Opini
Kala Prabowo Buka Peluang Diplomasi, Rakyat Serempak Menolak

Ketika Presiden Prabowo Subianto menyatakan bahwa Indonesia mungkin membuka hubungan diplomatik dengan Israel, dengan syarat negara itu mengakui kemerdekaan Palestina, seketika gelombang kegelisahan tersebar luas di ruang publik. Pernyataan itu memang bersyarat, namun bagi banyak orang di negeri ini, kata “diplomatik” dan “Israel” dalam satu kalimat sudah cukup mengguncang nalar moral yang sejak lama terbangun. Bukan karena kebencian membabi buta, tapi karena sejarah panjang solidaritas, luka, dan keberpihakan yang sudah tertanam dalam benak kolektif bangsa ini.
Tak berselang lama, Lembaga Survei Median merilis data yang memperjelas denyut hati rakyat. Dalam survei yang dilakukan pada 12–18 Juni 2025 terhadap 907 responden di 38 provinsi, mayoritas warga negara Indonesia—sebesar 74,9 persen—menyatakan dengan tegas bahwa Indonesia tidak seharusnya membuka hubungan diplomatik dengan Israel dalam kondisi apa pun. Mereka yang bersedia memberi celah bagi hubungan bersyarat tercatat hanya 20,7 persen. Sisanya, nyaris tak terdengar: hanya 0,9 persen yang mendukung hubungan tanpa syarat. Angka-angka ini berbicara lantang, menggaungkan perasaan yang tak bisa dibungkam oleh kalkulasi geopolitik semata.
Yang menarik, survei ini tak hanya berhenti pada relasi Indonesia-Israel. Ia juga menyingkap bagaimana warga digital Indonesia memaknai Hamas. Dari total 1.000 responden yang tersebar di 28 provinsi, yang disurvei secara daring antara akhir Februari hingga awal Maret 2025, sebanyak 94,7 persen menyatakan tahu tentang Hamas. Tapi bukan itu yang paling mencolok. Ketika ditanya apakah mereka menganggap Hamas sebagai pejuang kemerdekaan atau kelompok teroris, sebanyak 87 persen menyebut Hamas sebagai pejuang. Hanya 9,3 persen yang menyebutnya sebagai teroris. Sisanya, 3,7 persen, tidak tahu.
Di tengah gelombang propaganda global yang nyaris seragam menyematkan label “teroris” kepada Hamas, mayoritas netizen Indonesia memilih sudut pandang lain. Ini bukan sekadar perbedaan pendapat. Ini adalah cermin dari ingatan kolektif, dari luka sejarah, dari pengalaman sebagai bangsa yang pernah dijajah dan mengerti rasanya hidup di bawah penindasan. Di sinilah letak perbedaan: Indonesia tak hanya melihat dengan mata, tapi juga dengan hati.
Tentu, ada yang akan mengatakan bahwa ini hanyalah hasil dari “dunia maya”, dari kalangan yang aktif di media sosial, dari generasi yang mungkin lebih mudah terpengaruh oleh narasi tertentu. Median sendiri mengakui bahwa metode yang digunakan adalah non-probability sampling melalui Google Form, yang memang tak bisa sepenuhnya mewakili seluruh populasi. Namun pertanyaannya: apakah suara mereka karena itu menjadi tak penting? Apakah opini publik yang terbentuk di dunia maya tak punya daya gaung di dunia nyata?
Dalam dunia yang kini digerakkan oleh opini digital, suara netizen tak bisa lagi dianggap bisu. Mereka menekan, mengkritik, memobilisasi, dan bahkan menggeser arah kebijakan. Pandangan mayoritas ini menunjukkan bahwa ada konsensus moral yang belum bergeser: Indonesia berpihak kepada Palestina, dan melihat Israel sebagai penjajah yang belum berhenti menjajah. Maka, ketika narasi normalisasi hubungan mulai digaungkan, ada sesuatu yang terasa janggal—seolah jembatan sedang dibangun di atas luka yang masih menganga.
