Opini
Jurnalisme di Palestina: Dibungkam dengan Peluru dan Bom

Forum Jurnalis Palestina mengumumkan pada Jumat (15/3) kematian Alaa Hashim, yang meninggal akibat luka-luka yang diderita dalam serangan udara Israel di Kota Gaza. Dengan ini, jumlah jurnalis yang dibunuh Israel sejak 7 Oktober 2023 bertambah menjadi 206. Tapi ini bukan sekadar tentang nyawa manusia; ini tentang membungkam sebuah profesi, memastikan tak ada suara yang bertahan untuk menyampaikan kebenaran.
Di antara puing-puing Gaza, sebuah kamera hancur tergeletak di samping buku catatan berlumuran darah. Mikrofon terkubur di bawah reruntuhan, kata-kata terakhirnya selamanya hilang oleh deru pesawat tempur yang berteriak lebih nyaring dari jurnalis mana pun. Kisah ini mengingatkan pada film “Kill the Messenger“, kisah nyata seorang jurnalis Amerika, Gary Webb, yang dihukum bukan karena kesalahannya, tetapi karena keberaniannya mengungkap kebenaran yang tak diinginkan penguasa. Seperti para jurnalis Palestina hari ini, Webb adalah bukti bahwa bagi mereka yang berani membongkar skandal kejahatan negara, hukuman terberat adalah pembungkaman.
Keputusan Webb adalah membongkar rahasia kotor penguasa: bagaimana CIA membiarkan kokain membanjiri jalanan Amerika demi mendanai perang di Amerika Tengah. Jurnalis Palestina melakukan tindakan serupa. Mereka berani melaporkan bahwa Israel bukan hanya berperang melawan Hamas, tetapi sedang menghapus seluruh keluarga, sekolah, rumah sakit, dan siapa pun yang berani menjadi saksi atas genosida ini.
Seperti Webb yang ditinggalkan oleh media yang dulu mendukungnya, begitu pula jurnalis Palestina dikhianati oleh rekan-rekan mereka di Barat. The New York Times, BBC, CNN—media yang mengklaim membela kebebasan pers—memilih diam, atau lebih buruk lagi, menggunakan eufemisme yang mengubah pembantaian menjadi “bentrok” dan genosida menjadi “pembelaan diri.” Jurnalisme, katanya, harus objektif. Tapi objektivitas mereka buta, bisu, dan penuh kepura-puraan.
Media Barat tidak akan berbicara tentang 206 jurnalis yang dieksekusi di bawah bom Israel karena, pada akhirnya, Israel adalah teman mereka. Surat kabar yang berduka atas kematian satu kolumnis Washington Post di dalam konsulat Saudi kini berpura-pura bahwa kebebasan pers tidak berlaku bagi wartawan berkulit coklat di Gaza. Jurnalis Palestina mati dalam kesunyian, jeritan mereka terlalu mengganggu untuk headline berita utama.
Jurnalisme, yang dulu disebut sebagai pilar keempat demokrasi, kini menjadi bisnis korporasi yang memilih kebenaran berdasarkan siapa yang membayar. Gary Webb menyadari ini terlalu terlambat. Dia mengira mengungkap kebenaran sudah cukup. Jurnalis Palestina juga berpikir bahwa memperlihatkan tubuh anak-anak yang hancur akan memaksa dunia bertindak. Tapi di dunia di mana uang dan kekuasaan menentukan kenyataan, kebenaran menjadi tidak relevan.
Israel tidak hanya membunuh jurnalis; mereka membunuh jurnalisme itu sendiri. Ide bahwa pers bisa menantang kekuasaan terkubur di bawah reruntuhan Gaza bersama para wartawan yang mengira tugas mereka hanyalah melaporkan, bukan mati. Israel memahami apa yang banyak tiran ketahui: bunuh pembawa pesan, maka pesannya ikut mati. Atau setidaknya, itulah harapannya.
Namun pesan itu tidak pernah benar-benar mati. Pengungkapan Webb, yang dulu dicemooh, kini menjadi fakta yang diterima. Jurnalis Gaza, yang dibantai dan disensor, sudah berbicara lebih lantang dari yang diinginkan oleh para pembunuh mereka. Ironi dari penindasan adalah bahwa dengan mencoba menghapus kebenaran, mereka justru mengukirnya ke dalam sejarah. Bom Israel tidak bisa menghancurkan internet, dan mereka tidak bisa membungkam kenangan orang-orang yang menyaksikan kejahatan mereka.
Jurnalis Palestina mati karena mereka adalah benteng terakhir melawan penghapusan total. Keberadaan mereka adalah tindakan perlawanan, sebuah pembangkangan yang lebih berbahaya daripada roket. Israel bisa menghancurkan tubuh mereka, tapi kata-kata, gambar, dan rekaman mereka akan tetap hidup. Dunia mungkin memilih untuk berpaling, tapi sejarah tidak akan begitu mudah memaafkan. Dan suatu hari nanti, mereka yang membungkam para jurnalis ini akan berharap mereka telah mendengarkan.
Teori Kekerasan Struktural dari Johan Galtung menjelaskan bahwa kekerasan bukan hanya berbentuk fisik, tetapi juga sistemik dan tidak terlihat. Pembunuhan jurnalis Palestina bukan hanya soal menekan pelatuk atau menjatuhkan bom; itu adalah bagian dari sistem yang secara sistematis menciptakan kondisi di mana kebenaran tidak bisa diungkap. Jurnalis Palestina bukan hanya dibunuh secara fisik, tetapi juga dikubur dalam sistem yang menyangkal keberadaan mereka, menolak cerita mereka, dan menghapus bukti kejahatan yang mereka laporkan. Dengan cara ini, kekerasan struktural bekerja dalam dua arah: pertama, membunuh mereka yang berani berbicara, dan kedua, memastikan tidak ada yang akan berbicara lagi.
Dulu, orang percaya bahwa jurnalisme bisa mengawasi kekuasaan. Kini, jurnalisme hanya menjadi alat kekuasaan. Kematian wartawan Palestina bukanlah tragedi; itu adalah eksekusi, pembunuhan yang disetujui negara untuk memastikan bahwa satu-satunya narasi yang tersisa adalah yang telah disetujui oleh Israel dan para pendukungnya. Tidak ada kehormatan dalam diamnya media dunia, hanya keterlibatan dalam kejahatan.
Ketika Webb diburu, para jurnalis berbalik melawannya, menghancurkan kredibilitasnya hingga profesinya sendiri menjadi algojo. Di Palestina, metodenya lebih kasar tapi sama efektifnya: jika pencemaran nama baik tidak berhasil, rudal akan melakukannya. Dan tetap saja, para pengecut di industri media masih mengklaim netralitas, seolah-olah netralitas di hadapan genosida bukanlah bentuk kepatuhan terhadap penindas.
Kill the Messenger adalah film. Gaza adalah kenyataan. Kisah Webb adalah peringatan. Palestina adalah ujian. Jika dunia membiarkan jurnalis dihabisi tanpa konsekuensi, pesan yang dikirim jelas: kebenaran hanya boleh ada jika menguntungkan penguasa. Berbicara melawannya, dan Anda akan dikubur—jika bukan dengan peluru, maka dengan kesunyian.
Jadi biarkan kamera terus merekam, meski dipegang oleh tangan yang gemetar. Biarkan pena terus menari, meskipun dicelupkan dalam darah pemiliknya. Karena suatu hari nanti, ketika debu mengendap dan kuburan dihitung, sejarah tidak akan mengingat mereka yang diam. Sejarah akan mengingat mereka yang mencoba berbicara sebelum dunia membiarkan mereka dibungkam selamanya.