Connect with us

Opini

Jerman Ubah Eropa: Fleksibilitas atau Krisis Fiskal?

Published

on

Di ruang-ruang megah Brussels, di bawah langit kelabu yang seolah merenungi nasib Eropa, Lars Klingbeil, Menteri Keuangan Jerman yang baru seminggu menjabat, melangkah dengan pesan yang mengguncang: Berlin siap membelanjakan €1 triliun untuk pertahanan dan infrastruktur dalam dekade mendatang. Bagi banyak orang, ini bukan sekadar angka. Ini adalah getaran harapan sekaligus kegelisahan—akankah Jerman, sang penjaga disiplin fiskal, justru menggoyahkan aturan yang pernah mereka junjung? Di tengah dunia yang kian tak menentu, dengan perang di Ukraina dan bayang-bayang ketidakpastian global, langkah Jerman ini terasa seperti taruhan besar. Tapi, seperti taruhan apa pun, ada yang menang, ada yang kalah. Dan Eropa, dengan segala kerumitannya, sedang menatap cermin, bertanya: ke mana kita melangkah dari sini?

Kebijakan fiskal Eropa, selama ini, adalah kisah tentang keseimbangan yang rapuh. Stability and Growth Pact, dengan batas defisit 3% dan utang 60% PDB, adalah mantra suci yang digaungkan Jerman selama bertahun-tahun. Aturan ini, lahir dari trauma inflasi pasca-Perang Dunia, jadi penjaga stabilitas. Tapi stabilitas itu kini diuji. Jerman, yang tiga tahun terakhir terpuruk dalam resesi, memilih jalan radikal: menangguhkan “debt brake” konstitusionalnya pada Januari 2025, lalu menyetujui utang €1 triliun pada Maret, seperti dilaporkan DW. Ini bukan sekadar angka, tapi simbol perubahan paradigma. Jerman, yang dulu menegur Yunani atau Italia karena “boros”, kini ingin bebas dari belenggu yang sama. Apa artinya ini bagi Eropa? Apakah kita sedang menyaksikan evolusi, atau justru pengkhianatan terhadap nilai-nilai lama?

Bayangkan duduk di warung kopi di Jakarta, mendengar kabar ini sambil menyeruput kopi pahit. Kita, yang terbiasa dengan utang negara untuk infrastruktur tol atau kereta cepat, mungkin berpikir: “Apa istimewanya Jerman pinjam duit?” Tapi di Eropa, ini soal prinsip. Aturan fiskal UE bukan cuma teknis, melainkan kontrak sosial antarnegara. Ketika Jerman, ekonomi terbesar Eropa, meminta kelonggaran, itu seperti kakak sulung yang tiba-tiba minta dispensasi dari aturan keluarga. Armin Steinbach, dari Bruegel dan HEC Paris, menyebut ini “preseden berbahaya” (DW, 2025). Jika Jerman bisa, kenapa Italia atau Prancis, yang utangnya sudah menumpuk, tidak boleh? Bukankah ini risiko domino yang bisa jebolkan disiplin fiskal seluruh blok?

Namun, di balik kekhawatiran itu, ada alasan kuat mengapa Jerman berani melangkah. Dunia tak lagi sama. Invasi Rusia ke Ukraina, ketegangan di Indo-Pasifik, hingga kembalinya Donald Trump dengan sikap “America First” membuat Eropa sadar: kita harus berdiri sendiri. Klausul pengecualian nasional, yang diaktifkan Komisi Eropa pada Maret 2025, memberi kelonggaran untuk pengeluaran keamanan. Klingbeil, dengan penuh percaya diri di Eurogroup, bilang aturan baru ini sudah membuka ruang fleksibilitas (DW, 2025). Tapi masalahnya, rencana Jerman tak cuma soal tank atau rudal. Infrastruktur, energi, digitalisasi—semuanya masuk paket €1 triliun. Ini seperti memesan satu porsi nasi goreng, tapi minta tambahan segalanya. Apakah Komisi Eropa akan menelan mentah-mentah “kreativitas” ini?

Ada ironi di sini yang sulit diabaikan. Jerman, yang pernah jadi polisi fiskal Eropa, kini jadi ujian bagi sistem yang mereka bantu ciptakan. Karel Lannoo dari CEPS bilang, “Jerman tetap negara terpenting di Eropa, dengan ekonomi terbesar dan potensi luar biasa” (DW, 2025). Tapi potensi itu datang dengan tanggung jawab. Jika Komisi Eropa menyetujui rencana Jerman, risiko diskriminasi mengintai. Italia, misalnya, yang bergulat dengan utang 140% PDB, bisa berargumen: “Kalau Jerman boleh, kami juga dong!” Steinbach memperingatkan, ini bisa picu krisis ekonomi jika disiplin fiskal ambruk (DW, 2025). Tapi menolak Jerman juga bukan solusi gampang. Eropa sedang butuh suntikan investasi, apalagi saat pertumbuhan ekonomi mandek dan ancaman geopolitik kian nyata. Apa jadinya kalau mesin ekonomi Jerman dipaksa mati di saat krusial?

Saya teringat percakapan dengan seorang teman di Berlin, yang bilang, “Kami capek jadi penutup dompet Eropa.” Jerman memang sering jadi penyelamat—pikirkan bailout Yunani atau kontribusi besar ke anggaran UE. Tapi kali ini, mereka ingin menyelamatkan diri sendiri dulu. Klingbeil, dengan nada optimis, bilang ini bukan “restart” kerja sama Eropa, tapi langkah ke level berikutnya (DW, 2025). Tapi level berikutnya itu apa, sebenarnya? Apakah Eropa siap bergerak ke arah fiskal yang lebih longgar, atau justru butuh aturan yang lebih ketat untuk jaga stabilitas jangka panjang? Pertanyaan ini menggantung, seperti kabut pagi di Brussels.

Steinbach punya usul yang masuk akal: perbarui aturan fiskal, beri ruang untuk investasi nasional, tapi imbangi dengan pinjaman tingkat UE untuk pertahanan kolektif (DW, 2025). Ini seperti menyusun ulang puzzle—tak mudah, tapi perlu. Sayangnya, reformasi ini baru bisa terwujud akhir 2026. Sementara itu, Komisi Eropa harus putuskan nasib rencana Jerman sebelum musim panas 2025. Pilihan mereka ibarat berjalan di tali tipis: izinkan Jerman, dan aturan fiskal bisa kehilangan taring; tolak, dan Eropa bisa kehilangan momentum. Ini bukan cuma soal angka, tapi kepercayaan. Jika UE terlihat pilih kasih, kohesi antarnegara bisa retak.

Di Indonesia, kita mungkin melihat ini dari jauh, tapi bayangannya tak asing. Utang untuk pembangunan, seperti IKN atau kereta cepat, selalu jadi perdebatan: apakah worth it? Jerman, dalam skala Eropa, sedang hadapi dilema serupa. Tapi bedanya, keputusan mereka tak cuma soal nasib Berlin, tapi seluruh benua. Efek riak dari €1 triliun ini, kata Steinbach, ada tapi “besarannya tak jelas” (DW, 2025). Mungkin Prancis dapat kontrak energi, atau Polandia kebagian proyek pertahanan. Tapi kalau manfaatnya cuma ngalir ke Jerman, apa kata tetangga?

Pada akhirnya, evolusi kebijakan fiskal Eropa adalah cermin dari zaman kita: penuh kontradiksi, harapan, dan ketakutan. Jerman, dengan langkah beraninya, sedang menggambar ulang peta ekonomi Eropa. Tapi peta itu tak akan lengkap tanpa kerja sama, tanpa keberanian untuk reformasi yang adil. Kita, yang menyaksikan dari kejauhan, mungkin bertanya: kalau Eropa saja sulit menyatukan visi, bagaimana dengan kita di ASEAN, dengan segala perbedaan kita? Mungkin jawabannya sama: evolusi butuh keberanian, tapi juga keseimbangan. Dan di Brussels, di bawah langit yang masih kelabu, pertarungan antara fleksibilitas dan disiplin baru saja dimulai.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *