Opini
Julani: Pemimpin Revolusioner atau Penjahat Perang?

Oleh: Lutfi Awaludin Basori
Abu Mohammad al-Julani kini dikenal sebagai pemimpin kelompok Hayat Tahrir al-Sham (HTS) yang menguasai sebagian wilayah Suriah. Dari seorang pemimpin milisi yang dituding melakukan kekejaman selama bertahun-tahun, Julani mulai tampil sebagai figur yang lebih “moderat” di mata komunitas internasional. Dukungan dari negara-negara Barat, termasuk Inggris, menjadi semacam pengakuan diam-diam bahwa Julani adalah pemimpin yang bisa diajak bekerja sama demi stabilitas kawasan. Namun di balik transformasi ini, muncul pertanyaan mendasar: Apakah kejahatan perang yang pernah dilakukan Julani dan HTS akan dihapuskan begitu saja?
Dalam sejarah modern, revolusi seringkali melahirkan pemimpin yang dielu-elukan sebagai pahlawan. Namun, pemimpin revolusioner sejati tidak akan meninggalkan jejak berdarah untuk merebut kekuasaan. Julani dan HTS, sebaliknya, memiliki rekam jejak panjang yang mencakup eksekusi tanpa pengadilan, pengusiran kelompok minoritas, hingga serangan brutal terhadap warga sipil. Fakta-fakta ini tidak bisa dihapus begitu saja hanya karena mereka kini menguasai wilayah tertentu atau karena kepentingan politik negara-negara besar menjadikannya “pilihan yang pragmatis.”
Barat, yang sebelumnya menganggap HTS sebagai organisasi teroris, kini mengambil langkah yang kontradiktif. Dukungan diplomatik yang diberikan kepada HTS dan legitimasi yang perlahan dibangun bagi Julani bukan hanya menimbulkan dilema moral, tetapi juga membuka luka lama bagi ribuan korban kejahatan perang. Apakah stabilitas politik di satu kawasan benar-benar lebih penting daripada menegakkan keadilan? Apakah pragmatisme geopolitik bisa menjadi alasan untuk melupakan tragedi kemanusiaan yang telah terjadi?
Impunitas seperti ini bukan hal baru dalam panggung politik dunia. Ketika kekuasaan berbicara lebih lantang daripada hukum, para pemimpin yang dulunya disebut penjahat perang kerap kali mendapatkan ruang untuk membangun citra baru. Namun, di balik stabilitas semu yang dijanjikan, ada konsekuensi jangka panjang yang tidak bisa dihindari. Pertama, pengabaian kejahatan masa lalu hanya akan menciptakan preseden buruk. Ini mengirim pesan bahwa kekerasan dapat dibenarkan selama hasil akhirnya adalah kekuasaan. Kedua, korban kekejaman HTS akan semakin terpinggirkan, seakan-akan penderitaan mereka tidak pernah terjadi. Dan ketiga, dunia akan kehilangan kepercayaan terhadap sistem hukum internasional yang seharusnya menegakkan keadilan tanpa pandang bulu.
Dalam konteks ini, suara yang menuntut pertanggungjawaban Julani tidak boleh padam. Mahkamah Pidana Internasional (ICC) memiliki kewajiban untuk mengusut kejahatan perang yang dilakukan HTS. Negara-negara Barat yang kini menjadikan Julani sebagai mitra politik harus ditekan agar tidak menutup mata terhadap masa lalunya. Jika kejahatan HTS diabaikan, maka dunia sedang menggali kuburan bagi keadilan itu sendiri.
Kita sudah menyaksikan bagaimana pemimpin seperti Slobodan Milosevic atau tokoh-tokoh genosida Rwanda akhirnya diadili setelah bertahun-tahun. Meskipun keadilan kerap tertunda, sejarah membuktikan bahwa ia tidak akan lenyap. Julani pun seharusnya tidak kebal dari pengadilan internasional. Kekuasaan yang ia genggam saat ini tidak boleh menjadi perisai untuk menutupi kejahatan yang pernah terjadi. Dunia internasional harus menolak godaan pragmatisme politik yang melupakan prinsip moral dan hukum.
Pada akhirnya, pertanyaan ini menjadi refleksi bagi kita semua: Apakah kita akan membiarkan sejarah menulis Julani sebagai “pemimpin revolusioner” dan melupakan ribuan korban yang jatuh di bawah kekuasaannya? Jika jawabannya adalah tidak, maka kita harus bersuara lebih keras. Korban berhak mendapatkan keadilan, dan dunia memiliki tanggung jawab untuk menegakkannya. Pemimpin sejati adalah mereka yang membawa harapan tanpa harus mengorbankan nyawa tak bersalah. Julani, dengan segala rekam jejaknya, harus menghadapi pengadilan sejarah.