Opini
Jerman Terseok di Tarif Trump: Stagnasi atau Krisis Menanti?

Jerman, raksasa ekonomi Eropa yang dulu perkasa, kini tersandung di lumpur stagnasi, menurut laporan Handelsblatt yang mengutip prakiraan pemerintah. Nol persen pertumbuhan untuk 2025, turun dari 0,3%, menandai tiga tahun tanpa denyut ekonomi—sejarah memalukan bagi mesin UE. Tarif AS yang kejam, 20% untuk barang UE dan 25% untuk baja, aluminium, serta mobil, menghantam keras. Bisnis Jerman, ketakutan, menunda investasi, sementara Trump, dengan senyum licik, menunda tarif namun tetap memukul.
Oh, betapa ironis nasib Jerman, negeri yang pernah menggerakkan roda industri dunia! Federal Statistical Office mencatat AS sebagai mitra dagang utama tahun lalu, namun kini hubungan itu bagai pernikahan yang retak. Trump, dengan gaya dramatisnya, menolak usulan “zero-for-zero” tarif dari Ursula von der Leyen, menuntut UE membeli energi AS senilai $350 miliar. Negosiasi macet, dan Jerman, sang pengantin ekonomi, hanya bisa menatap cemas ke cakrawala perdagangan.
Laporan itu menyebutkan proyeksi 2026 yang sedikit cerah, 0,9% pertumbuhan, turun dari 1,1%. Tapi, angka ini ibarat janji manis dari kekasih yang tak bisa dipercaya. Kiel Institute dan Ifo Institute memperingatkan: jika tarif 20% diberlakukan penuh, ekonomi bisa menyusut 0,3%. Jerman, yang dulu bangga dengan BMW dan Siemens, kini bergantung pada harapan rapuh bahwa Trump akan berbaik hati atau Brussels menemukan sihir diplomatik.
Sementara itu, pemerintah Olaf Scholz, yang akan segera lengser, berusaha menyelamatkan muka dengan dana infrastruktur €500 miliar. Bayangkan—maaf, bukan bayangkan, lihatlah—tumpukan euro untuk jalan, jembatan, dan kereta, seolah-olah aspal baru bisa menyembuhkan luka ekonomi. Reformasi “debt brake” juga digembar-gemborkan, membebaskan anggaran dari belenggu konstitusi. Tapi, apakah ini cukup? Ketika perusahaan menahan investasi, dana itu seperti obat plasebo untuk pasien yang koma.
Friedrich Merz, calon kanselir baru, melangkah dengan janji mengembalikan kejayaan. “Kompetitivitas!” katanya, seolah kata itu mantra ajaib. Tapi, di tengah badai tarif dan ketidakpastian, janji Merz terdengar seperti pidato penutup untuk kapal yang sudah bocor. Jerman, dengan industri otomotifnya yang megah, kini bergoyang di tepi jurang. IMF, dengan nada muram, memotong proyeksi 2025 menjadi 0%, menobatkan Jerman sebagai satu-satunya pecundang di antara G7.
Lihatlah absurditasnya: Jerman, negeri yang mengajarkan dunia efisiensi, kini terjebak dalam tarian lambat menuju stagnasi. Ketergantungan pada ekspor, yang dulu adalah kebanggaan, kini jadi kutukan. AS, dengan sikap seenaknya, memainkan kartu tarif, sementara Jerman hanya bisa menonton, seperti penonton di teater tragedi. Trump, dalam pertemuan dengan Giorgia Meloni, berkata kesepakatan “100 persen” akan tercapai, tapi “tak buru-buru.” Ironi yang kejam!
Dan di dalam negeri, apa yang dilakukan? Dana €500 miliar itu, meski mengesankan, butuh waktu untuk bekerja—mungkin terlalu lama untuk pasien yang sudah sesak napas. Reformasi “debt brake” memang langkah berani, tapi seperti membuka jendela di tengah badai: udara segar masuk, tapi hujan tetap mengguyur. Bisnis Jerman, yang dulu lincah, kini bertindak seperti penutup telinga, menunggu badai tarif reda sebelum bergerak.
Lalu, ada Ursula von der Leyen, yang dengan gagah berani menawarkan tarif “zero-for-zero.” Ditolak mentah-mentah oleh Trump, tentu saja, karena apa gunanya diplomasi jika tak ada drama? Jerman, sebagai tulang punggung UE, pasti mendorong negosiasi ini, tapi hasilnya seperti menunggu Godot—sia-sia dan penuh absurditas. Sementara itu, perusahaan Jerman, yang biasanya penuh percaya diri, kini bertanya-tanya apakah besok akan lebih buruk dari hari ini.
Mari kita tertawa pada ironi ini: Jerman, yang pernah menertawakan krisis Yunani, kini menjadi bahan lelucon ekonomi. Tiga tahun stagnasi, dan ancaman dua tahun lagi, membawa bayang-bayang “dekade yang hilang” ala Jepang. Jika tarif penuh diberlakukan, kontraksi 0,3% menanti, kata para ahli. Ini bukan lagi soal pertumbuhan; ini soal bertahan hidup di tengah badai yang diciptakan oleh ego perdagangan transatlantik.
Tapi, tunggu, ada harapan, bukan? Merz, dengan jas rapi dan senyum optimis, berjanji membawa Jerman kembali ke puncak. Dana infrastruktur akan membangun jembatan—secara harfiah dan kiasan. Reformasi akan membuka dompet pemerintah. Tapi, di dunia yang dipimpin oleh tarif dan ketidakpastian, harapan ini terasa seperti membeli tiket lotre untuk menyelesaikan utang. Jerman, oh Jerman, apakah kau akan bangkit atau terus tersandung?
Dan Trump, sang sutradara drama ini, duduk di sisi Atlantik dengan tawa kecil. “Saya tak buru-buru,” katanya, sementara Jerman menunggu seperti pelayan yang lupa pesanan. Negosiasi dengan Brussels, yang melibatkan Jerman sebagai aktor utama, adalah teater absurd. Trump ingin $350 miliar untuk energi AS—harga yang bahkan Merkel, dengan ketegasannya, akan anggap gila. Jerman, terperangkap, hanya bisa berharap pada keajaiban diplomatik.
Laporan IMF menambah garam pada luka: Jerman, satu-satunya ekonomi G7 yang stagnan pada 2025. Industri berbasis ekspor, dari Volkswagen hingga BASF, tersandung oleh tarif dan ketidakpastian. Ini bukan lagi soal kehilangan momen; ini soal kehilangan dekade. Jika stagnasi berlanjut hingga lima tahun, seperti yang ditakutkan, Jerman bisa menatap krisis yang bukan sekadar statistik, tapi kenyataan sosial dan politik.
Jadi, di mana Jerman sekarang? Terseok-seok, seperti pelari maraton yang kehabisan napas di kilometer terakhir. Dana infrastruktur, reformasi, dan janji Merz adalah tali penyelamat, tapi badai tarif dan ketergantungan ekspor adalah angin yang mendorong ke belakang. Jerman bukan lagi raksasa yang tak tergoyahkan; ia adalah manusia biasa, berjuang di tengah dunia yang tak lagi memainkan aturan lamanya.
Oh, Jerman, negeri yang dulu mengajar dunia cara membangun mesin, kini belajar cara bertahan. Dana €500 miliar mungkin membangun jalan, tapi tak bisa membangun kembali kepercayaan yang hilang. Merz mungkin berjanji kejayaan, tapi tanpa solusi untuk tarif dan perdagangan, janji itu hanyalah kata-kata. Dan Trump? Ia terus menari, meninggalkan Jerman dalam tarian lambat menuju ketidakpastian, dengan tawa yang bergema di Atlantik.
Daftar Sumber
- (2025). Germany Faces Third Year of Economic Stagnation Amid US Tariff Hikes. Dikuti dari laporan internal pemerintah Jerman.
- RT News. (2025). Germany Facing Zero Growth in 2025 – Forecast. Tersedia di: https://www.rt.com/business/616130-germany-zero-growth-forecast/
- Federal Statistical Office of Germany. (2024). Trade Statistics: United States as Germany’s Top Trading Partner.
- Kiel Institute for the World Economy & Ifo Institute. (2025). Economic Impact Assessment of US Tariffs on German Economy.
- International Monetary Fund (IMF). (2025). World Economic Outlook: Germany’s 2025 Growth Forecast Revised to 0.0%.