Connect with us

Opini

Jika Iran Tembak Jatuh F-35, Apa yang Tersisa?

Published

on

Langit malam di atas Iran pada 14 Juni 2025, menurut laporan IRNA yang dikutip The Cradle, menjadi panggung bagi sebuah klaim yang berpotensi mengguncang dunia militer: sebuah jet tempur siluman F-35 milik Israel ditembak jatuh oleh sistem pertahanan udara Iran. Bukan hanya satu, tapi diklaim tiga unit, sejak Israel melancarkan serangan ke sejumlah fasilitas Iran. Pemerintah Israel dengan tegas membantah. Namun pertanyaan yang menggelitik bukan semata siapa yang jujur atau berbohong, melainkan lebih dalam: mungkinkah jet sekelas F-35, simbol supremasi udara abad ini, benar-benar bisa dijatuhkan? Jika ya, apa dampaknya?

Mari kita mulai dari satu titik terang: hingga hari ini, 15 Juni 2025, belum ada catatan resmi atau verifikasi independen yang membenarkan bahwa jet tempur F-35 Lightning II, produksi Lockheed Martin, pernah ditembak jatuh dalam pertempuran udara. Pesawat ini, yang pertama kali dioperasikan pada 2015 oleh Korps Marinir AS, telah menjadi bagian dari kekuatan udara sejumlah negara seperti Israel, Inggris, Jepang, Korea Selatan, dan Australia. Semua merancangnya untuk satu tujuan: mendominasi langit tanpa tersentuh.

Laporan The Cradle menyebutkan bahwa sebelum pekan ini, “tidak ada F-35 yang diketahui pernah ditembak jatuh dalam pertempuran.” Pernyataan ini bukan isapan jempol. F-35 telah digunakan dalam berbagai operasi militer—misalnya oleh Israel dalam misi presisi di Suriah—namun sejauh ini, tak ada laporan kredibel yang menyatakan bahwa musuh berhasil menjatuhkannya. Soal kecelakaan teknis, memang pernah terjadi. Misalnya, pada 2018, sebuah F-35B milik Korps Marinir AS jatuh di Carolina Selatan akibat gangguan mesin. Tapi ditembak jatuh oleh musuh di medan perang? Belum pernah.

Mengapa hal ini begitu penting? Karena F-35 bukan sekadar pesawat tempur. Ia adalah ikon keunggulan teknologi militer. Bayangkan sebuah mesin terbang yang tak sekadar melesat, tapi meluncur senyap di antara radar musuh seperti bayangan. F-35 adalah jet tempur generasi kelima yang mengandalkan teknologi siluman (stealth) yang dirancang untuk menghindari deteksi radar. Lapisan penyerap gelombang radar membalut tubuhnya, sementara desain aerodinamisnya menghindari sudut-sudut tajam yang dapat memantulkan sinyal.

Namun keunggulan F-35 tak berhenti di situ. Salah satu fitur andalannya adalah fusi sensor: integrasi dari radar, kamera elektro-optik, dan pencitraan inframerah yang bekerja serempak, memberikan pilot pandangan 360 derajat atas lingkungan tempur. Ini bukan sekadar melihat ke depan, tapi juga membaca segala arah dalam satu layar. Pilot bisa mengidentifikasi ancaman jauh sebelum ancaman itu menyadari keberadaan mereka.

Selain itu, F-35 dilengkapi sistem peperangan elektronik yang canggih. Ia dapat mengacaukan radar lawan, mengelabui misil, dan menyembunyikan jejaknya dari sistem pertahanan modern. Avioniknya—gabungan perangkat lunak dan komputer berkecepatan tinggi—memungkinkan pilot untuk lebih fokus pada taktik ketimbang sekadar mengendalikan pesawat. Dengan kata lain, F-35 bukan hanya alat tempur, tapi juga pusat komando terbang.

Israel, misalnya, menggunakan F-35I “Adir”, versi yang telah dimodifikasi untuk kebutuhan khusus. Pesawat ini diyakini telah menjalankan berbagai misi dalam wilayah musuh tanpa terdeteksi. Laporan menyebutkan kombinasi antara stealth, sensor fusion, kemampuan perang elektronik, dan avionik mutakhir membuat pesawat ini hampir mustahil dilacak dan ditargetkan. Maka jika selama satu dekade tidak pernah jatuh, itu bukan semata keberuntungan, melainkan hasil dari investasi miliaran dolar untuk menyempurnakan teknologi perang generasi baru.

Nilai strategis F-35 juga tercermin dari harganya. Satu unit F-35A, versi standar untuk landasan konvensional, dihargai sekitar 80 juta dolar AS. Itu belum termasuk biaya pelatihan pilot, pemeliharaan, dan upgrade sistem. Amerika Serikat sendiri berencana mengoperasikan lebih dari 2.400 unit. Israel memiliki puluhan unit dan terus menambah jumlahnya. Tiga varian utama F-35—A, B, dan C—memungkinkan fleksibilitas operasional di berbagai medan, dari landasan biasa, kapal induk, hingga jalur pendek. Pesawat ini bahkan bisa dipersenjatai dengan senjata nuklir dalam konfigurasi tertentu.

Tapi keistimewaan sejati F-35 terletak pada kemampuannya untuk membagi data real-time dengan jet lain, kapal, atau pos komando darat. F-35 adalah simpul dalam jaringan perang modern. Ia bukan sekadar penyerang, tapi juga penyebar informasi dan pengendali situasi. Dalam peperangan abad ke-21, itu bisa menjadi keunggulan yang menentukan.

Kini, bayangkan jika klaim Iran benar—bahwa mereka berhasil menjatuhkan satu atau bahkan tiga unit F-35. Dampaknya tidak main-main. Ini bisa menjadi guncangan besar dalam arsitektur pertahanan udara global. Jika Iran, dengan sistem seperti Bavar-373 atau S-300, berhasil melacak dan menghancurkan jet siluman, maka itu menandai terobosan besar dalam kemampuan anti-stealth.

Bavar-373, sistem buatan dalam negeri Iran, disebut-sebut setara dengan S-300 Rusia, dan dirancang untuk melacak target berkecepatan tinggi maupun siluman. Jika klaim Iran terbukti, maka era dominasi jet generasi kelima berada di persimpangan jalan. Teknologi stealth tak lagi kebal. Dunia militer harus mulai bersiap menghadapi era di mana pertahanan udara bisa mengimbangi—bahkan mengancam—simbol supremasi udara selama ini.

Kedua, kepercayaan pada F-35 akan terguncang. Negara-negara yang menjadikan pesawat ini sebagai tulang punggung pertahanan udaranya—seperti Amerika Serikat, Inggris, Jepang, dan Australia—mungkin akan mulai mempertanyakan investasi besar mereka. Di Washington, para anggota Kongres bisa saja menuntut penjelasan dari Pentagon. Di Tel Aviv, kepercayaan publik terhadap superioritas militer Israel bisa terguncang. Jika benar tiga F-35 jatuh, kerugian finansialnya saja bisa mencapai ratusan juta dolar. Dan itu belum menghitung kerugian strategis atau psikologis.

Tak kalah penting adalah potensi kebocoran teknologi. Jika puing-puing F-35 jatuh ke tangan Iran, maka ada risiko bahwa teknologi siluman—baik lapisan penyerap radar, sensor, maupun avionik—akan dianalisis dan direkayasa balik. Kita pernah melihat ini pada 2011, ketika drone siluman RQ-170 milik AS jatuh di Iran dan kemudian dipamerkan sebagai bukti keberhasilan intelijen mereka. Jika sejarah terulang, maka bukan hanya Iran yang diuntungkan, tetapi juga mitra strategisnya seperti Rusia dan China.

Namun, kita harus bersikap jujur dan proporsional: klaim ini belum diverifikasi. Hingga kini, belum ada bukti visual, rekaman radar, atau temuan puing-puing yang bisa mendukung laporan tersebut. Pemerintah Israel menyangkal keras—dan secara strategis masuk akal bagi mereka untuk tidak mengakui kerugian semacam itu. Mengungkapkan kehilangan F-35 bukan hanya soal reputasi, tetapi juga soal menjaga kepercayaan internasional terhadap kemampuan pertahanan mereka.

Meski demikian, jika klaim tersebut benar, maka ini bukan sekadar insiden teknis. Ada sisi manusiawi yang tak boleh dilupakan. Para pilot yang disebut dalam laporan—entah melontarkan diri, tertangkap, atau gugur—adalah manusia yang membawa keluarga, rasa takut, dan harapan. Di balik sistem tercanggih sekalipun, tetap ada nyawa yang rentan.

Konflik ini, dengan korban 104 jiwa di pihak Iran dan tujuh tentara Israel terluka, kembali menyadarkan kita: bahwa di balik perlombaan teknologi, ada harga kemanusiaan yang tak bisa diabaikan. Teknologi membuat perang lebih presisi, lebih diam, tapi bukan berarti lebih manusiawi.

Refleksi terakhir: jika benar F-35 telah ditembak jatuh untuk pertama kalinya, maka ini bukan hanya soal satu pesawat yang ambruk. Ini adalah tentang rapuhnya simbol kekuasaan dan dominasi. Pesawat tempur yang selama ini dianggap tak tersentuh, mungkin tak sekuat yang dibayangkan. Dunia pertahanan udara harus kembali berinovasi. Tapi dalam perlombaan itu, pertanyaan yang lebih mendalam muncul: sampai kapan teknologi akan mendikte arah sejarah umat manusia? Dan jika yang paling canggih pun bisa jatuh, apa lagi yang selama ini kita anggap tak tergoyahkan?

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *