarat ujian moral yang datang tanpa pemberitahuan. Bayangkan, seorang anak muda yang dulunya mungkin duduk di bangku sekolah Jerman, menikmati musim dingin dengan secangkir cokelat panas, kini dituduh sebagai bagian dari Ghost Unit—unit sniper elit dalam batalion terjun payung Israel yang namanya saja sudah menyeramkan. Ghost, hantu. Dan memang, di Gaza, mereka menjelma hantu yang menebar kematian di sekitar rumah sakit, tempat seharusnya manusia bersembunyi dari kengerian perang. Apakah kebetulan? Tentu tidak. Bukti yang dibawa European Center for Constitutional and Human Rights (ECCHR) setebal 130 halaman, lengkap dengan rekaman audiovisual, menegaskan pola serangan yang sistematis.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Kita semua tahu, hukum internasional bukan dongeng indah yang bisa dibacakan menjelang tidur. Ia adalah kompas yang seharusnya menuntun peradaban agar tidak terjebak dalam kegelapan barbarisme. Namun sayangnya, terlalu sering kompas itu dibiarkan berkarat. Ada standar ganda yang dipelihara dengan telaten: jika pelaku berasal dari negara “musuh”, ia segera dicap penjahat perang; tapi jika berasal dari Israel atau sekutunya, maka alasan “pertahanan diri” tiba-tiba jadi mantra sakti. Maka, ketika Jerman mengajukan kasus kejahatan perang Israel ini lewat mekanisme yurisdiksi universal, kita berhak bertanya: apakah ini sekadar formalitas, atau sungguh sebuah titik balik?

Di Indonesia, kita biasa menyebut pepatah “tajam ke luar, tumpul ke dalam.” Tapi kasus ini seperti kebalikannya: akankah Jerman berani menajamkan pisaunya ke arah sekutu sendiri? Seorang warganya sendiri, tentara Israel asal Jerman, diduga menembak warga sipil Palestina di sekitar Al-Quds dan Nasser Hospital. Lokasi ini bukan sekadar titik koordinat militer. Ini adalah simbol. Rumah sakit adalah garis merah dalam Konvensi Jenewa, ruang terakhir yang seharusnya aman. Ketika peluru melesat justru ke sana, maka kita tidak sedang bicara soal perang, melainkan perburuan manusia yang dingin dan kejam.

Sebagian orang mungkin berkata, “Ah, ini hanya satu tentara. Jangan dibesar-besarkan.” Tapi justru di situlah letak keliru kita. Satu tentara bukanlah sekadar individu. Ia adalah perwujudan sistem. Anggota Ghost Unit tidak menembak berdasarkan intuisi pribadi, melainkan mengikuti pola operasi yang disusun dan dilegitimasi oleh komando militer Israel. Maka, jika satu orang dibawa ke pengadilan Jerman, sebenarnya yang sedang duduk di kursi terdakwa adalah seluruh mesin kekerasan yang selama ini dibiarkan bebas berkeliaran.

Mari kita tarik napas sejenak dan lihat data yang lebih luas. Sejak 7 Oktober 2023 hingga 10 September 2025, korban jiwa di Gaza mencapai 64.656 orang dengan lebih dari 163 ribu luka-luka. Angka itu bukan sekadar statistik. Itu adalah wajah-wajah yang terkubur di bawah reruntuhan, tubuh-tubuh yang tidak sempat diselamatkan karena jalan menuju rumah sakit pun dibombardir. Di laporan terbaru, dalam 24 jam saja, 41 orang gugur, termasuk dua dari bawah reruntuhan. Apa nama lain dari situasi ini kalau bukan genosida? Dan ironinya, Eropa yang dulu menjadi saksi sejarah Holocaust kini masih saja gagap menyebut kata itu saat pelakunya adalah Israel.

Saya melihat ada hal menarik ketika ECCHR menegaskan, “tidak boleh ada standar ganda, bahkan jika pelakunya tentara Israel.” Pernyataan sederhana, tapi sarat makna. Seolah mereka sadar bahwa hambatan terbesar bukan pada bukti—karena bukti sudah menumpuk—melainkan pada keberanian politik. Keberanian untuk mengatakan bahwa korban Palestina juga manusia, darah mereka juga merah, air mata mereka juga asin, sama seperti anak-anak di Berlin, Paris, atau Jakarta.

Pertanyaan yang menghantui adalah: apakah pengadilan Jerman akan benar-benar melangkah? Atau berhenti di tengah jalan, tertahan oleh diplomasi, tekanan politik, dan rasa bersalah historis yang terus menerus dipelihara? Kita tahu, Jerman punya relasi khusus dengan Israel, baik secara politik maupun emosional. Namun jika alasan sejarah dijadikan tameng untuk membiarkan genosida baru terjadi, maka sejarah itu sendiri berubah menjadi ironi pahit. Bagaimana mungkin trauma masa lalu dijadikan pembenaran untuk trauma masa kini?

Bagi saya, kasus ini punya resonansi yang jauh melampaui ruang sidang Jerman. Jika berhasil, ia akan membuka pintu bagi pengadilan serupa di negara lain. Sudah ada upaya di Prancis, Italia, Afrika Selatan, dan Belgia. Bayangkan jika tren ini menguat: tentara Israel dan pejabat militernya bisa terancam tak lagi bebas bepergian ke Eropa, takut ditangkap di bandara. Dampaknya bukan hanya hukum, tapi juga psikologis. Dunia internasional akhirnya bisa berkata: tidak, kalian tidak kebal hukum.

Di tanah air, kita mungkin merasa jauh dari ruang sidang di Karlsruhe atau Berlin. Tapi saya kira ada pelajaran yang bisa ditarik. Kita sering terjebak dalam ilusi bahwa hukum adalah milik negara kuat, bahwa keadilan hanya berlaku jika ada kepentingan politik. Padahal, kasus kejahatan perang Israel di Jerman ini memberi kita secercah harapan bahwa hukum internasional masih bisa berfungsi, meski jalannya panjang dan penuh hambatan.

Namun jangan salah, saya tidak sedang menjual optimisme murahan. Saya tahu jalan keadilan itu seringkali berliku, bahkan kadang seperti fatamorgana. Tapi apakah itu alasan untuk berhenti melangkah? Tidak. Justru di situlah kita diuji: apakah kita hanya penonton yang menghela napas di depan layar berita, ataukah kita mau ikut menggemakan tuntutan agar dunia berhenti memanjakan impunitas Israel?

Pada akhirnya, Gaza tidak butuh belas kasihan. Gaza butuh keadilan. Dan keadilan itu, mungkin, sedang dipertaruhkan di pengadilan Jerman. Kita boleh sinis, boleh skeptis. Tapi kita juga boleh berharap, karena tanpa harapan, genosida ini akan terus berjalan tanpa rem. Dan jika itu terjadi, maka yang mati bukan hanya warga Gaza, melainkan juga hati nurani kita semua.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer