Opini
Jeruji, Anjing, dan Ibu Hamil di Penjara Zionis

Ada sesuatu yang absurd ketika sebuah negara yang menyebut dirinya “satu-satunya demokrasi di Timur Tengah” justru menunjukkan wajah paling telanjang dari barbarisme modern. Di balik tembok beton Penjara Damon, di mana perempuan Palestina ditahan, demokrasi itu menampakkan dirinya bukan sebagai ruang kebebasan, melainkan sebagai instrumen penyiksaan. Kita membayangkan penjara sebagai tempat hukuman, tetapi di sini ia berubah menjadi panggung sadis, tempat manusia diperlakukan lebih rendah dari sekadar angka statistik. Anjing-anjing polisi dilepaskan, gas air mata disemprotkan, kepala para tahanan perempuan dipaksa menunduk seolah mereka bukan manusia melainkan benda yang bisa digiring sesuka hati. Ironinya, semua ini berlangsung dalam abad yang katanya penuh dengan komitmen hak asasi manusia.
Laporan dari Palestinian Prisoner’s Society menyingkap kenyataan yang bahkan sulit dicerna dengan akal sehat. Empat kali penggerebekan terjadi dalam kurun dua minggu, dengan pola yang sama: tangan diborgol, tubuh dipaksa keluar sel, kepala ditekan ke bawah, dan rasa hina yang ditanamkan ke dalam jiwa mereka. Saya rasa, bagi para perempuan itu, luka bukan hanya di kulit, tetapi terutama di dalam, di ruang batin yang kerap tak terlihat oleh kamera. Kita bisa saja membayangkan, tetapi apa mungkin benar-benar memahami, bagaimana rasanya dipaksa telanjang di hadapan orang asing dengan senjata? Itu bukan sekadar razia; itu adalah pelecehan seksual yang disamarkan dalam prosedur keamanan.
Ketika dunia sibuk berdebat tentang siapa yang lebih dulu menyerang siapa, ada perempuan hamil bernama Reema Balawi yang kini menunggu kelahiran bayinya di balik jeruji besi. Delapan bulan usia kandungan, dan ia tetap ditahan dengan tuduhan “penghasutan” di media sosial. Lalu kita bertanya: penghasutan macam apa yang lebih berbahaya daripada menahan seorang ibu hamil di ruang penuh lembab, minim gizi, tanpa perawatan medis memadai? Di negeri ini, kita bahkan menganggap ibu hamil sebagai sosok yang harus dilindungi, diberi kursi prioritas di transportasi umum. Bandingkan dengan Reema, yang bahkan menjalani sebagian besar masa kehamilannya di balik sel. Sungguh ironi peradaban.
Kisah Fidaa Assaf menambah lapisan lain dari tragedi ini. Seorang perempuan melawan kanker, penyakit yang sudah cukup berat tanpa perlu ditambah dengan penyiksaan psikologis dan fisik. Namun di penjara, penyakit itu seperti menjadi alat tambahan untuk melemahkan. Tidak diberi akses perawatan medis, seolah tubuhnya sengaja dipaksa menyerah. Kita tahu, kanker butuh perhatian intensif, terapi, obat, dokter spesialis. Tapi yang ia dapat hanyalah dinding lembab, makanan basi, dan tatapan sinis para sipir. Bukankah ini sama saja dengan hukuman mati perlahan?
Pola yang terlihat jelas adalah bahwa tuduhan “incitement” atau penghasutan di media sosial dijadikan alasan serbaguna untuk menangkapi siapa saja. Tuduhan yang kabur, elastis, bisa dipanjangkan atau dipendekkan sesuai kebutuhan politik. Saya rasa kalau kita di Indonesia mendengar istilah itu, mungkin setara dengan “pasal karet” yang sering dikritik dalam undang-undang kita. Bedanya, di sana, pasal karet itu menyangkut hidup-mati orang. Akibatnya, banyak perempuan Palestina masuk penjara hanya karena unggahan, komentar, atau sekadar keberanian menyuarakan penderitaan.
Namun yang paling menyesakkan adalah detail-detail kecil yang sering kali diabaikan. Makanan yang basi, penuh serangga, tidak layak konsumsi. Kelembapan tinggi yang memicu penyakit kulit. Tidak adanya ventilasi sehingga udara pengap menusuk paru-paru setiap hari. Kekurangan pembalut atau alat kebersihan menstruasi, hal yang mungkin terdengar remeh bagi sebagian orang, tapi bagi perempuan itu berarti derita harian yang memalukan sekaligus menyakitkan. Semua ini adalah bentuk penghinaan yang sengaja diciptakan, bukan sekadar akibat dari kelalaian. Sebuah sistem yang merancang penderitaan sebagai bagian dari kebijakan.
Kalau kita mau jujur, penjara itu sebenarnya cerminan miniatur dari kondisi Palestina secara keseluruhan. Di dalam sel, perempuan dipaksa menunduk; di luar sel, rakyat Palestina dipaksa tunduk pada sistem apartheid yang membatasi gerak, merampas tanah, dan mencabut identitas. Perempuan yang ditahan hanyalah wajah yang terlihat, tetapi di balik mereka ada ribuan keluarga yang ikut terluka. Bayangkan seorang anak yang tahu ibunya dipenjara hanya karena sebuah postingan. Trauma itu diwariskan, dan justru menciptakan generasi yang lebih tegar dalam melawan. Ironinya, apa yang dimaksudkan sebagai upaya penjinakan justru menjadi bahan bakar perlawanan.
Kita di Indonesia mungkin sering lupa bagaimana rasanya hidup di bawah penjajahan. Merdeka sudah puluhan tahun, sehingga ingatan kolektif kita tentang penderitaan perlahan memudar. Tapi laporan-laporan seperti ini mestinya mengingatkan kita pada masa ketika rakyat kita juga dipaksa tunduk, ketika perempuan kita juga dijadikan objek pelecehan oleh tentara asing. Bedanya, kita dulu berjuang dengan bambu runcing, sementara mereka hari ini berjuang dalam sel berjeruji dengan tangan kosong. Pertanyaannya: apakah kita akan diam saja, menganggap itu “urusan mereka”, sementara sejarah kita sendiri berteriak bahwa solidaritas adalah kewajiban?
Saya sering berpikir, betapa mahalnya harga sebuah kata “bebas” bagi rakyat Palestina. Kita bisa menulis status, mengkritik pemerintah, bahkan bercanda politik di media sosial tanpa takut didatangi aparat tengah malam. Di sana, sebuah status bisa berarti penjara. Kita bisa mengeluh soal harga sembako, tapi mereka bahkan tak bisa mengeluh tentang makanan busuk di penjara tanpa risiko dipukul. Kontras ini menyakitkan, sekaligus menelanjangi kemunafikan dunia internasional yang selalu bicara tentang kebebasan berekspresi, namun menutup mata ketika kebebasan itu dipasung secara brutal.
Ironisnya, Israel kerap mengklaim bahwa langkah-langkah keras ini semata demi keamanan. Pertanyaan sederhana: keamanan siapa? Apakah seorang ibu hamil delapan bulan benar-benar ancaman? Apakah seorang pasien kanker dengan tubuh ringkih bisa mengguncang stabilitas negara? Kalau logika semacam ini bisa diterima, maka dunia telah kehilangan akal sehatnya. Karena pada akhirnya, yang mereka takuti bukanlah tubuh perempuan itu, melainkan suara mereka—suara yang meski dibungkam, akan terus menggema melalui keluarga, sahabat, dan dunia internasional.
Dalam konteks ini, penjara bukan hanya ruang fisik, melainkan simbol. Simbol bahwa kolonialisme masih hidup, hanya berganti pakaian. Simbol bahwa hak asasi bisa dilucuti begitu saja ketika menyangkut rakyat yang tak punya kekuatan politik global. Simbol bahwa perempuan, yang mestinya dilindungi, justru dijadikan sasaran paling empuk untuk meruntuhkan semangat bangsa. Saya rasa, ketika kita membaca laporan seperti ini, yang terasa bukan hanya kemarahan, tetapi juga ironi getir: betapa dunia yang penuh lembaga internasional, konvensi, dan deklarasi, ternyata tak mampu mencegah seorang ibu hamil ditahan hingga melahirkan di penjara.
Penutup dari semua ini bukanlah kesimpulan, melainkan pertanyaan terbuka: sampai kapan absurditas ini dibiarkan? Sampai kapan dunia bersandiwara dengan jargon kemanusiaan, sementara di dalam sel perempuan Palestina menunggu, lapar, sakit, dan tetap bermartabat meski dipaksa tunduk? Saya kira, satu hal yang pasti: mereka boleh merampas tubuh, tetapi tidak bisa mematikan makna dari perlawanan itu sendiri. Dan mungkin, di situlah letak kekalahan terbesar zionis—bahwa di balik semua kekerasan, mereka justru menyingkapkan kelemahan moral yang tak pernah bisa ditutupi dengan propaganda.