Connect with us

Opini

Jokowi Ogah Tenggelam: Bertahan di Panggung Politik

Published

on

Di studio iNews TV, di bawah sorot lampu yang terang benderang, sebuah pernyataan meluncur dari mulut narasumber: “Kemungkinan Pak Jokowi menjadi ketua umum PSI tinggi sekali, besar itu.” Kalimat itu, sederhana namun berbobot, seperti batu dilempar ke danau yang tampak tenang—riakannya langsung mengusik dasar, menebar tanya: benarkah Jokowi, sang mantan presiden yang dulu berikrar pulang ke Solo sebagai warga biasa, kini malah ogah tenggelam?

Dunia politik, yang mestinya tenang dari bayang-bayangnya setelah 10 tahun berkuasa, justru tetap riuh oleh jejak langkahnya. Ada yang menyebutnya “matahari kembar” bersama Prabowo, ada pula yang menduga ia tengah menjahit dinasti politik seperti menambal celana sobek: asal jadi, tak peduli tampilan. Tapi satu hal tak terbantahkan: politik Indonesia tak pernah kekurangan drama. Dan Jokowi, tampaknya, belum siap turun panggung—bahkan mungkin ingin jadi penulis skenario sekaligus aktor utamanya.

Bayangkan absurditasnya: seorang mantan presiden yang seharusnya menikmati sore hari dengan secangkir kopi di tepi Bengawan Solo, kini dikabarkan ingin memperebutkan kursi ketua umum partai kecil bernama PSI. Bukan PDI Perjuangan—partai yang membawanya ke Istana—tapi PSI, partai tempat putranya sendiri, Kaesang Pangarep, jadi ketua umum hanya dalam waktu dua hari. Sebuah pencapaian yang bahkan Elon Musk mungkin angkat alis. “Partai-partai-an,” kata Ibnu Prakoso dari PNI Marhaenisme dengan sinis. Sulit tidak tersenyum getir—karena memang begitu adanya.

PSI, dengan jargon anak muda dan semangat “super terbuka”, terlihat seperti panggung yang sudah disiapkan dengan karpet merah. Tapi benarkah ini tentang idealisme? Atau sekadar upaya memperpanjang napas politik dengan oksigen buatan dari ruang ICU kekuasaan?

Dialog di iNews itu seperti cermin retak yang tetap memantulkan realitas: politik kita penuh intrik, kontradiksi, dan ironi. Jokowi, kata Ibnu, adalah “manusia politik sejati”—bahkan kencing pun pikirannya politik. Terdengar kasar? Ya. Tapi di dunia di mana sinisme seringkali lebih jujur dari pidato kenegaraan, kalimat itu terasa masuk akal.

Fredy dari Projo membela: popularitas Jokowi masih melambung, katanya, cukup untuk mendongkrak rating media dan bikin partai besar saling lirik. Lembaga survei, walau tak disebut spesifik, katanya, masih menempatkan Jokowi di papan atas. Namun Rei Rangkuti mengingatkan: popularitas itu seperti balon gas—megah di udara, tapi ujung-ujungnya kempes juga. Apakah tingkat kepuasan publik yang konon mendekati 80% saat lengser masih bertahan kini, di pertengahan 2025? Rei ragu. Dan kita pun layak bertanya: apakah Jokowi sedang mengejar legasi, atau justru menghindari relevansi yang pelan-pelan memudar?

Narasi PSI sebagai pelabuhan politik baru Jokowi memang menggelikan sekaligus mencemaskan. PSI kini mengklaim diri sebagai “Partai Super Tbk”—istilah yang terdengar seperti startup gagal yang dipoles dengan istilah keren. Transparansi, partisipasi, satu orang satu suara—semua dilontarkan dengan semangat oleh Wiryawan dari PSI. Tapi jangan buru-buru bertepuk tangan. ADRT partai ini masih menempatkan dewan pembina sebagai otoritas tertinggi, seperti warung demokrasi dengan juragan tunggal.

Rei menohok: kalau Jokowi masuk PSI, apa iya mau jadi anggota biasa dulu, ikut pelatihan kader, naik pangkat pelan-pelan? Atau langsung naik lift ke lantai paling atas, seperti Kaesang? Ironinya, PSI yang mengaku partai kader justru lebih suka membuka pintu belakang untuk tokoh besar ketimbang membangun tangga dari bawah.

Dan di situlah muncul skenario yang lebih absurd: Jokowi bersaing dengan Kaesang untuk kursi ketua umum PSI. Bapak lawan anak, saling adu visi misi, debat di depan kader. Bayangkan: “Ilmu bapak turun ke anak, ilmu anak balik ke bapak,” ujar Rei dengan nada setengah bercanda, tapi getirnya nyata. Ini bukan lagi soal politik, ini tentang warisan keluarga—atau lebih tepatnya, dinasti.

Gibran sudah jadi wakil presiden, Kaesang ketua umum partai, dan kalau Jokowi masuk PSI, lengkap sudah ansambel kuartet kekuasaan keluarga. Ibnu menyebut Jokowi “preman politik”—sebuah label keras, namun mencerminkan kekhawatiran akan politik yang lebih mirip bisnis keluarga daripada perjuangan ideologis.

Namun jangan buru-buru menghakimi. Fredy dari Projo punya pembelaan: Jokowi ingin meninggalkan legasi, katanya, demi Indonesia 2045. Menurutnya, satu-satunya cara mantan presiden bisa tetap bicara politik tanpa dicap “cawe-cawe” adalah dengan masuk partai. Logikanya masuk akal, walau tetap terdengar seperti pembenaran. Tapi apakah legasi harus dibangun di PSI—partai yang, maaf, hingga kini masih disebut “partai gurem” oleh banyak kalangan?

Ibnu, dengan semangat marhaenisnya, menyebut Jokowi melanggar sumpah presiden dan TAP MPR. Ia menyindir gagalnya revolusi mental, dan menyebut anak Jokowi yang “plonga-plongo” bisa naik jadi ketua umum. PNI Marhaenisme, katanya, siap bangkit dari kubur. Tapi Fredy cepat membalas: PNI hanya tinggal mumi, sibuk bernostalgia tanpa kekuatan nyata. Perdebatan ini pun seperti sinetron politik: gaduh, penuh emosi, tapi miskin substansi.

Dan di tengah semua ini, ironi itu tak bisa diabaikan. Jokowi, yang dulu ingin jadi warga biasa, kini malah dirayu partai-partai besar dan kecil. Gerindra, PAN, Golkar—semuanya berharap mendapat remah-remah popularitasnya. Tapi PSI, dengan Kaesang di pucuk, adalah pilihan yang paling… logis. Logis, tapi juga lucu. PSI yang mengaku modern masih terbelit aturan lama—ADRT yang bisa membatalkan keputusan kongres lewat dewan pembina. Mereka bicara demokrasi terbuka, tapi tetap siap memberi kursi utama bagi siapa yang punya nama besar.

Pada akhirnya, dialog ini bukan hanya soal Jokowi atau PSI. Ini soal politik Indonesia yang tak pernah selesai dengan figur. Jokowi ogah tenggelam, itu jelas. Tapi apakah ia sedang membangun legasi atau sekadar memperpanjang umur kekuasaan? Publik, seperti penonton sinetron, hanya bisa terus menonton—kadang tertawa, kadang mengelus dada.

Satu hal pasti: di panggung politik kita, tak ada yang benar-benar pensiun—mereka hanya ganti kostum dan peran. Dan Jokowi, tampaknya, sedang memilih peran barunya. Bukan sebagai warga biasa, tapi mungkin sebagai “CEO” dari Partai Super Indonesia.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *