Opini
Katz dan Janji Kosong: Lagu Lama dengan Nada Kehancuran

Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, tampaknya sedang menulis bab baru dalam buku strategi militer yang penuh janji-janji kosong. Dengan lantang, ia memerintahkan militer untuk segera menyusun rencana “kemenangan yang menentukan” atas Hamas. Entah apakah ia lupa bahwa kemenangan serupa telah diumumkan berkali-kali sebelumnya, atau mungkin ia hanya ingin menyegarkan ingatan rakyat Israel.
Katz mengatakan, “Kita harus menghancurkan Hamas sepenuhnya sebelum Presiden AS terpilih, Donald Trump, dilantik.” Sebuah tenggat waktu yang kedengarannya lebih seperti target presentasi di ruang rapat daripada strategi perang. Jika serangan brutal selama lebih dari setahun belum cukup, apa yang membuat Katz yakin segalanya akan lebih mudah sekarang?
Pernyataan ini jelas bukan untuk Hamas. Kelompok itu telah terbukti tangguh, bahkan di tengah blokade ketat dan serangan tanpa henti. Ini lebih seperti monolog untuk menenangkan masyarakat Israel yang frustrasi melihat pemerintah mereka terus gagal membebaskan para sandera. Dalam dunia politik, retorika seperti ini sering kali lebih penting daripada hasil nyata.
Namun, kenyataan di lapangan tidak bisa dimanipulasi seperti pidato politik. Meski infrastruktur Gaza telah hancur dan puluhan ribu nyawa melayang, Hamas tetap berdiri. Bahkan, mereka berhasil merekrut ribuan pejuang baru. Dalam hal ini, pernyataan Katz lebih mirip lagu lama dengan sedikit modifikasi nada agar terdengar segar.
Sungguh ironis, ketika Katz menegaskan bahwa “politik tidak relevan,” justru politiklah yang menjadi inti dari setiap langkah Israel. Bagaimana mungkin Gaza bisa dikelola tanpa Hamas sementara tidak ada kekuatan Arab atau internasional yang bersedia mengambil alih? Katz seolah-olah menjual mimpi kepada masyarakatnya, mimpi yang bahkan tidak ia yakini sendiri.
Mungkin yang membuatnya percaya diri adalah dukungan AS yang terus-menerus. Namun, bahkan pejabat militer AS telah menyatakan bahwa kekalahan total Hamas adalah ilusi. Terowongan bawah tanah yang membentang ratusan kilometer dan para pejuang yang terus beroperasi menunjukkan bahwa Hamas bukan sekadar target fisik, melainkan ideologi yang sulit dimusnahkan.
Dalam bayangan Katz, Gaza akan menjadi wilayah yang damai begitu Hamas dihancurkan. Ia lupa, atau mungkin mengabaikan, fakta bahwa menghancurkan satu kelompok hanya akan melahirkan perlawanan baru. Gaza bukan sekadar wilayah geografis; itu adalah simbol perlawanan, dan setiap bom yang dijatuhkan hanya memperkuat simbol itu di mata dunia.
Di sisi lain, rakyat Israel terus mendesak Netanyahu untuk bertindak cepat. Membebaskan para sandera adalah tuntutan utama, dan pemerintah harus terlihat mengambil langkah tegas. Maka, pernyataan Katz ini lebih seperti pertunjukan panggung untuk menenangkan penonton yang mulai gelisah daripada strategi yang benar-benar substansial.
Namun, penonton yang sama telah melihat pertunjukan ini berkali-kali. Mereka tahu bahwa janji kemenangan total hanyalah ilusi yang berulang. Ketika seorang jenderal Israel sendiri mengakui bahwa mereka tidak memiliki cukup pasukan untuk menduduki Gaza, harapan untuk “menghancurkan Hamas” terdengar seperti lelucon yang basi.
Katz mungkin berpikir bahwa ia sedang memainkan kartu kemenangan. Namun, bagi dunia luar, ini lebih mirip upaya putus asa untuk menutupi kegagalan selama setahun terakhir. Gaza telah dihancurkan, tapi Hamas tetap berdiri, dan perang yang tanpa akhir ini hanya memperpanjang penderitaan warga sipil.
Akhirnya, pernyataan ini hanyalah bagian dari siklus yang berulang. Hamas tetap ada, Gaza tetap menderita, dan pemerintah Israel tetap menjual janji-janji kosong kepada rakyatnya. Katz mungkin baru di posisi ini, tetapi skenarionya tetap sama. Sebuah lagu lama, dengan penyanyi baru, yang tetap menyanyikan nada-nada kehancuran.