Connect with us

Opini

Kanada-Meksiko Murka, AS Kini Dilihat Musuh

Published

on

Pada pagi yang tenang di awal April 2025, sebuah laporan yang diterbitkan oleh lembaga survei Leger menebarkan riak kejut ke tengah percakapan politik dan ekonomi Amerika Utara. Bertajuk The Three Amigos Survey, laporan ini menggambarkan perubahan tajam dalam persepsi publik di kawasan yang selama puluhan tahun dikenal sebagai segitiga kerja sama erat: Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko. Alih-alih memancarkan citra kemitraan dan saling percaya, data terbaru justru mengungkap bahwa 43% warga Kanada dan 35% warga Meksiko kini memandang Amerika Serikat sebagai “negara musuh.” Fakta ini mencengangkan, mengingat ketiga negara pernah dijuluki Three Amigos karena kedekatan mereka melalui perjanjian dagang seperti NAFTA dan, kemudian, USMCA.

Namun di balik angka-angka itu, tersimpan ironi yang mendalam: relasi yang dulunya menjadi simbol integrasi kawasan kini tengah retak oleh gelombang kebijakan sepihak yang kembali mencuat sejak Donald Trump menjabat untuk kali kedua. Survei yang dilakukan pada akhir Maret 2025 ini melibatkan 1.628 warga Kanada, 1.013 warga AS, dan 1.003 warga Meksiko yang berusia 18 tahun ke atas. Temuannya memperlihatkan pergeseran emosi dan persepsi yang signifikan. Sebanyak 64% warga Kanada dan 59% warga Meksiko tidak menyalahkan rakyat Amerika atas kesulitan ekonomi yang mereka alami, melainkan kebijakan Trump. Artinya, yang terguncang bukan hanya hubungan formal antarnegara, melainkan juga fondasi kepercayaan emosional antarmasyarakat.

Bayangkan tiga tetangga lama yang dahulu duduk bersama di meja makan, saling bertukar cerita dan berbagi hasil panen. Kanada menyuplai kayu, energi, dan logistik; Meksiko menjadi lumbung pertanian dan tenaga kerja; sementara Amerika Serikat membuka pasar yang menyatukan keduanya. Tapi kini, setelah Trump kembali ke Gedung Putih dan memberlakukan tarif tinggi atas ekspor Kanada dan Meksiko, pintu rumah bersama itu seperti tertutup rapat. Dalam laporan Leger, 87% warga Kanada dan 84% warga Meksiko meyakini bahwa kebijakan tarif ini akan menghancurkan ekonomi mereka. Aliansi ekonomi yang dulu berbasis saling menguntungkan kini menjelma menjadi arena konfrontasi dagang.

Ironi terbesar terletak pada kenyataan bahwa slogan “Make America Great Again” yang dijadikan landasan kebijakan justru membuat Amerika kehilangan teman terdekatnya. Di dalam negeri, opini warga AS pun terbelah: 52% percaya bahwa tarif-tarif baru akan merugikan Amerika sendiri, sementara 29% menyambutnya sebagai langkah positif. Namun dari sisi luar perbatasan, dampaknya terasa lebih menyakitkan. Kanada dan Meksiko mulai menyiapkan respons dalam bentuk pembalasan tarif. Pendekatan tit-for-tat ini menunjukkan bahwa mereka tidak lagi melihat AS sebagai mitra strategis, melainkan kekuatan yang harus diantisipasi.

Apa yang semula merupakan kemarahan terhadap satu tokoh kini mulai membentuk narasi kolektif yang lebih luas. Laporan Leger menunjukkan bahwa meskipun sebagian besar responden mampu membedakan Trump dari rakyat AS, tetap saja 43% warga Kanada dan 35% warga Meksiko secara gamblang menyebut AS sebagai “negara musuh.” Ini bukan sekadar ekspresi frustrasi, tetapi sinyal kuat bahwa kebijakan proteksionisme tidak hanya mengganggu neraca perdagangan—ia juga menggerus simpati dan mengubah cara bangsa-bangsa memandang satu sama lain.

Hubungan trilateral antara AS, Kanada, dan Meksiko sejatinya dibangun di atas fondasi saling percaya. Ketika NAFTA ditandatangani pada 1994, ketiga negara merayakan lahirnya era baru kerja sama ekonomi. Kanada sempat menjadi mitra dagang terbesar AS, dengan nilai perdagangan bilateral yang melampaui 600 miliar dolar AS per tahun sebelum pandemi. Sementara Meksiko memainkan peran krusial dalam rantai pasok otomotif yang menopang kota-kota industri seperti Detroit. Namun gelombang proteksionisme yang dibawa kembali oleh Trump mengguncang semua itu, menggeser dinamika dari simbiosis menjadi kompetisi.

Retakan ini pun beresonansi ke arena politik domestik, terutama di Kanada, menjelang pemilu federal pada 28 April 2025. Survei Leger mencatat bahwa 44% warga Kanada akan memilih Partai Liberal pimpinan Mark Carney, dibandingkan 38% yang mendukung Partai Konservatif di bawah Pierre Poilievre. Bahkan, 46% responden percaya bahwa Liberal akan memenangkan pemilu, terlepas dari afiliasi politik mereka. Carney tampaknya dianggap lebih mampu menavigasi badai ekonomi yang dipicu kebijakan Trump, dibandingkan Poilievre yang dikenal lebih nasionalis namun belum teruji dalam krisis perdagangan internasional.

Di Meksiko, kemarahan publik juga menguat. Dengan 84% responden menyatakan kekhawatiran bahwa ekspor mereka akan terdampak parah, pemerintah tampaknya akan segera mengambil langkah-langkah pembalasan. Ini bukan kali pertama Meksiko bersitegang dengan AS—pada 2018, mereka pernah merespons tarif Trump dengan mengenakan pungutan atas baja dan produk pertanian dari AS. Kini, luka lama itu terbuka kembali, dan narasi solidaritas “Three Amigos” terdengar seperti kenangan yang kian menjauh, digantikan oleh sikap waspada dan kalkulasi pragmatis.

Yang membuat situasi ini semakin memilukan adalah kenyataan bahwa Trump kemungkinan besar tak melihat semua ini sebagai kerugian. Kepemimpinannya yang kerap keras kepala dan berfokus pada kepentingan domestik telah lama menjadi ciri khasnya. Tapi saat lebih dari separuh warga AS sendiri menyadari bahwa kebijakan tarif merugikan mereka, pertanyaannya menjadi: untuk siapa sebenarnya semua ini? Jika tujuannya adalah kebangkitan ekonomi, mengapa hasilnya adalah keterasingan? Kanada dan Meksiko, dua negara tetangga yang selama ini menopang posisi strategis AS di pentas global, kini berdiri di sisi seberang.

Laporan Leger menjadi semacam cermin yang memantulkan kenyataan pahit. Survei yang dilangsungkan pada 26–31 Maret di Meksiko, dan 28–31 Maret di Kanada dan AS, menangkap momen genting yang tidak bisa diabaikan. Ini bukan sekadar soal fluktuasi angka perdagangan, tetapi tentang perubahan mendalam dalam lanskap hubungan antarbangsa. Apa yang dulu merupakan kisah tentang tiga negara yang saling mendukung kini berubah menjadi babak baru yang penuh kecurigaan, dengan tarif dan kepahitan sebagai alur utamanya.

Retakan ini juga menyisakan pertanyaan besar tentang masa depan: mungkinkah hubungan trilateral ini kembali utuh setelah era Trump berlalu? Ataukah luka ini akan menjadi permanen? Tidak menutup kemungkinan Kanada dan Meksiko akan memperkuat hubungan dengan mitra lain seperti Uni Eropa atau China untuk mengurangi ketergantungan pada AS. Sebaliknya, AS mungkin akan menghadapi realitas baru sebagai negara besar yang semakin terisolasi—sebuah ironi tragis bagi bangsa yang dahulu memimpin arsitektur perdagangan bebas global.

Kini, citra Three Amigos tinggal kenangan. Yang tersisa adalah tiga bangsa yang saling menatap dengan kewaspadaan di meja negosiasi. Trump boleh jadi melihat ini sebagai keberhasilan: ia bisa memaksakan kehendaknya. Namun bagi Kanada dan Meksiko, ini adalah pengkhianatan. Dan bagi Amerika Serikat sendiri, ini adalah pengingat menyakitkan bahwa dalam dunia yang saling terhubung, bahkan sekutu terdekat pun bisa berubah menjadi lawan jika kepercayaan telah runtuh.

Hari ini, 6 April 2025, kita berdiri di ambang perubahan besar. Pemilu Kanada semakin dekat, eskalasi dagang terus berlanjut, dan masa depan aliansi trilateral ini kian tak pasti. Namun satu hal telah menjadi terang: kebijakan yang egois tidak hanya menghancurkan angka-angka ekonomi. Ia juga menghancurkan ikatan—ikatan sejarah, kerja sama, dan rasa saling percaya yang pernah menyatukan tiga bangsa dalam harmoni.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *