Connect with us

Opini

Julani dan Minoritas Suriah: Pencitraan di Kamera, Ancaman di Lapangan

Published

on

Oleh: Lutfi Awaludin Basori

Di tengah permainan pencitraan yang dilakukan Ahmed Al-Sharaa alias Muhammad al-Julani, yang kini menjadi pemimpin de facto Suriah, kita kembali melihat pemandangan yang tak asing: seorang aktor di panggung politik yang sibuk berperan sebagai pahlawan, namun di balik layar, kenyataannya jauh berbeda. Seperti seorang aktor yang berdansa di depan kamera, Julani kini mencoba membentuk citra seorang pembela hak-hak minoritas, termasuk Kristen, di Suriah. Namun, seperti yang kita lihat di Maaloula, kenyataan di lapangan tak jauh dari kenyataan yang ia tampilkan. Di satu sisi, Julani mengundang perwakilan dari berbagai denominasi Kristen untuk berpose di hadapan kamera, seolah-olah ia adalah pelindung sejati bagi mereka. Namun di sisi lain, ancaman terhadap komunitas Kristen di Suriah terus berkembang, dengan tindakan-tindakan yang mengintimidasi dan memaksa mereka untuk meninggalkan rumah mereka.

Puncak ironi ini terlihat jelas pada sebuah pertemuan yang berlangsung di Damaskus, yang diliput oleh media seperti TRT World. Julani, yang kini berkuasa di Suriah pasca-kejatuhan rezim Assad, menyambut perwakilan-perwakilan gereja Kristen—mulai dari Gereja Ortodoks hingga Protestan—di istana pemerintah. Para tokoh agama Kristen ini datang untuk menunjukkan “dukungan” mereka kepada Julani, yang berusaha tampil sebagai sosok yang memelihara keberagaman dan perdamaian antaragama. Sungguh, pemandangan yang dirancang dengan baik untuk menarik simpati dunia internasional. Namun, seperti sebuah film yang memiliki plot yang terlewat jelas, apa yang ada di layar tak selalu sesuai dengan kenyataan.

Sebagai pemimpin Hayat Tahrir al-Sham (HTS), Julani kini berusaha merekonstruksi citranya, mengambil peran yang ditinggalkan oleh Assad dengan pendekatan yang lebih strategis. Ia mencoba mengambil alih peran yang kosong setelah kejatuhan Bashar al-Assad. Di luar pertemuan dengan tokoh-tokoh Kristen itu, Julani seakan memaksakan citra seorang pemimpin yang peduli pada hak minoritas dan pluralisme. Namun, realitasnya jauh lebih keras—terutama bagi komunitas Kristen yang terjebak dalam ketakutan dan ancaman. Seperti yang dilaporkan oleh Catholic News Agency (CNA), komunitas Kristen di Maaloula terpaksa mengungsi setelah serangkaian ancaman, pencurian, dan penyitaan rumah mereka, yang tak mendapat perhatian serius dari pihak berwenang.

Penting untuk memahami bahwa apa yang dipertontonkan Julani di depan kamera tidak lebih dari sekadar pencitraan politik belaka. Dengan berbicara tentang toleransi agama, Julani berusaha meyakinkan dunia bahwa dirinya adalah penyelamat dari ketegangan sektarian yang sudah berlangsung lama di Suriah. Namun, kenyataannya, ancaman terhadap minoritas Kristen terus berkembang, bahkan di wilayah yang dikuasainya. Ancaman terhadap lima keluarga Kristen yang diminta untuk menyerahkan tanah mereka adalah contoh konkret dari betapa jauh jaraknya antara citra yang dibangun di depan kamera dan kenyataan yang harus dihadapi oleh umat Kristen di Suriah. Apa yang terjadi di Maaloula, dengan sekitar 80 keluarga Kristen yang terpaksa mengungsi, adalah contoh lain dari kegagalan Julani dalam menjaga keamanan mereka.

Julani sepertinya lebih memilih untuk membangun citra dirinya sebagai pelindung Kristen demi keuntungan politik. Tentu saja, ini bukan hanya soal “berdansa di depan kamera”—ini adalah langkah cerdas untuk mendapatkan dukungan internasional. Dengan memperoleh citra sebagai pelindung hak minoritas, ia bisa menarik perhatian negara-negara Barat yang memandangnya sebagai alternatif dari rezim Assad. Namun, ketika kita mengalihkan pandangan dari kamera dan melihat kondisi di lapangan, kita dihadapkan pada kenyataan pahit: di balik senyuman Julani, komunitas Kristen di Suriah hidup dalam ketakutan dan ancaman yang tak pernah berhenti.

Ironisnya, dunia internasional lebih memilih untuk melihat citra tersebut daripada menggali lebih dalam ke dalam fakta yang ada. Dunia seakan terjebak dalam permainan citra ini, mempercayai apa yang terlihat di depan kamera dan mengabaikan kenyataan yang terjadi di lapangan. Bukankah fakta yang terjadi di Maaloula seharusnya menjadi tamparan keras bagi Julani? Sebagai pemimpin yang berkuasa di wilayah tersebut, Julani seharusnya memprioritaskan keselamatan dan keamanan warga, terlepas dari pencitraan politik yang ia bangun. Jika ia benar-benar peduli dengan keberagaman, ia harus segera bertindak nyata untuk melindungi mereka yang terpinggirkan, bukan hanya berpose sebagai pahlawan di depan kamera.

Pada akhirnya, inilah ironi terbesar dalam kisah ini: sebuah citra yang terbangun melalui permainan politik dan pencitraan, namun kenyataannya jauh dari yang ditampilkan. Dunia mungkin terkesima dengan apa yang dilihat di layar kaca, tetapi di Suriah, banyak yang harus menderita karena ketidakmampuan Julani untuk menjaga keamanan dan kebebasan beragama di tanah air mereka.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *