Connect with us

Opini

Kala Jerman Goyah di Tengah Ambisi Mobil Listrik

Published

on

Sebuah asosiasi di Jerman yang menaungi ratusan perusahaan di sektor kendaraan listrik resmi mengajukan kebangkrutan. Kabar ini pertama kali dilaporkan Die Welt pada Minggu kemarin, mengutip data dari pengadilan. Seperti petir di siang bolong, berita ini mengguncang keyakinan bahwa bahkan raksasa industri pun tak kebal krisis. German Federal eMobility Association (BEM), jaringan yang mencakup 450 perusahaan—termasuk nama besar seperti Mitsubishi dan Kia, dengan omzet gabungan mencapai $114 miliar dan melibatkan sekitar satu juta pekerja—akhirnya tumbang di tengah tekanan yang tak sepenuhnya terungkap. Ini bukan sekadar keruntuhan satu organisasi, tapi sinyal keras akan guncangan di industri otomotif Jerman—simbol keunggulan teknis dan kebanggaan Eropa selama ini. Bayangkan, negeri yang melahirkan BMW dan Mercedes justru tersandung dalam ambisinya membangun masa depan kendaraan listrik. Apa maknanya ketika ikon teknik dunia mulai retak?

Didirikan 16 tahun lalu, BEM bukan organisasi sembarangan. Ia menjadi jembatan penting antara sektor industri, pemerintah, dan komunitas inovator. BEM mendorong kebijakan publik demi memperkuat infrastruktur pengisian daya, memfasilitasi kolaborasi antar pelaku industri, dan mempromosikan teknologi berbasis energi terbarukan. Dengan dewan penasihat parlementer yang cukup berpengaruh, BEM pernah memainkan peran strategis dalam membentuk arah e-mobilitas Jerman. Namun kini, Pengadilan Berlin-Charlottenburg telah menunjuk administrator sementara untuk mengelola proses kepailitan mereka. Salah satu anggota dewan BEM, Markus Emmert, memilih bungkam saat dimintai komentar oleh Die Welt. Tak ada penjelasan resmi atas runtuhnya asosiasi ini, tetapi petunjuknya jelas terlihat dalam lanskap ekonomi Jerman yang sedang suram.

Sektor otomotif Jerman tengah dirundung stagnasi. Bosch, pemasok otomotif terbesar dunia, telah memangkas ribuan pekerjaan. CEO mereka, Stefan Hartung, menyebut kombinasi dari ekonomi global yang lesu dan tekanan dari persaingan ketat dengan Tiongkok sebagai penyebab utama. Di saat bersamaan, adopsi kendaraan listrik di Jerman masih jauh dari harapan. Per Januari 2025, hanya sekitar 1,6 juta kendaraan listrik yang terdaftar—sekitar 3,3% dari total armada mobil penumpang. Angka ini jauh di bawah target ambisius 15 juta unit pada 2030. Kebijakan penghentian subsidi kendaraan listrik sejak akhir 2023—akibat krisis anggaran—menjadi pukulan telak. Bagi industri, kebijakan itu terasa seperti karpet yang tiba-tiba ditarik dari bawah kaki.

Pemerintahan Olaf Scholz pernah membayangkan jalanan Jerman dipenuhi kendaraan listrik. Tapi tanpa subsidi, harga EV menjadi tak terjangkau bagi masyarakat yang sudah tertekan oleh lonjakan biaya energi. Akhirnya, banyak yang memilih bertahan dengan kendaraan bensin yang lebih murah. Ini bukan sekadar kesalahan kebijakan; rasanya seperti sebuah visi hijau yang pelan-pelan ditinggalkan. Bagi BEM, yang selama ini hidup untuk mendorong e-mobilitas, ini seolah berarti kehilangan arah sekaligus harapan.

Kondisi ini semakin diperburuk oleh resesi ekonomi Jerman, yang menurut Handelsblatt Research Institute diprediksi berlangsung hingga 2025—resesi terpanjang sejak Perang Dunia II. Biaya energi yang tinggi, daya beli yang menyusut, dan ketidakpastian global telah mengguncang pondasi ekonomi mereka. Untuk memberi gambaran: bayangkan pedagang kecil di Pasar Tanah Abang yang harus bertahan saat harga bahan bakar naik dan pelanggan menghilang. Situasinya serupa di Jerman, hanya dalam skala industri raksasa. Sektor otomotif, yang menyumbang 5% dari PDB Jerman, kini melambat. Mobil-mobil listrik murah asal Tiongkok, seperti dari merek BYD, memberikan tekanan besar. Reuters bahkan melaporkan bahwa perusahaan-perusahaan Tiongkok mulai melirik pabrik Volkswagen yang terancam ditutup. Sementara itu, PHK massal terus bergulir. Volkswagen Group berencana memangkas hingga 48.000 pekerjaan hingga 2030, termasuk 7.500 dari Audi di Ingolstadt dan Neckarsulm, demi efisiensi senilai €1 miliar per tahun.

Ini bukan semata soal statistik. Coba bayangkan pekerja di Ingolstadt yang menerima kabar PHK dari Audi, atau keluarga di Neckarsulm yang kehilangan tumpuan hidupnya. Kita di Indonesia mengenal rasa itu. Krisis 1998 pernah merenggut pekerjaan ribuan orang di sektor tekstil. Bedanya, kali ini terjadi di jantung industri Eropa. Negara yang dulu merancang mobil-mobil legendaris kini harus menghadapi krisis yang sangat manusiawi: kehilangan pekerjaan, harapan yang pupus, dan masa depan yang tiba-tiba menjadi buram. BEM, yang seharusnya menjadi corong bagi masa depan industri, kini terengah. Tanpa pasar EV yang berkembang dan dengan dana anggota yang menipis, keberlanjutan organisasi tak lagi mungkin. Bahkan perusahaan-perusahaan anggotanya, dari raksasa seperti Kia hingga produsen kecil di rantai pasok, mungkin mulai mempertanyakan manfaat iuran mereka di tengah resesi.

Namun krisis ini lebih dalam dari sekadar keuangan. Ini soal kepercayaan—bahwa industri otomotif Jerman bisa terus menjadi tulang punggung ekonomi, dan bahwa transisi hijau bisa berjalan mulus. Ketika hanya 3,3% kendaraan di jalanan Jerman berjenis listrik, jauh dari target ambisius mereka, pertanyaannya menjadi semakin mendesak: apakah mimpi ini terlalu muluk, atau kita yang salah langkah? Bagi mereka yang kehilangan pekerjaan, ini bukan sekadar soal kebijakan—ini soal kelangsungan hidup. Kita di Indonesia mengerti beban itu. Krisis masa lalu telah mengajarkan kita betapa rapuhnya rencana hidup ketika pekerjaan hilang. Skala krisis Jerman mungkin lebih besar, tapi rasa sakitnya tak berbeda.

Lalu, apa pelajaran bagi Indonesia? Kita tengah mendorong adopsi kendaraan listrik dengan target 2,5 juta unit di jalan pada 2030. Tapi cermin dari Jerman menunjukkan bahwa risiko nyata mengintai. Infrastruktur pengisian umum (SPKLU) di Jakarta masih terbatas, dan harga baterai belum terjangkau. Tanpa subsidi berkelanjutan dan dukungan infrastruktur yang memadai, kita bisa tergelincir ke lubang yang sama. Bayangkan pengemudi ojek online di Surabaya yang beralih ke motor listrik dengan harapan lebih hemat, tetapi harus mengantre panjang atau kesulitan mencari SPKLU. Jika Jerman yang punya teknologi, sumber daya, dan industri mapan saja bisa goyah, bagaimana dengan kita?

Krisis ini juga punya dampak sistemik. Jerman adalah mesin ekonomi Eropa, menyumbang 25% dari total PDB Uni Eropa. Kemerosotan sektor otomotifnya bisa merambat ke rantai pasok global, termasuk ke Indonesia. Industri karet di Sumatera yang memasok ban, misalnya, bisa terpukul jika permintaan dari Jerman menurun. Ini seharusnya menjadi peringatan dini bagi kita untuk membangun ekosistem kendaraan listrik yang tangguh dan adaptif. Barangkali lewat kebijakan subsidi yang konsisten, percepatan pembangunan SPKLU, atau investasi strategis di sektor baterai dan teknologi pendukung.

BEM mungkin adalah korban pertama dari badai ini, tapi bukan yang terakhir. Tanpa langkah cepat dan cerdas—baik itu insentif baru, penguatan infrastruktur, atau strategi menghadapi dominasi Tiongkok—industri otomotif Jerman bisa terus merosot. Dan jika Jerman terguncang, Eropa ikut limbung, dengan dampak yang bisa menjalar hingga ke Indonesia. Kita di sini, di tengah kota-kota yang mulai dipenuhi motor listrik, perlu menatap ke arah Jerman bukan hanya sebagai inspirasi, tetapi sebagai peringatan. Apa yang bisa kita lakukan agar visi hijau kita tidak bernasib sama? Waktu yang akan menjawab, tetapi peringatan dari Jerman sudah terdengar jelas—dan nyaring.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *