Opini
Kartini: Menyinari Perjuangan Perempuan Dunia dan Indonesia

Di sebuah desa kecil di Jepara, lebih dari seabad lalu, seorang perempuan muda menulis surat-surat yang menyuarakan mimpi besar: pendidikan untuk perempuan, kebebasan dari kungkungan patriarki, dan kesetaraan yang manusiawi. Raden Ajeng Kartini, dengan pena dan visinya, menabur benih emansipasi yang kini kita rayakan setiap 21 April. Namun, di Hari Kartini ini, ketika kita memandang dunia dan Indonesia, apakah mimpi Kartini telah utuh terwujud, atau masih terhambat oleh ketidakadilan yang terus membayang?
Di seluruh dunia, perempuan masih berjuang melawan kekerasan berbasis gender yang mencengkeram. Data UN Women mencatat 736 juta perempuan mengalami kekerasan fisik atau seksual, angka yang mencerminkan luka global yang belum sembuh. Di Eropa, satu dari tiga perempuan menjadi korban, sering kali dalam bentuk kekerasan daring seperti ujaran kebencian di media sosial. Kartini, yang pernah menulis tentang martabat perempuan, pasti akan terkejut melihat bagaimana teknologi modern justru menjadi pedang bermata dua bagi kesetaraan.
Indonesia, tanah air Kartini, tidak luput dari bayang-bayang ini. Komnas Perempuan melaporkan 289.111 kasus kekerasan berbasis gender pada 2023, mulai dari kekerasan dalam rumah tangga hingga pelecehan di ruang publik. Pernikahan dini masih merenggut masa depan 14% perempuan yang menikah sebelum usia 15 tahun, mengingatkan kita pada perjuangan Kartini melawan kawin paksa. Di era digital, kekerasan daring seperti doxing menargetkan aktivis perempuan, memperumit perjuangan yang Kartini mulai dengan surat-suratnya.
Ketidaksetaraan ekonomi juga menjadi duri dalam perjuangan global. Di Eropa, perempuan menyumbang 62% pekerja bergaji minimum, dengan kesenjangan upah rata-rata 13%. Di Indonesia, perempuan menghadapi kesenjangan upah 20-30% lebih rendah dibandingkan laki-laki di sektor formal, dan banyak yang terjebak di sektor informal tanpa jaminan sosial. Kartini, yang memimpikan kemandirian perempuan, akan melihat ketimpangan ini sebagai pengkhianatan terhadap visinya tentang perempuan yang berdaya secara ekonomi.
Polarisasi sosial semakin memperkeruh perjuangan ini. Di Eropa, kebangkitan partai sayap kanan seperti AfD di Jerman memicu narasi anti-feminis, menentang kebijakan pro-gender seperti kuota perempuan. Di Indonesia, ketegangan antara kelompok konservatif-agamis dan progresif sering kali menghambat advokasi kesetaraan, misalnya dalam revisi undang-undang perkawinan. Kartini, yang berani menantang norma patriarkal di masanya, akan mengenali polarisasi ini sebagai musuh lama dalam wajah baru.
Hak atas otonomi tubuh perempuan juga masih diperebutkan. Di Eropa Timur, seperti Polandia, pembatasan aborsi memicu protes besar, mencerminkan perjuangan untuk kendali atas tubuh sendiri. Di Indonesia, pernikahan dini dan stigma budaya membatasi kebebasan perempuan dalam membuat pilihan hidup. Kartini, yang menolak perjodohan demi martabatnya, akan melihat perjuangan ini sebagai kelanjutan dari mimpinya tentang perempuan yang berdaulat atas dirinya sendiri.
Namun, di tengah tantangan, ada kilau harapan yang mencerminkan semangat Kartini. Di Eropa, aksi seperti Grève Féministe di Prancis menuntut keadilan ekonomi dan perlindungan dari kekerasan. Di Indonesia, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (2022) menjadi tonggak hukum untuk melindungi perempuan. Organisasi seperti Komnas Perempuan dan kelompok feminis lokal terus menyuarakan hak perempuan, menggemakan keberanian Kartini yang menulis demi perubahan.
Hari Kartini bukan sekadar peringatan, tetapi panggilan untuk bertindak. Visi Kartini tentang pendidikan sebagai pembebasan masih relevan ketika 129 juta anak perempuan dunia tidak bersekolah, dan akses pendidikan tinggi di Indonesia masih terbatas di daerah pedesaan. Investasi dalam pendidikan perempuan, seperti yang ditegaskan tema UN Women “Invest in women: Accelerate progress,” adalah cara untuk mewujudkan mimpi Kartini di era modern.
Media sosial, meskipun sering menjadi sarang polarisasi, juga menawarkan peluang. Di Eropa, aktivis menggunakan platform digital untuk melawan ujaran kebencian, sementara di Indonesia, kampanye daring tentang kekerasan berbasis gender mulai menggema. Kartini, yang mengubah dunia dengan surat-suratnya, akan melihat media sosial sebagai alat baru untuk memperluas jangkauan advokasi, asalkan digunakan dengan bijak untuk menyatukan, bukan memecah.
Solidaritas global adalah kunci untuk mewujudkan visi Kartini. Perjuangan perempuan Eropa melawan pembatasan aborsi, perempuan Indonesia melawan pernikahan dini, dan perempuan di wilayah konflik melawan perdagangan manusia adalah wajah dari satu perjuangan: kesetaraan. Hari Kartini dapat menjadi momen untuk membangun jembatan antarnegara, seperti melalui kampanye global atau pertukaran pengalaman aktivisme, menguatkan semangat emansipasi yang Kartini nyalakan.
Di Indonesia, Hari Kartini harus lebih dari seremoni. Ini adalah saat untuk memperkuat kebijakan pro-gender, seperti menegakkan UU TPKS atau meningkatkan kuota perempuan di parlemen menuju 30%. Program beasiswa dan pelatihan kerja untuk perempuan, terutama di daerah tertinggal, akan menghidupkan kembali mimpi Kartini tentang kemandirian. Melawan polarisasi juga krusial, dengan mendorong dialog antara kelompok konservatif dan progresif untuk menemukan titik temu demi kesetaraan.
Refleksi Hari Kartini mengajak kita melihat perjuangan perempuan sebagai perjalanan yang belum selesai. Kartini tidak hanya milik Indonesia, tetapi dunia. Mimpinya tentang perempuan yang terdidik, berdaya, dan bebas dari kekerasan adalah cermin bagi perjuangan global, dari demonstrasi di Paris hingga aksi mahasiswa di Jakarta. Tantangan seperti kekerasan, ketimpangan, dan polarisasi masih ada, tetapi semangat Kartini—keberanian untuk bersuara dan bertindak—tetap menyala.
Hari Kartini adalah panggilan untuk mewujudkan dunia yang Kartini impikan: dunia di mana perempuan tidak lagi terbelenggu, tetapi terbang bebas menuju potensi penuh mereka. Mari kita jadikan peringatan ini sebagai titik tolak untuk aksi nyata—mendidik, memberdayakan, dan melindungi perempuan, di Indonesia dan dunia. Seperti yang Kartini tulis, “Habis gelap terbitlah terang.” Cahaya itu ada di tangan kita semua.
Daftar Sumber:
- UN Women. (2024). “Facts and Figures: Ending Violence against Women.” Diakses dari https://www.unwomen.org/en/what-we-do/ending-violence-against-women/facts-and-figures.
- Komnas Perempuan. (2023). “Laporan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan.” Diakses dari https://komnasperempuan.go.id.
- (2023). “Gender Pay Gap Statistics.” Diakses dari https://ec.europa.eu/eurostat/statistics-explained/index.php?title=Gender_pay_gap_statistics.
- (2025). “Radicalisation of Anti-Women’s Rights Discourse.” Diakses dari https://www.euronews.com.
- (2024). “Global Education Monitoring Report: Girls’ Education.” Diakses dari https://unesco.org.
- Kartini, R.A. (1911). Habis Gelap Terbitlah Terang. Terjemahan oleh Armijn Pane.
- (2025). “Global Issues Survey.” Diakses dari https://www.ipsos.com.
- Komnas Perempuan. (2022). “UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual: Latar Belakang dan Implementasi.” Diakses dari https://komnasperempuan.go.id.