Connect with us

Opini

Kabinet Jalan Sendiri: Ketika Menteri Jadi Raja di Wilayahnya

Published

on

Indonesia baru saja menyaksikan 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran, sebuah awal perjalanan yang dipenuhi harapan besar dari rakyat. Namun, bukannya meluncur mulus seperti kereta cepat, kabinet ini tampaknya lebih menyerupai kereta api tua yang rodanya saling bertabrakan karena berjalan di rel yang berbeda. Bukti nyata dari ketidakefektifan ini adalah hasil survei dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) yang menunjukkan bahwa 46% responden menilai kolaborasi antar-kementerian tidak efektif, dan hanya 7% yang menyebutnya efektif. Angka ini menggambarkan realitas pahit: kabinet lebih terlihat seperti kumpulan menteri yang sibuk mengurus wilayah masing-masing tanpa peduli pada harmoni keseluruhan.

Ambil contoh program “Makan Bergizi Gratis” yang dirancang untuk meningkatkan gizi masyarakat. Pada dasarnya, ini ide yang bagus. Namun, pelaksanaannya di lapangan lebih menyerupai panggung sandiwara dengan perubahan kebijakan yang terus-menerus. Tidak ada koordinasi yang jelas antara kementerian yang terlibat, membuat program ini berjalan seperti lomba improvisasi tanpa arahan. Publik yang semestinya menjadi penerima manfaat utama malah terjebak dalam kebingungan.

Ketidakefektifan kolaborasi ini tidak hanya menyangkut satu program. Laporan CELIOS menyebutkan bahwa sektor ekonomi dan lingkungan adalah dua bidang yang paling minim intervensi selama 100 hari pertama, masing-masing dengan 31% dan 25% responden yang menyatakan kecewa. Krisis iklim yang semakin mendesak tampaknya tidak cukup menarik perhatian para menteri untuk bekerja sama, meskipun dampaknya dirasakan langsung oleh masyarakat. Sebaliknya, mereka sibuk dengan proyek masing-masing yang tidak jarang bertolak belakang. Rencana pembukaan lahan 20 juta hektar untuk ketahanan pangan, misalnya, diproyeksikan akan meningkatkan angka deforestasi. Dalam kondisi ini, siapa yang sebenarnya diuntungkan? Rakyat, atau segelintir elite yang menikmati hasil dari eksploitasi lingkungan?

Peta persoalan ini semakin rumit ketika kita melihat angka lain dari survei CELIOS. Sebanyak 52% responden menilai tata kelola anggaran buruk, dan hanya 4% yang menganggapnya baik. Ini bukan sekadar angka; ini adalah cermin dari bagaimana sumber daya yang ada tidak dikelola dengan efisien. Jika setiap kementerian sibuk dengan prioritas masing-masing tanpa koordinasi, anggaran yang seharusnya dimanfaatkan untuk kepentingan publik justru terbuang sia-sia. Tidak heran jika banyak janji kampanye Prabowo-Gibran hanya terwujud sebagian, dengan 74% responden menyatakan bahwa realisasinya setengah hati.

Lebih ironis lagi, beberapa menteri terlihat seperti pemain figuran dalam panggung pemerintahan. Nama-nama seperti Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia muncul sebagai sosok yang dinilai tidak efektif oleh responden dalam survei CELIOS. Bahkan, 46% menyebut menteri seperti mereka harus segera direshuffle. Ketika perombakan kabinet menjadi topik utama dalam 100 hari pertama, apa yang bisa diharapkan dari sisa perjalanan lima tahun ini?

Mungkin yang paling mencolok adalah bagaimana kepemimpinan kabinet ini dinilai. Hanya 8% responden dalam survei CELIOS yang menyebut kinerja kabinet secara keseluruhan sebagai “baik,” sementara 42% menilainya buruk. Bahkan, kolaborasi lintas kementerian sering digambarkan sebagai sesuatu yang mustahil. Kabinet ini tampaknya lebih nyaman bekerja dalam silo, dengan setiap menteri menjadi raja kecil di wilayah mereka sendiri. Jika ini adalah simfoni, maka yang terdengar hanyalah kekacauan, bukan harmoni.

Namun, apa yang sebenarnya terjadi di balik layar? Apakah ini masalah manajemen, ego pribadi, atau mungkin kurangnya visi kolektif? Tidak ada jawaban tunggal, tetapi data ini jelas menunjukkan bahwa rakyat membutuhkan lebih dari sekadar janji kampanye. Mereka membutuhkan aksi nyata yang terkoordinasi, yang membawa manfaat langsung kepada masyarakat.

Lalu, bagaimana seharusnya ini diperbaiki? Sederhana: komunikasi yang lebih baik, sinergi lintas kementerian yang lebih efektif, dan pemimpin yang mampu menjadi dirigen dalam simfoni pemerintahan. Tanpa ini, kabinet Prabowo-Gibran akan terus menjadi sekumpulan individu yang berjalan di jalan berbeda, sementara rakyat hanya bisa menunggu dalam kebingungan, berharap arah yang lebih jelas. Karena pada akhirnya, rakyat tidak membutuhkan drama atau intrik politik. Mereka hanya ingin hasil. Dan hasil hanya bisa dicapai jika semua pihak bersedia bekerja bersama, bukan sendiri-sendiri.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *