Opini
Ke Mana Ahmad al-Sharaa Membawa Suriah?

Kabar dari Suriah kembali mengguncang hati. Kelompok militan Islamic State (IS), yang selama beberapa tahun terakhir dianggap lumpuh pasca-kekalahan wilayahnya pada 2019, kini mengklaim telah melakukan serangan besar pertama terhadap pemerintah transisi pasca-kejatuhan Bashar al-Assad. Menurut laporan yang dirilis Syrian Observatory for Human Rights (SOHR) dan dikutip oleh Al Mayadeen, sebuah ranjau darat yang diledakkan dari jarak jauh menghantam kendaraan militer di provinsi Sweida, menewaskan satu tentara dan melukai tiga lainnya dari Divisi 70.
Realitas ini menyayat hati. Suriah, negeri yang pernah begitu kaya akan sejarah dan peradaban, kembali berdarah. Ledakan demi ledakan seperti tak pernah benar-benar berhenti, bahkan ketika dunia mengira era kekacauan telah berlalu. IS, yang sempat tenggelam dalam bayang-bayang kekalahan, kini muncul kembali dengan pola yang lebih terorganisasi. Mereka tidak hanya mengincar kekosongan kekuasaan atau wilayah-wilayah terpencil. Kini mereka mengarahkan peluru ke jantung pemerintahan baru.
Saya, seorang pengamat yang bukan siapa-siapa, hanya bisa menyimak dengan resah. Serangan di Sweida itu bukan sekadar kejadian militer. Ia adalah sinyal, sebuah pesan berdarah yang menandai bahwa IS belum benar-benar pergi, dan bahwa pemerintahan baru di bawah Ahmad al-Sharaa sedang diuji habis-habisan. Dari padang gurun yang terbakar matahari, mereka mengirim peringatan: transisi ini belum aman.
Pemerintah tak tinggal diam. Operasi kontra-teror segera diluncurkan di Damaskus, di mana beberapa tersangka militan ditangkap sebelum sempat melancarkan rencana bom bunuh diri. Di Aleppo, tiga militan IS tewas dalam kontak senjata, bersama satu anggota pasukan keamanan. Namun semua itu belum cukup untuk meredam ketakutan. Rakyat Suriah sudah terlalu lelah, terlalu sering kecewa. Setelah lebih dari satu dekade perang saudara, mereka ingin hidup normal—bekerja, makan, dan tidur tanpa dentuman bom.
Yang terjadi justru sebaliknya. SITE Intelligence Group mencatat bahwa IS kemungkinan besar mulai mengalihkan fokus serangannya dari milisi Kurdi dan faksi saingan lainnya ke arah pasukan pemerintah pusat. Strategi ini menunjukkan kejelian. Mereka tahu bahwa mengguncang legitimasi pemerintahan transisi bisa membuat kekosongan kekuasaan semakin terbuka—dan di situlah mereka bisa kembali membangun basis.
Pemandangan seperti ini seharusnya menggugah simpati dunia. Tapi apa daya, banyak yang telah lelah mengikuti babak panjang penderitaan Suriah. Negara-negara besar tampak lebih sibuk dengan dinamika geopolitik baru, sementara nasib rakyat biasa—petani, guru, pedagang kecil—terus terhimpit dalam krisis ekonomi dan bayang-bayang teror.
Kondisi semakin rumit ketika diplomasi luar negeri mulai menggerakkan roda baru. Pada 29 Mei 2025, Presiden Ahmad al-Sharaa menerima kunjungan utusan Amerika Serikat, Thomas Barrack, di Istana Rakyat, Damaskus. Menurut laporan The Cradle, kunjungan itu membawa usulan damai dari AS kepada Suriah. Intinya adalah rencana perjanjian non-agresi dengan Israel, yang kelak bisa mengarah ke pembicaraan perbatasan. Sebuah usulan yang ambisius, namun juga sarat luka sejarah.
Bagaimana mungkin Suriah, yang baru saja kehilangan banyak wilayah akibat bombardir Israel pasca-kejatuhan Assad, serta harus menyaksikan pendudukan langsung di Golan, Deraa, dan Quneitra, bisa dengan mudah menerima perjanjian damai? Di satu sisi, diplomasi adalah jalan rasional keluar dari konflik berkepanjangan. Tapi di sisi lain, luka yang menganga masih terlalu dalam untuk segera ditutup dengan jabat tangan formal.
Kunjungan Barrack itu juga membicarakan kemungkinan pencabutan status Suriah sebagai negara sponsor terorisme. Washington bahkan mengisyaratkan akan membuka kembali Kedutaan Besarnya di Damaskus, sesuatu yang belum terjadi sejak 2012. Di kalangan masyarakat Suriah, kabar ini memunculkan harapan samar—bahwa dunia akhirnya mulai membuka pintu bagi rekonstruksi dan pemulihan.
Namun, seperti biasa, realitas di lapangan jauh lebih rumit. Sanksi-sanksi ekonomi yang dijatuhkan sejak 2011 dan diperparah oleh Caesar Act pada 2019 masih terus membelenggu ekonomi Suriah. Pengecualian yang diberikan oleh Departemen Keuangan AS tidak cukup untuk menghidupkan kembali roda produksi yang lumpuh. Jutaan warga masih hidup di bawah garis kemiskinan. Obat-obatan langka, listrik sering padam, dan harga pangan melambung tinggi.
Lalu, datanglah kabar yang lebih mengerikan. Pada Maret 2025, pasukan keamanan baru di bawah pemerintah transisi diduga membantai sekitar 1.700 warga Alawit di wilayah pesisir. Pria-pria dewasa diculik, dibunuh, sementara perempuan dan anak-anak dijadikan budak seksual oleh kelompok-kelompok bersenjata yang sebelumnya bersekutu melawan Assad.
Berita ini menghantam kredibilitas moral pemerintahan al-Sharaa. Bagaimana bisa rezim baru, yang mengklaim membawa harapan dan rekonsiliasi, justru membiarkan kekerasan sektarian seperti itu terjadi? Bukankah itu mengulangi pola kelam dari rezim sebelumnya, hanya dengan pelaku yang berbeda?
Di Indonesia, kita mengenal bagaimana luka konflik sektarian bisa membekas puluhan tahun. Peristiwa di Ambon, Poso, dan Sampit masih menjadi trauma kolektif yang tak mudah disembuhkan. Suriah, yang dihuni oleh mozaik etnis dan mazhab, sangat rentan terhadap keretakan yang sama. Jika pemerintah baru tak mampu menjamin keamanan seluruh rakyatnya, tanpa kecuali, maka perdamaian akan menjadi utopia yang menjauh.
Ahmad al-Sharaa sendiri tampak terus bergerak. Ia menjalin komunikasi dengan negara-negara Arab, mengupayakan pengakuan internasional, dan membangun ulang institusi dalam negeri. Di media sosial, khususnya akun X milik Thomas Barrack, narasi-narasi positif terus digelorakan: “pintu damai terbuka,” “Suriah siap bangkit.” Tapi di antara semua jargon itu, rakyat masih hidup dalam kegelapan, baik secara harfiah maupun metaforis.
Perekonomian belum pulih. Infrastruktur belum dibangun. Anak-anak belum kembali ke sekolah dengan aman. Rumah-rumah masih setengah roboh. Ladang belum bisa ditanami karena penuh ranjau. Dan yang lebih menyedihkan: harapan pun belum tumbuh.
Pertanyaannya pun semakin menguat dan bergema dari berbagai arah: ke mana sebenarnya Ahmad al-Sharaa membawa Suriah? Apakah ia akan menjadi pemimpin transisi yang sukses menavigasi badai? Ataukah ia akan menjadi tokoh berikutnya yang terjebak dalam spiral kekerasan dan kompromi politik?
Visi stabilitas memang ia bawa—menghadang IS, menjalin dialog dengan Barat, memperbaiki hubungan dengan negara tetangga. Namun tanpa perubahan nyata yang dirasakan rakyat di lapangan, semua itu bisa berujung pada simbol kosong.
Kita bisa berharap bahwa Suriah, suatu hari nanti, akan seperti Indonesia—yang juga pernah mengalami masa-masa gelap, namun perlahan bisa pulih. Tapi waktu terasa mahal bagi rakyat Suriah yang tiap hari dihantui ledakan, kehilangan anggota keluarga, dan menanti bantuan yang tak kunjung tiba.
Hampir enam bulan telah berlalu sejak al-Sharaa resmi memegang tampuk kekuasaan. Namun situasi hari ini tetap mencemaskan: kekerasan sektarian masih berlangsung, IS kembali bergerak, wilayah masih dicengkeram Israel, dan ekonomi masih terpuruk.
Fakta-fakta ini tak bisa dibantah. Suriah, di bawah Ahmad al-Sharaa, belum bergerak ke arah pemulihan yang nyata. Visi yang ia bawa masih tersangkut di tingkat elit diplomatik, belum menetes ke bawah, ke kehidupan rakyat biasa.
Saya hanya bisa berharap, dari jauh, bahwa langkah-langkah al-Sharaa tidak berhenti pada pencitraan atau diplomasi. Bahwa ia benar-benar mendengar suara rakyatnya, mengatasi luka sektarian, dan membangun kembali negara yang selama ini telah porak poranda.
Suriah layak pulih. Tapi untuk itu, pemimpinnya harus benar-benar berjalan bersama rakyat, bukan sekadar di atas panggung dunia. Jika tidak, maka sejarah hanya akan mengulang babak-babak lama yang penuh darah dan air mata.