Penting untuk dicatat bahwa dukungan terhadap Palestina di Indonesia bukan hanya ekspresi emosional. Ia hadir dalam bentuk nyata: aksi solidaritas, donasi, khutbah Jumat, mural di gang sempit, doa dalam majelis, dan bahkan keputusan-keputusan politik luar negeri yang menolak menjalin hubungan dengan Israel sejak masa Soekarno. Palestina bukan sekadar isu luar negeri; ia adalah bagian dari nurani bangsa.
Dalam konteks ini, pernyataan Presiden Prabowo, betapapun bersyaratnya, harus dibaca dengan hati-hati. Ia bukan hanya soal diplomasi, tapi soal persepsi publik, soal identitas kolektif, soal prinsip yang selama ini dipegang teguh oleh rakyatnya. Apa jadinya jika hubungan itu benar-benar dijalin, sekalipun dengan syarat pengakuan kemerdekaan Palestina? Apakah publik akan melihatnya sebagai kemajuan atau justru sebagai pengkhianatan terhadap perjuangan panjang solidaritas?
Tentu, di sisi lain, kita tak bisa mengabaikan kompleksitas dunia internasional. Dunia berubah. Realitas politik global menuntut keluwesan. Tapi keluwesan bukan berarti kehilangan arah. Normalisasi hubungan dengan Israel bukan hanya soal pragmatisme diplomatik—ia menyentuh akar moral, menyentuh simpul-simpul solidaritas yang selama ini menjadi pijakan. Jika moral itu dikompromikan tanpa kejelasan batas, maka yang hilang bukan hanya prinsip, tapi juga kepercayaan rakyat.
Lalu, bagaimana sebaiknya pemerintah membaca hasil survei ini? Apakah ini hanya suara mayoritas digital yang bisa diabaikan dalam kerangka besar diplomasi? Atau justru inilah peringatan dini: bahwa di balik tiap keputusan luar negeri, ada taruhannya yang lebih dalam—kesetiaan kepada nilai-nilai dasar bangsa. Apakah kita akan bernegosiasi dengan entitas yang selama ini tak pernah menunjukkan itikad baik terhadap bangsa yang dijajahnya? Apakah pengakuan kemerdekaan Palestina yang dijanjikan akan benar-benar datang, atau hanya menjadi ilusi diplomatik?
Data dan fakta ini seharusnya bukan menjadi beban, melainkan panduan. Ia menunjukkan bahwa di tengah kekacauan dunia, masyarakat Indonesia masih teguh memegang prinsip anti-penjajahan. Ini bukan hal kecil. Ini kekuatan yang harus dihormati, bukan dikesampingkan. Ketika 74,9 persen rakyat berkata “jangan akui Israel”, itu bukan berarti mereka anti-perdamaian. Justru sebaliknya, mereka mengerti bahwa perdamaian sejati tidak bisa dibangun di atas kejahatan yang belum diakui dan luka yang belum dipulihkan.
Dalam dunia yang serba kabur antara kebenaran dan kepentingan, kadang suara publik adalah kompas paling jujur. Mungkin inilah saatnya para pembuat kebijakan membuka telinga, bukan hanya ke luar negeri, tetapi ke dalam hati rakyatnya sendiri. Sebab pada akhirnya, legitimasi tak hanya datang dari meja diplomasi—tapi dari kepercayaan rakyat yang merasa didengarkan dan dihargai.
Hamas mungkin tetap akan menjadi kontroversi global, dan hubungan dengan Israel akan terus menjadi dilema diplomatik. Tapi satu hal yang kini jelas dari survei ini: mayoritas rakyat Indonesia tahu di mana mereka berdiri. Dan itu, dalam politik luar negeri, adalah kekuatan yang tak boleh diabaikan.
Sumber: