Opini
Kami Tidak Butuh Senjata, Kami Butuh Doa dan Tisu

Sebuah keputusan penting soal senjata—bukan senjata nuklir, bukan senjata kimia, tapi senjata kelompok yang selama puluhan tahun justru membela negaranya—diputuskan ditunda. Hari itu, 5 Agustus, Perdana Menteri Lebanon Nawaf Salam berdiri di hadapan publik, menyampaikan bahwa keputusan soal senjata Hizbullah akan dibahas kembali minggu depan. Sebelumnya, para menteri dari Hizbullah dan Amal telah lebih dulu angkat kaki dari ruang sidang, meninggalkan meja bundar yang katanya demi masa depan negara, tapi makin hari makin mirip meja judi: kadang beruntung, seringkali dirampok.
Tentu saja, dunia bersorak. Bukan karena kejelasan, tapi karena penundaan dianggap sebagai celah—untuk kembali menekan. AS terus mendorong pemerintah Lebanon agar segera melucuti senjata Hizbullah. Mereka bahkan sudah menyiapkan draft rencana, daftar tuntutan, dan—ini bagian terbaiknya—batas waktu. Kabinet Lebanon diminta untuk menyetujui pelucutan itu sebelum akhir bulan. Jangan terlalu lama berpikir, kata Washington, seolah-olah yang dipertaruhkan bukan kedaulatan negara, tapi sekadar kontrak pinjaman koperasi.
Hizbullah, seperti biasa, tak langsung menyerang balik. Tapi pidato Sekjen Naim Qassem cukup jelas: jika kami menyerahkan senjata, maka agresi tak akan berhenti. Dan memang, sejarah memperkuat klaim itu. Karena sejak perjanjian gencatan senjata tahun lalu, Israel masih terus menyerang. Lebih dari 200 orang tewas akibat serangan udara dan drone, meski Hizbullah sudah mundur ke utara Sungai Litani, sesuai kesepakatan. Jadi pertanyaannya: siapa sebenarnya yang tidak mematuhi perjanjian?
Tapi tak semua pertanyaan butuh jawaban—kadang cukup diludahi dengan sarkasme. Dunia internasional, terutama dari gedung-gedung berhawa sejuk di Washington, Brussels, dan Riyadh, tampaknya sudah sepakat bahwa logika harus dibalik: korban harus menyerahkan senjata, penjajah diberi panggung untuk menyampaikan “kekhawatiran keamanannya.” Penjajah merasa cemas, katanya. Maka korban diminta diam. Korban harus menunjukkan bahwa mereka mencintai perdamaian—dengan cara tak lagi bisa melawan.
Dan inilah tragedi yang kini tengah dipertontonkan di Lebanon dan Gaza. Sama seperti dunia memaksa Hizbullah melucuti senjatanya, mereka juga menuntut Hamas meletakkan senjata. Bayangkan: sebuah wilayah yang diblokade total, dikepung dari darat, laut, dan udara, penduduknya dibantai hampir setiap pekan, tapi masih saja diminta membuktikan bahwa mereka “tidak berbahaya.” Seperti meminta seorang tahanan dalam sel gelap untuk meyakinkan sipirnya bahwa ia tidak punya rencana kabur, padahal kakinya sudah dirantai.
Dunia seakan membisikkan satu pesan absurd: Hamas hanya akan dianggap bermartabat jika mereka bersedia dilucuti, ditindas, dan tetap diam. Nyatanya, ratusan ribu yang mati dalam diam pun tetap dituduh jadi ancaman. Sekolah diserang, anak-anak dilabeli “kombatan potensial,” dan rumah sakit dituduh sebagai markas teroris. Maka dengan logika ini, tak peduli bersenjata atau tidak, mereka tetap dianggap musuh. Kalau begitu, untuk apa menyerah?
Tapi itulah ironi besar abad ini. Dunia tidak ingin perdamaian yang adil, mereka hanya ingin keheningan—keheningan dari pihak yang lemah, tentu saja. Dan kalau perlu, keheningan yang abadi. Maka senjata harus diletakkan, agar peluru bisa menghujani mereka tanpa perlawanan. Dan kita di dunia luar, cukup mengirimkan duka cita, donasi air minum, dan tentu saja—doa.
Ya, doa. Karena rupanya itu yang paling dibutuhkan oleh kelompok perlawanan hari ini. Bukan senjata, bukan logistik, bukan pengakuan politik. Cukup doa dan, kalau bisa, tisu. Untuk mengelap darah yang menetes dari tubuh anak-anak. Tisu yang bisa digunakan juga untuk membungkus serpihan tulang.
Apa yang terjadi ini bukan cuma pengkhianatan politik, tapi juga pengingkaran akal sehat. Dunia menginginkan “negara ideal” yang bersih dari milisi, tapi tak pernah bertanya siapa yang akan menjaga perbatasan ketika tentara resmi negara bahkan tak mampu menghadang satu drone pun dari utara. Mereka menyebutnya monopoli kekuatan oleh negara. Tapi jika negara itu lemah, dikooptasi asing, dan tidak punya nyali—apa yang bisa dimonopoli selain rasa malu?
Bayangkan jika Indonesia dulu, pada 1945, menunggu tentara sekutu dan Jepang mundur secara sukarela sebelum mengangkat bambu runcing. Bayangkan jika para pejuang kita dulu menunggu disahkan oleh PBB sebagai pihak legal dalam perjuangan. Maka kita tak akan pernah merdeka. Bung Tomo bisa saja disebut radikal, dan Soekarno dimasukkan ke daftar pantauan. Dunia akan berkata: “Kami mengerti penderitaan kalian, tapi tolong jangan lawan penjajah dengan kekerasan. Itu tidak beradab.”
Di dunia yang terbalik ini, penjajah disebut korban, dan pejuang disebut radikal. Dan bagi siapa saja yang masih memakai logika normal, kondisi ini sungguh melelahkan. Kita menonton televisi, melihat warga sipil dibombardir, lalu mendengar juru bicara tentara Israel berkata mereka hanya menyerang “infrastruktur teroris.” Lalu dunia meminta Palestina untuk menahan diri.
Kata “menahan diri” pun kini punya definisi baru. Ia tidak lagi berarti bersabar dari amarah, tapi menahan hak untuk hidup, untuk membela diri, untuk berkata cukup. Menahan diri dari melawan penjajahan adalah bentuk baru dari pasifisme yang dipaksakan, yang dibungkus sebagai kemanusiaan, tapi sejatinya pengabaian moral.
Hezbollah, Hamas, dan berbagai kelompok perlawanan lainnya mungkin tidak suci, tidak sempurna, bahkan bisa dikritik. Tapi satu hal yang pasti: mereka berdiri karena negara mereka diserang, bukan sebaliknya. Mereka melawan karena tak ada lagi yang bisa diandalkan. Negara lemah, PBB tak berdaya, dan dunia Arab lebih sibuk berdagang daripada berdaulat.
Jadi, ketika mereka diminta menyerahkan senjata, itu bukan soal taktik militer. Itu adalah upaya menjadikan mereka korban yang pasrah. Maka mereka menolak. Dan penolakan itu, dalam banyak hal, bukan karena mereka mencintai perang, tapi karena mereka sadar: dalam dunia yang sudah kehilangan logika, hak untuk melawan pun kini dianggap kesalahan.
Jadi, jika dunia sudah memutuskan bahwa membela diri adalah bentuk terorisme, maka mari kita revisi kamus global kita. Tambahkan saja satu definisi baru:
Perlawanan (n): Tindakan ilegal mempertahankan hidup dari kehancuran sistematis yang telah disahkan oleh lembaga internasional, disetujui oleh kekuatan besar, dan ditayangkan langsung ke seluruh dunia—dengan subtitle “demi perdamaian.”
Sumber: