Opini
Kalau Perang Menguntungkan, Kenapa Harus Damai?

Indeks utama bursa saham Tel Aviv melonjak 21,3 persen hanya dalam enam bulan pertama tahun 2025. Saham perusahaan-perusahaan keuangan, terutama sektor asuransi, bahkan naik sampai 68 persen. Angka ini mengalahkan hampir semua pasar saham dunia. Yang membuat lebih menarik: kenaikan itu terjadi saat Israel sedang terlibat perang di beberapa front sekaligus—Gaza, Lebanon, Iran, dan Yaman. Sebuah paradoks yang tak biasa, tapi nyata.
Bila melihat situasi secara jujur, justru di tengah perang itulah modal asing berdatangan. Data menyebutkan bahwa saham-saham Israel menerima $8,5 miliar investasi asing hanya dalam tujuh bulan pertama 2025. Startup teknologi juga kebanjiran modal, dengan lebih dari $9 miliar dana dikucurkan selama Januari hingga Juni. Kenaikan ini mencapai 54 persen dibanding paruh kedua tahun lalu. Semua ini terjadi saat bom terus berjatuhan di Gaza.
Di Gaza, yang terjadi bukan pertumbuhan, tapi kehancuran. Rumah-rumah rata dengan tanah, anak-anak meninggal dalam pelukan orang tua mereka, dan ribuan warga kelaparan di bawah blokade yang mematikan. Tapi di Tel Aviv, para investor tersenyum melihat portofolio mereka membesar. Nilai tukar shekel tetap kuat, dan optimisme pasar tetap tinggi. Sungguh, ini adalah salah satu ironi paling gelap dalam sejarah modern.
Maka muncullah pertanyaan yang tak bisa dihindari: Apakah Israel sengaja menjual semua perang itu sebagai strategi untuk menarik lebih banyak investor? Jika ya, maka kita sedang menyaksikan model bisnis paling kejam dalam sejarah: menjadikan kekerasan sebagai komoditas, menjadikan kematian sebagai peluang, dan menjadikan genosida sebagai instrumen pertumbuhan ekonomi.
Kita tahu, dalam logika pasar bebas, stabilitas adalah kunci utama. Tapi tampaknya pasar tidak terlalu peduli stabilitas moral. Buktinya, meski Israel dikutuk oleh banyak negara, dituduh melakukan kejahatan perang, dan bahkan diancam oleh Mahkamah Internasional, pasar tetap mengganjarnya dengan apresiasi modal. Investor tidak peduli siapa yang terbunuh, selama grafik tetap naik.
Bahkan serangan mematikan Israel ke Lebanon—yang menggunakan perangkat pager yang dirakit sebagai bom jarak jauh—dipandang investor sebagai bentuk “inovasi militer”. Beberapa analis menyebut serangan itu sebagai bentuk kejeniusan strategis. Jika bom bisa jadi daya tarik investasi, maka dunia benar-benar sedang mengalami gangguan moral yang sangat serius. Atau mungkin, ini bukan gangguan, tapi sudah jadi norma baru.
United Nations Special Rapporteur, Francesca Albanese, menyebut hal ini secara terang: “Genosida itu menguntungkan.” Dalam laporannya, ia menjelaskan bagaimana banyak perusahaan global mendapat keuntungan dari perang Israel. Ia menyebut nama-nama seperti Lockheed Martin, Caterpillar, Hyundai, Microsoft, dan Palantir sebagai pihak yang mendapat untung dari penderitaan rakyat Palestina. Tapi apa yang terjadi? Setelah menyampaikan hal itu, Ia malah dikenai sanksi oleh Amerika Serikat.
Francesca juga mengungkap bahwa Tel Aviv Stock Exchange melonjak 200 persen dalam beberapa tahun terakhir. Angka itu bukan hasil dari pertumbuhan damai, tapi dari pertumpahan darah yang terus berulang. “Satu bangsa diperkaya, satu bangsa dihapuskan,” kata Francesca dalam laporannya. Kata-kata itu tajam, tapi tak terbantahkan. Israel dibayar mahal oleh investor untuk terus menekan Palestina.
Di sisi lain, ketika gerakan boikot mulai menguat di banyak negara, termasuk di Indonesia, muncul narasi bahwa boikot itu merusak ekonomi, mengancam lapangan kerja, bahkan disebut tidak patriotik. Di Indonesia, orang-orang yang menyerukan boikot malah dituduh menyebar kebencian. Padahal mereka sedang berusaha menghentikan aliran uang ke negara yang nyata-nyata melakukan kejahatan kemanusiaan.
Boikot dianggap merusak stabilitas, tapi penindasan terhadap warga Palestina tidak. Begitulah cara dunia bekerja hari ini. Yang penting adalah menjaga kenyamanan investor. Sebab dalam kapitalisme, yang penting bukan siapa yang mati, tapi siapa yang masih bisa berinvestasi. Pasar tidak punya hati. Ia hanya punya grafik. Dan selama grafik itu naik, bom bisa terus dijatuhkan tanpa masalah.
Kita harus bertanya lebih dalam: bagaimana mungkin dunia yang katanya modern dan penuh empati bisa tetap berinvestasi di negara yang setiap hari membunuh warga sipil? Jawabannya sederhana: karena untung lebih penting daripada etika. Perang adalah bisnis, dan selama bisnis itu menjanjikan, maka perdamaian akan selalu ditunda. Bahkan mungkin, tidak pernah diinginkan sama sekali.
Israel tahu itu. Mereka paham betul bahwa setiap konflik bisa diubah menjadi sinyal bagi pasar. Mereka menjual narasi ketangguhan, stabilitas di tengah konflik, dan kekuatan teknologi militer. Dan pasar menyambutnya dengan tangan terbuka. Maka jangan heran kalau perang terus berlanjut. Bukan karena mereka tidak bisa berdamai, tapi karena damai tidak menguntungkan.
Ini bukan lagi persoalan politik semata, tapi soal siapa yang berani menyebut uang sebagai peluru. Karena hari ini, modal asing adalah bagian dari mesin perang. Setiap dolar yang masuk ke perusahaan teknologi Israel bisa berarti satu peluru tambahan. Setiap saham yang naik bisa berarti satu rumah lagi yang hancur. Dan kita semua—baik sadar atau tidak—ikut jadi bagian dari sistem itu.
Lalu bagaimana dengan kita di Indonesia? Apakah kita juga akan diam? Apakah kita akan terus membeli produk dari perusahaan yang ikut membiayai perang? Apakah kita rela menikmati diskon besar-besaran dari perusahaan global sambil menutup mata terhadap pembantaian? Atau kita akan memilih untuk berdiri, meski hanya dengan tidak membeli?
Kita harus tahu bahwa pilihan kecil kita tetap punya makna. Boikot bukan hanya soal ekonomi, tapi soal sikap. Ini adalah pernyataan bahwa kita tidak rela uang kita ikut menghidupi penjajahan. Bahwa kita lebih memilih kehilangan kenyamanan daripada kehilangan nurani. Bahwa meski pasar tak peduli, kita masih peduli.
Jika investor terus datang meski perang tak berhenti, maka Israel tak akan pernah merasa perlu mengakhirinya. Maka perang akan terus dijual, ditawarkan dalam bentuk paket investasi. Dan selama itu terjadi, dunia akan terus menyaksikan kejahatan yang sama, berulang-ulang, sambil pura-pura tidak melihat. Atau lebih buruk lagi: sambil menghitung untung.
Maka pertanyaannya: apakah kita akan terus menjadi penonton pasif dari tragedi yang menghasilkan laba? Atau kita akan mulai mengambil sikap, menolak ikut andil, dan mulai bicara tentang dunia yang lebih adil—meski itu berarti melawan arus pasar? Karena kalau perang terus menguntungkan, maka dunia memang sedang kehilangan akal. Dan kita sedang kehilangan arah.