Opini
Jokowi Digoyang: Ijazah, Pemakzulan, dan Teater Politik yang Tak Tamat

Akhir April 2025, Jakarta masih dicekik kemacetan dan banjir, tapi sorotan publik tersedot drama politik: ijazah palsu Jokowi, mantan presiden yang kini bersantai di Solo, kembali jadi sasaran. Gibran, wapres sekaligus putranya, dihantam wacana pemakzulan yang lebih mirip teriakan pasar ketimbang agenda serius. Tuduhan font Times New Roman pada skripsi Jokowi dan pekikan “memuliakan republik” memamerkan absurditas negeri ini, di mana fakta tenggelam dalam lautan sensasi.
Jokowi, dulu pujaan rakyat jelata, kini ribut dengan tuduhan sepele soal ijazah S1 dari UGM. Dengan gaya santai, ia sebut ini “masalah ringan” dan seret Roy Suryo cs ke polisi atas hoaks. Kuasa hukumnya, Yakup Hasibuan, menegaskan UGM verifikasi Jokowi lulusan 1985. Frono Jiwo, teman kuliah, cerita nostalgik soal sabun colek. Fakta melimpah, tapi di negeri drama, kebenaran cuma penutup. Rismon Sianipar malah perkarakan font skripsi. Konyol, bukan?
Tuduhan ini, bermula 2019, kini dipanaskan lagi dengan analisis font yang ngawur. Mesin ketik era 1980-an tak kenal Times New Roman, tapi logika kalah oleh sensasi. UGM, KPU, dan dokumen akademik tak mampu redam spekulasi. Roy Suryo, dengan nada sok bijak, bilang tunjukkan ijazah bisa selesaikan isu. Lucu, di negeri yang curiga pada segalanya, kertas asli bakal dicap palsu. Kepercayaan publik? Sudah lama dikubur drama politik.
Gibran, sejak jadi wapres, menjadi magnet amuk. Putusan MK 2023, yang buka jalan baginya, tetap jadi sumber kemarahan. Wacana pemakzulan dari TPUA dan akun X seperti @alisyarief dikemas mulia: “memuliakan republik.” Tapi, pemakzulan butuh pelanggaran berat—korupsi, pengkhianatan. Gibran cuma simbol dinasti politik, bukan penutup hukum. Ini teater, bukan agenda. @azkafii sindir: isu ini cuma biar Jokowi-Gibran tetap headline. Isu riil? Tenggelam di bawah sensasi.
Narasi “Jokowi digoyang” bukan cuma soal ijazah atau Gibran, tapi polarisasi yang meracuni negeri. Jokowi, dulu simbol harapan, kini dituding dalang kemunduran demokrasi. Demo Agustus 2024, kata @henrysubiakto, tunjukkan publik muak dengan elit yang mainkan demokrasi. Tuduhan ijazah dan pemakzulan cuma amunisi narasi. M. Jamiluddin Ritonga bilang ini bola salju kontroversi Jokowi, terutama dinasti politik. Gibran, Bobby Nasution—Jokowi bangun klan, dan itu bikin banyak pihak gerah.
Tapi, adilkah cuma Jokowi disorot? Dinasti politik subur di mana-mana: Puan Maharani di PDIP, Airlangga di Golkar. Kenapa Jokowi target utama? Mungkin ia terlalu sukses, atau ceroboh biarkan citra “bapak sederhana” pudar. Ironis, penyerangnya dengan tuduhan ijazah lupa: politik Indonesia cermin kotor. Semua elit, pendukung atau penutup, punya andil. Publik disuguhi drama font skripsi, sementara harga beras naik, janji politik numpuk di laci.
Mahfud MD, dengan tenang, bilang tuduhan ijazah tak relevan hukum. Meski palsu—yang jelas bukan—keputusan Jokowi sebagai presiden tetap sah. Tapi, hukum kalah oleh sensasi. X tunjukkan tuduhan remeh jadi bahan bakar amuk. Font skripsi diperdebatkan, ijazah diragukan, Jokowi trending lagi. Publik, yang harusnya tagih akuntabilitas Prabowo-Gibran, malah ribut mesin ketik 1980-an. Ini krisis nalar: ketika UGM dan KPU tak dipercaya, hoaks jadi penutup.
Jokowi tak suci. Sikapnya tak tunjukkan ijazah, kecuali diminta pengadilan, strategis tapi picu spekulasi. Roy Suryo, nyaris sarkastik, bilang transparansi redam isu. Mungkin, tapi di negeri curiga, ijazah asli bakal dicap “cetakan Solo.” Jokowi undang goyangan: kunjungan menteri ke Solo, pencalonan Gibran yang kontroversial, kesan ia masih main catur politik. Bukan korban murni, ia penulis naskah drama ini. Publik? Cuma penonton yang lupa naskah aslinya.
Ke mana arahnya? Tuduhan ijazah tak seret Jokowi ke pengadilan, pemakzulan Gibran cuma gertakan yang memudar seperti trending topic. Dampaknya jahat: kepercayaan publik compang-camping, demokrasi terkikis narasi tak berdasar. Indonesia terjebak teater absurd. Kita ribut font skripsi, sementara sembako naik, janji politik menguap. Elit, penyerang atau pembela Jokowi, sama-sama bersalah: suguhkan drama, bukan solusi. Publik doyan tepuk tangan, lupa tuntut substansi. Ini tragikomedi kita.
Jika font Times New Roman jadi skandal, apa jadinya kalau Jokowi pakai Arial? Kita ramai lagi, lalu diam saat beras naik. Indonesia, kapan belajar? Jokowi tak tergoyang, tapi nalar kita sudah ambruk. Elit harus hentikan teater; publik harus tuntut akuntabilitas, bukan sensasi. Kalau tidak, kita cuma penonton sinetron politik yang tak tamat, tersenyum miris, lalu lupa esok harga sembako makin mencekik leher.
Tuduhan ijazah dan pemakzulan bukan sekadar serangan pada Jokowi, tapi cerminan penyakit demokrasi kita: ketidakpercayaan yang menular. Ketika institusi tak lagi jadi penutup kebenaran, ketika narasi media sosial lebih berkuasa ketimbang fakta, kita kehilangan arah. Jokowi mungkin tetap berdiri, tapi fondasi demokrasi retak. Kita perlu lebih dari sekadar menyalahkan satu orang; kita perlu cermin untuk melihat diri sendiri, elit dan publik, yang ikut menulis drama ini.
Elit politik, dari kubu Jokowi hingga penyerangnya, punya tanggung jawab besar. Mereka tahu publik mudah terpancing, tapi memilih memanaskan isu ketimbang menawarkan solusi. Tuduhan font skripsi bukan cuma lelucon; itu bukti betapa rendahnya wacana kita. Publik juga tak luput cela: kita doyan menonton, memuja sensasi, lalu lupa menagih janji. Jokowi digoyang? Mungkin. Tapi yang benar-benar goyah adalah kemampuan kita membedakan fakta dari fiksi.
Jokowi, dengan segala kekurangannya, tak sepenuhnya korban. Ia tahu dinamika politik, tapi memilih langkah yang memicu amuk: dari Gibran hingga kunjungan menteri. Tapi, menjadikannya satu-satunya penutup salah juga tak adil. Sistem politik kita, yang membiarkan dinasti dan drama tumbuh subur, adalah akar masalahnya. Jika kita sibuk ribut soal ijazah, kita lupa: demokrasi butuh perbaikan, bukan sekadar penutup baru untuk babak drama berikutnya.
Akhirnya, kita tiba di pertanyaan pahit: apa yang tersisa dari semua ini? Jokowi akan tetap di Solo, Gibran mungkin terus jadi sasaran, tapi demokrasi kita yang paling terluka. Kita perlu berhenti jadi penonton pasif, berhenti memuja skandal. Tuntut transparansi, tagih akuntabilitas, dan tolak narasi murahan. Kalau tidak, kita cuma akan terus menonton teater politik ini, tertawa getir, lalu pulang dengan tangan kosong, sementara harga sembako terus mencekik.