Opini
“Karma Assad”: Erdogan di Ambang Kejatuhan

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan kini tengah menghadapi ujian terbesarnya. Gelombang protes mengguncang negeri, oposisi semakin berani, dan rakyat yang dulu memujanya kini mulai kehilangan kesabaran. Di jalanan Istanbul, Ankara, dan kota-kota besar lainnya, suara-suara kemarahan semakin lantang. Ada yang menuntut kebebasan, ada yang menuntut stabilitas ekonomi, dan ada pula yang, dengan nada penuh ironi, menyebut ini sebagai “Karma Assad.”
Bagaimana tidak? Jika ada yang paling bersemangat menggulingkan Bashar al-Assad dari tahtanya, Erdogan adalah salah satunya. Sejak awal konflik Suriah pada 2011, Erdogan menjadi salah satu sponsor utama oposisi anti-Assad. Ia mendanai kelompok-kelompok pemberontak, membuka perbatasan bagi para pejuang asing, serta memberikan dukungan logistik dan militer untuk mempercepat kejatuhan rezim Assad. Erdogan juga berperan aktif dalam berbagai pertemuan internasional yang bertujuan untuk menekan Assad dan menggalang dukungan dari Barat serta negara-negara Arab.
Turki di bawah Erdogan juga menjadi salah satu tempat perlindungan utama bagi tokoh-tokoh oposisi Suriah. Beberapa dari mereka diberikan akses luas untuk mengorganisir gerakan perlawanan terhadap Assad dari dalam wilayah Turki. Di Idlib, provinsi terakhir yang dikuasai oposisi sebelum akhirnya jatuh ke tangan rezim Suriah, Turki memainkan peran penting dalam memperkuat kelompok pemberontak dengan dalih menjaga stabilitas dan keamanan kawasan. Erdogan, dengan penuh percaya diri, pernah mengatakan bahwa Assad “tidak akan bisa bertahan lama” dan bahwa Suriah akan segera melihat era baru tanpa diktator yang ia anggap sebagai musuhnya.
Tapi nasib berkata lain. Assad tidak mampu bertahan. Meskipun mendapat dukungan dari Rusia dan Iran, rezimnya akhirnya tumbang pada Desember 2024. Oposisi yang selama ini berjuang di bawah tekanan berhasil mengambil alih kendali, menandai akhir dari kekuasaannya yang telah berlangsung lebih dari dua dekade. Namun, ironi politik justru terjadi di Turki. Erdogan, yang dulu berambisi menggulingkan Assad, kini menghadapi situasi serupa di negerinya sendiri: gelombang protes yang tak terbendung, oposisi yang semakin solid, dan ketidakstabilan ekonomi yang menggerus dukungan rakyatnya.
Lucu memang bagaimana dunia bekerja. Ketika Erdogan bersorak melihat jatuhnya pemimpin lain, ia lupa bahwa kursi kekuasaan itu tak pernah abadi. Kini, ia menghadapi skenario yang dulu ia harapkan terjadi pada Assad: gelombang protes yang tak kunjung reda, oposisi yang semakin kuat, dan perekonomian yang ambruk. Sebuah kombinasi yang, dalam dunia politik, sering kali menjadi resep kejatuhan seorang pemimpin.
Tapi ada satu ironi lain yang lebih menyakitkan. Ketika oposisi Suriah menuduh Assad sebagai diktator brutal yang menekan kebebasan berpendapat dan membungkam para demonstran dengan kekerasan, Erdogan ada di garis depan yang mendukung oposisi tersebut. Erdogan mengutuk Assad sebagai tiran yang kejam, menuduhnya melakukan kejahatan terhadap rakyatnya sendiri. Namun kini, Erdogan justru menghadapi tuduhan yang sama di negerinya sendiri.
Gelombang demonstrasi di Turki tidak hanya muncul karena ekonomi yang terpuruk, tetapi juga karena represi yang semakin keras terhadap lawan politik dan rakyatnya. Demonstran dipukuli, gas air mata ditembakkan, ribuan orang ditangkap. Media-media yang mengkritik Erdogan dibungkam. Suara oposisi direpresi. Sebuah adegan yang tidak jauh berbeda dari apa yang dulu Erdogan tuduhkan kepada Assad. Dulu, ia mendukung “pemberontakan” melawan Assad, kini ia menjadi target “pemberontakan” di negerinya sendiri.
Ekrem Imamoglu, walikota Istanbul yang sempat dijebloskan ke penjara oleh Erdogan, kini menjadi simbol perlawanan. Penangkapan Imamoglu bukanlah akhir, justru menjadi awal bagi oposisi untuk bersatu melawan sang Sultan. Rakyat yang muak dengan kebijakan represif Erdogan mulai turun ke jalan. Jika dulu Erdogan mendukung oposisi Suriah, kini ia berhadapan dengan oposisi di negerinya sendiri. Apakah ini yang disebut karma politik?
Mari kita tengok situasi ekonomi Turki. Lira terjun bebas, harga kebutuhan pokok melambung, dan rakyat menjerit. Di saat yang sama, Erdogan terus menampilkan wajah seorang pemimpin yang tak tergoyahkan. Namun, sejarah telah berulang kali membuktikan bahwa pemimpin yang mengabaikan suara rakyatnya hanya menunggu waktu sebelum digulingkan. Assad tumbang di tengah perang saudara, tetapi Erdogan bisa saja tumbang tanpa perlu letusan senjata, cukup dengan kemarahan rakyat dan perpecahan di tubuh partainya sendiri.
Faksi-faksi dalam AKP mulai gelisah. Ada yang melihat Erdogan sebagai beban, ada yang diam-diam mulai menyusun rencana cadangan. Dalam politik, kesetiaan bersifat cair. Mereka yang dulu berlutut di hadapan Erdogan, bisa dengan cepat berubah haluan jika angin berembus ke arah yang berbeda. Sejarah penuh dengan pengkhianatan semacam ini. Erdogan tentu tahu, tapi pertanyaannya: apakah ia siap menghadapinya?
Dunia internasional juga mulai mengamati. Barat yang dulu berseteru dengan Erdogan kini mungkin melihat peluang untuk menekan lebih jauh. Jika situasi memburuk, tekanan ekonomi dan politik dari luar bisa menjadi pukulan tambahan yang mempercepat kejatuhan sang pemimpin. Turki bukanlah Suriah, tetapi dalam urusan menggulingkan pemimpin, pola yang sama bisa terjadi. Erdogan yang dulu berusaha menjatuhkan Assad dengan berbagai cara, kini harus menghadapi kemungkinan dirinya dijatuhkan dengan cara yang tak kalah menyakitkan.
Dan yang lebih menarik, rakyat Turki mulai berani bersuara. Jika beberapa tahun lalu kritik terhadap Erdogan bisa berujung di balik jeruji besi, kini gelombang protes justru semakin membesar. Media sosial dipenuhi dengan sindiran tajam. Warga mulai membandingkan Erdogan dengan pemimpin-pemimpin yang jatuh sebelum waktunya. Sebuah ironi, mengingat Erdogan dulu dipuja sebagai penyelamat Turki, kini justru menjadi simbol dari krisis yang tak kunjung usai. Erdogan dulu mendukung oposisi suriah menjatuhkan Assad, kini merasakan tajamnya tusukan dari oposisi di negerinya sendiri.
Lalu, ada satu spekulasi yang semakin ramai dibicarakan di media sosial dan forum-forum politik: apakah Erdogan akan menyusul Assad ke Rusia? Jika rezimnya tumbang, apakah ia akan mencari perlindungan di Moskow seperti Assad yang mendapat dukungan penuh dari Kremlin? Bayangkan, Erdogan yang dulu bersumpah akan menyingkirkan Assad, akhirnya harus meminta suaka di tempat yang sama. Sebuah skenario yang sangat mungkin terjadi, dan pastinya akan menjadi lelucon politik terbesar abad ini.
Jika kita ingin melihat bagaimana roda politik berputar, Turki adalah contoh yang sempurna. Erdogan yang dulu adalah arsitek kejatuhan Assad, kini menghadapi musuh yang sama: kemarahan rakyatnya sendiri. Jika Assad mampu bertahan selama lebih dari satu dekade di tengah perang saudara, apakah Erdogan bisa bertahan menghadapi ancaman dari dalam negerinya sendiri? Ataukah sejarah akan mencatat bahwa Erdogan, sang pemimpin yang pernah berambisi mengatur Timur Tengah, akhirnya jatuh akibat ulahnya sendiri?
Jika Erdogan tumbang, dunia akan menyaksikan bagaimana politik bisa begitu ironis. Mereka yang dulu merasa paling kuat, bisa menjadi yang paling rapuh. Mereka yang dulu menertawakan kejatuhan orang lain, akhirnya jatuh dengan cara yang sama. Akankah “Karma Assad” benar-benar menjadi nyata? Waktu yang akan menjawab.
Referensi:
https://english.almayadeen.net/news/politics/turkey-opposition-calls-mass-rally-in-istanbul
https://www.turkishminute.com/2025/03/29/protesters-flock-to-mass-opposition-rally-in-istanbul3/