Opini
Jerman Usir Aktivis Palestina: Demokrasi atau Kemunafikan?

Di sebuah kafe di Berlin, empat orang duduk diam di bawah lampu kuning redup. Mereka saling bertukar pandang, mengaduk cangkir mereka dengan gerakan mekanis, seakan-akan sedang mencoba memahami absurditas dunia yang tiba-tiba mengepung mereka. Tak ada sirene, tak ada polisi datang menyeret mereka di tengah malam, tak ada vonis yang mengubah mereka menjadi buronan. Tapi di sekeliling mereka, kota yang dulunya terasa ramah kini memiliki bayangan panjang yang mengancam—bayangan deportasi, pengusiran yang tak masuk akal, hanya karena mereka mengungkapkan opini yang salah di tempat yang salah.
Empat orang ini—Cooper Longbottom dari AS, Kasia Wlaszczyk dari Polandia, serta Shane O’Brien dan Roberta Murray dari Irlandia—tidak melakukan tindak pidana. Tidak ada perampokan, tidak ada pengrusakan, tidak ada kekerasan. Satu-satunya dosa mereka, menurut otoritas Jerman, adalah berani bersuara dalam demonstrasi pro-Palestina. Mereka telah menjadi korban dari sebuah sistem hukum yang lentur seperti lilin di bawah tekanan politik. Menurut laporan 972 Magazine dan The Intercept pada 1 April 2025, keempatnya menghadapi deportasi, bukan karena terbukti bersalah, tetapi karena mereka berdiri di sisi yang salah dalam narasi yang dikontrol dengan ketat.
Jerman memberi mereka ultimatum: pergi sebelum 21 April 2025 atau dipaksa keluar. Shane, misalnya, sempat dituduh menghina polisi. Namun, ketika kasusnya dibawa ke pengadilan, ia dibebaskan. Bukannya dianggap sebagai seseorang yang telah melalui sistem hukum dengan bersih, ia malah tetap dicap sebagai ancaman. Cooper, seorang mahasiswa trans yang sedang mengejar gelar master dalam bidang hak asasi manusia di Free University Berlin, hanya duduk dalam sebuah aksi damai. Kasia dan Roberta? Kesalahan mereka adalah mengucapkan dua kalimat terlarang: “Free Palestine” dan “From the River to the Sea.” Dengan itu saja, mereka diperlakukan seolah-olah mereka menyusun rencana kudeta.
Di balik semua ini ada sebuah prinsip suci dalam politik Jerman yang disebut Staatsräson—sebuah kewajiban yang tidak tertulis namun memiliki daya hukum yang lebih kuat dari konstitusi itu sendiri. Staatsräson menyatakan bahwa Jerman memiliki tanggung jawab historis untuk membela Israel, tidak peduli seberapa jauh Israel melangkah dalam tindakan militernya. Jika ada sesuatu yang mengancam doktrin ini, Jerman tidak ragu menggunakan alat apa pun untuk membungkamnya, termasuk hukum imigrasi.
Ironisnya, Engelhard Mazanke, kepala kantor imigrasi Berlin, menyatakan bahwa keputusan ini tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Tetapi suara Mazanke dibungkam oleh Senat Dalam Negeri Berlin yang dengan mudah menggunakan dalih “keamanan publik” dan “dugaan keterkaitan dengan Hamas” untuk mengusir keempatnya. Bukti terhadap tuduhan ini? Nol. Tidak ada koneksi yang bisa divalidasi, tidak ada indikasi bahwa mereka mendukung kelompok bersenjata. Satu-satunya alat yang digunakan untuk menjustifikasi pengusiran ini adalah ketakutan yang dikonstruksi secara politis.
Sekarang, bayangkan menjadi Cooper. Kamu seorang trans, melarikan diri dari iklim politik Amerika yang semakin tidak bersahabat, berharap menemukan ruang yang lebih terbuka di Eropa. Kamu belajar tentang hak asasi manusia di salah satu universitas terbaik di Jerman, hanya untuk menemukan bahwa negara ini sendiri gagal menghormati hak paling mendasar: kebebasan berpendapat. Atau bayangkan menjadi Roberta, yang sudah tiga tahun membangun kehidupannya di Berlin. Ia berkata, “Hidupku di sini,” tetapi hukum berkata sebaliknya. Shane dan Kasia juga menghadapi realitas yang sama—mereka bukan turis, bukan pendatang baru, tetapi orang-orang yang telah menjadikan Jerman sebagai rumah mereka. Sekarang, mereka dianggap sebagai musuh.
Ada kesan bahwa ini adalah percobaan laboratorium politik. Pengacara mereka, Alexander Gorski, menyebutnya eksperimen: bisakah hukum migrasi digunakan sebagai senjata politik? Amerika Serikat telah melakukannya sebelumnya, dan kini Jerman tampaknya ingin mencoba. Ini bukan hanya soal empat orang ini—ini adalah preseden. Jika Jerman bisa lolos dengan mengusir seseorang hanya karena opini politiknya, maka siapa yang akan menjadi korban berikutnya? Seorang akademisi yang mengkritik kebijakan luar negeri? Seorang jurnalis yang menulis tentang Palestina? Seorang mahasiswa yang sekadar mengenakan syal kufiyah di tempat umum?
Jerman dengan bangga menyebut dirinya sebagai benteng demokrasi. Konstitusinya menjamin kebebasan berpendapat, sementara Uni Eropa memiliki Piagam Hak Dasar yang seharusnya memberikan perlindungan bagi warganya. Namun, kasus ini menunjukkan bahwa semua itu hanyalah dekorasi indah. Ketika berbicara tentang Israel-Palestina, demokrasi Jerman memiliki standar yang berbeda. Protes dapat dicap sebagai ancaman, slogan bisa menjadi bukti kejahatan, dan hukum migrasi berubah menjadi alat represi. Shane telah dibebaskan dari tuduhan, tetapi tetap diperlakukan sebagai ancaman hanya karena berani meneriakkan “Free Palestine.” Jika ini bukan orwellianisme dalam praktik, lalu apa?
Narasi yang dilemparkan oleh Senat Berlin pun tidak kalah menarik. Mereka bersikeras bahwa keempatnya memiliki hubungan dengan Hamas, meskipun tanpa bukti konkret. Tuduhan ini seperti asap yang dilemparkan ke mata publik agar mereka tidak melihat motif politik yang lebih besar. Jerman, dengan beban sejarah Holocaust, tampaknya sangat takut dicap lunak terhadap anti-Semitisme. Alih-alih membedakan antara kritik terhadap Israel dan kebencian terhadap Yahudi, mereka memilih solusi yang lebih mudah: mengusir orang-orang yang tidak sejalan dengan kebijakan luar negeri mereka.
Ini bukan pertama kalinya Eropa bermain-main dengan hak sipil. Prancis pernah melarang burkini dengan alasan keamanan. Belgia memburu aktivis lingkungan. Tapi Jerman membawa ini ke level yang lebih absurd: mengusir warga Uni Eropa sendiri tanpa kejahatan yang jelas. Bayangkan jika Irlandia tiba-tiba memutuskan untuk mendeportasi warga Jerman karena ikut protes pro-Ukraina. Absurd? Tentu. Tapi absurditas semacam ini kini memiliki ruang dalam politik Eropa.
Cooper tahu bahwa pulang ke Amerika berarti kembali ke lingkungan yang tidak ramah bagi seorang trans. Kasia, Shane, dan Roberta juga kehilangan tempat yang telah mereka bangun sebagai rumah. Sementara itu, Jerman berdalih bahwa mereka harus pergi karena mereka mengucapkan kalimat yang salah di tempat yang salah. Mereka dijadikan kelinci percobaan, untuk melihat sejauh mana hukum migrasi bisa digunakan sebagai alat penekan. Jika ini dibiarkan, maka ini bukan hanya soal keempat orang ini, tetapi soal masa depan kebebasan sipil di Eropa secara keseluruhan.
Namun, ada secercah harapan. Mazanke dan stafnya menolak keputusan ini, dan pengadilan Jerman, jika bertindak adil, bisa membalikkan keadaan. Roberta yakin mereka akan menang. Uni Eropa pun memiliki aturan yang seharusnya melindungi mereka. Tetapi jika keputusan ini tidak dibatalkan, maka Jerman telah membuka pintu bagi otoritarianisme gaya baru—sebuah demokrasi yang hanya berlaku bagi mereka yang setuju dengan kebijakan negara.
Jadi, apa artinya semua ini? Ini adalah pengingat bahwa hak sipil bisa dicabut kapan saja jika kita tidak menjaganya. Ini adalah bukti bahwa kebebasan berpendapat bisa menjadi lelucon jika negara memilih untuk menutup telinga. Dan ini adalah peringatan bahwa demokrasi tidak berarti apa-apa jika kebebasan hanya berlaku untuk mereka yang mengikuti garis resmi. Jerman harus memutuskan: apakah mereka masih ingin disebut sebagai negara demokratis, atau sekadar aktor dalam teater politik yang semakin kehilangan kredibilitasnya?