Opini
Jerman Tersandung: Mesin Ekonomi Eropa Mulai Seret

Di bawah langit kelabu Berlin, angka-angka berbicara dengan nada muram: pendapatan pajak Jerman diperkirakan anjlok €81,2 miliar (sekitar Rp1.374 triliun) dalam kurun 2025 hingga 2029. Dari jumlah itu, €33,3 miliar (Rp563 triliun) lenyap dari kas pemerintah federal. Angka-angka itu, dingin dan telanjang, bukan sekadar deretan nol—melainkan cerminan kegelisahan sebuah bangsa. Jerman, raksasa ekonomi Eropa, kini tersandung; satu-satunya negara G7 yang tak tumbuh dalam dua tahun terakhir.
Ada apa dengan negeri yang dulu kita kira tak tergoyahkan?
Laporan Reuters tanggal 15 Mei 2025 menangkap denyut krisis ini. Saya, seperti banyak dari Anda, ikut bertanya-tanya. Bagaimana negara dengan mesin industri sekuat Volkswagen dan BASF bisa terjebak dalam stagnasi?
Coba bayangkan sebuah kota kecil di Mecklenburg. Lampu jalan redup karena anggaran dipangkas €3,5 miliar (Rp59 triliun). Sekolah-sekolah kekurangan guru. Bus kota berhenti lebih awal. Di sisi lain, negara bagian seperti Bavaria justru mendapat tambahan €1,1 miliar (Rp18,6 triliun). Ketimpangan ini tak sekadar soal angka—ia menyisakan luka sosial. Lars Klingbeil, Menteri Keuangan yang baru menjabat sepekan, berdiri di podium dengan wajah tegang. “Kita butuh pertumbuhan ekonomi untuk meningkatkan pendapatan,” katanya. Pernyataan yang terdengar seperti mantra, tapi benarkah sesederhana itu?
Saya teringat pasar malam di Jakarta—penuh harapan meski dompet tipis. Jerman, dengan segala kecanggihannya, seolah kehilangan semangat itu.
Ekonomi Jerman menyusut 0,3% pada 2023, dilanjutkan minus 0,2% pada 2024. Proyeksi 2025 pun tidak menggembirakan, hanya tumbuh tipis 0,1–0,3%. Ini bukan resesi tajam seperti 2008 ketika PDB ambruk 5,7%, melainkan stagnasi perlahan yang menggerogoti dari dalam. Biaya energi melonjak sejak krisis Rusia–Ukraina, dan belum juga reda. Ekspor—penopang utama ekonomi yang menyumbang 40% PDB—mulai goyah, tertekan permintaan global yang melemah dan ancaman tarif dari Amerika di bawah Trump.
Saya membayangkan pekerja pabrik di Stuttgart, menatap mesin-mesin besar yang jarang berputar, dan bertanya dalam hati: sampai kapan begini?
Klingbeil menawarkan resep: anggaran 2025 yang dijadwalkan rampung Juni ini akan menggelontorkan dana infrastruktur sebesar €500 miliar (Rp8.465 triliun) dan keringanan pajak bagi perusahaan. Kedengarannya megah. Namun sulit untuk tidak skeptis. Paket keringanan €32 miliar (Rp542 triliun) pada 2023 nyatanya tidak berdampak signifikan. Infrastruktur Jerman memang butuh suntikan: rel kereta sering mogok, internet lambat, dan jaringan transportasi tak efisien. Tapi di balik itu ada tembok penghalang bernama debt brake, aturan yang membatasi defisit anggaran hanya 0,35% dari PDB. Jika ingin mengubahnya, butuh dua pertiga suara di parlemen—sesuatu yang sulit di tengah iklim politik yang retak.
Politik memang jadi duri lain. Pemilu Februari 2025 kian dekat. Koalisi CDU/CSU dan SPD, jika terbentuk, berpotensi tarik-ulur: CDU mendorong pemotongan pajak perusahaan, SPD ingin menaikkan pajak orang kaya. Sementara itu, AfD—partai populis—siap memanen kekecewaan rakyat. Di warung kopi Jakarta, orang mengeluh soal harga BBM. Di Jerman, keluhannya mungkin soal listrik mahal, PHK massal, dan masa depan yang suram. Survei terbaru menyebut lebih dari sepertiga perusahaan berniat melakukan pemutusan hubungan kerja pada 2025. Indeks Ifo—indikator kepercayaan bisnis—jatuh ke angka 87,6, nyaris menyentuh titik terendah.
Lalu, apa artinya semua ini bagi warga biasa?
Anggaran €3,5 miliar yang hilang dari pemerintah daerah berarti renovasi sekolah tertunda, taman bermain dibiarkan usang. Kita di Indonesia tahu rasanya ketika pemerintah berkata, “anggaran terbatas.” Di Jerman, kesenjangan antarwilayah bisa memicu protes, apalagi jika pengangguran—yang saat ini 3,8%—naik jadi 5%. Warga Leipzig atau Dresden, yang selama ini merasa tertinggal dari Munich, bisa makin kecewa. Imigrasi yang digadang-gadang sebagai solusi atas populasi menua, bisa berubah jadi api politik jika ekonomi tak membaik.
Jerman bukan sekadar negara; ia adalah jantung Zona Euro, menyumbang 28% dari total PDB kawasan. Jika ia tersendat, dampaknya menjalar ke seluruh Eropa—dari Belanda, Austria, hingga Prancis. Bayangkan rantai pasok otomotif global terganggu: suku cadang BMW tak terkirim, mesin Siemens tertahan di pabrik. Ini memang bukan krisis global seperti Lehman Brothers, tapi cukup untuk membuat Bank Sentral Eropa (ECB) pusing menjaga inflasi, yang kini berada di angka 2,2%.
Lalu, jika Jerman saja bisa goyah, bagaimana dengan kita di Indonesia?
Jerman memiliki cadangan fiskal yang cukup kuat—rasio utangnya hanya 63% terhadap PDB, jauh di bawah Amerika Serikat. Namun kekuatan itu bisa runtuh tanpa reformasi menyeluruh. Tanpa perubahan di sektor energi, birokrasi yang lebih ramping, dan pasar tenaga kerja yang lebih fleksibel, dana €500 miliar untuk infrastruktur hanya akan jadi tambal sulam. Saya teringat proyek tol di Indonesia—indah dalam cetak biru, tapi macet di lapangan.
Namun, ada sisi manusia yang tak boleh dilupakan. Di balik angka €81,2 miliar, ada keluarga yang cemas kehilangan pekerjaan. Anak-anak yang klub sepak bolanya bubar karena subsidi dihentikan. Saya membayangkan seorang ibu di Bremen, menghitung tagihan listrik sambil mendengar berita “krisis ekonomi.” Ia tak peduli pada G7 atau Zona Euro. Ia hanya ingin hidup dengan layak.
Dan bukankah itu yang kita semua cari—di Jakarta, Surabaya, atau Berlin?
Jika Jerman tidak bertindak cepat, Mei 2026 bisa lebih kelam. Resesi ringan, dengan penurunan PDB 0,5–1%, bukan tidak mungkin. Pengangguran bisa menyentuh 5%, protes jalanan meningkat, dan koalisi pemerintahan macet oleh konflik internal. Perusahaan besar, dari VW hingga Bayer, mungkin mulai memindahkan investasi ke Polandia atau Amerika. Deindustrialisasi bisa jadi nyata. Zona Euro ikut terseret, pertumbuhannya bisa jatuh di bawah 1%.
Namun saya percaya, Jerman masih punya daya tahan. Cadangan fiskalnya, kekuatan sains dan teknologinya, serta sejarahnya sebagai negara Wirtschaftswunder—yang bangkit dari reruntuhan Perang Dunia II—adalah modal yang tak bisa disepelekan.
Pertanyaannya, cukupkah semua itu?
Kita di Indonesia tahu rasanya berjuang di tengah krisis. Dari naiknya harga beras hingga banjir yang tak kunjung surut, kita terbiasa bertahan. Dan kini, Jerman, dengan segala keunggulannya, berada di persimpangan. Apakah ia akan bangkit seperti dahulu, atau justru menjadi peringatan bagi dunia?
Saya kembali menatap angka-angka itu—€81,2 miliar, €33,3 miliar—dan merasa, mungkin inilah waktunya Jerman untuk berintrospeksi. Untuk kembali bertanya: ke mana arah langkah kita? Dan bagaimana kita bisa menemukan jalan pulang?