Connect with us

Opini

Jerman Siap Perang, Sejarah Tersenyum Pahit

Published

on

Di sebuah ruang bawah tanah di Berlin, para pejabat pemerintah berkumpul, bukan untuk membicarakan pendidikan, kesehatan, atau masa depan energi hijau, melainkan untuk sesuatu yang lebih muram: menghidupkan kembali mimpi lama tentang barisan seragam dan derap sepatu bot. Ironi sejarah menampar kita di wajah—delapan puluh tahun setelah runtuhnya Reich Ketiga, Jerman sekali lagi bersiap mengukir masa depannya dengan senjata dan pasukan muda. Ada yang ganjil, bahkan absurd, ketika bangsa yang pernah menjerumuskan dunia ke jurang perang kini kembali berbicara dengan nada “siap tempur.”

Chancellor Friedrich Merz dengan bangga menyatakan bahwa Bundeswehr harus menjadi “angkatan konvensional terkuat di Eropa.” Kata-kata itu meluncur hanya beberapa hari setelah dunia mengenang tragedi lama. Seolah ingatan akan tank Tiger, kamp konsentrasi, dan kota-kota yang rata dengan tanah hanyalah catatan kaki dalam buku sejarah. Pernyataan Merz terasa lebih seperti gema masa silam yang belum tuntas ketimbang visi masa depan yang damai. Dan sungguh, apa urgensi sebenarnya hingga sebuah negara demokratis di jantung Eropa harus menggiring remajanya ke barak-barak militer?

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Pemerintah mengemasnya dengan istilah manis: layanan militer sukarela. Padahal, dalam draf hukum itu, semua laki-laki berusia 18 tahun wajib mengisi kuesioner tentang kesiapan mereka untuk bertempur. Sukarela tapi diwajibkan, betapa indahnya permainan kata. Perempuan memang diberi opsi, tapi narasi yang digulirkan jelas: Jerman membutuhkan ribuan anak muda setiap tahun, 20.000 tahun depan, 40.000 di tahun-tahun berikutnya. Semua atas nama “deterrence” terhadap Rusia. Rusia yang konon siap menyerbu, meski logika sederhana menunjukkan bahwa Moskow saat ini bahkan kewalahan di Ukraina.

Saya rasa kita perlu jujur: ini bukan soal Rusia semata. Ini soal NATO. Soal Amerika yang ingin sekutu-sekutunya berhenti hanya menjadi konsumen keamanan dan mulai menjadi produsen pasukan. Berlin dipaksa keluar dari zona nyaman ekonomi makmur dan kesejahteraan sosial menuju jalur baru: pengerahan tenaga muda untuk proyek militer jangka panjang. Inilah urgensi palsu yang dibangun dari narasi ancaman. Ancaman yang dibesar-besarkan agar rakyat percaya bahwa satu-satunya cara selamat dari “bayangan beruang Rusia” adalah dengan mengasah kembali bayonet tua.

Namun, apakah rakyat Jerman benar-benar siap? Mari kita lihat realitas sosialnya. Generasi muda di sana tumbuh dalam atmosfer pasca-Perang Dingin: stabilitas, demokrasi, kesibukan kuliah, startup, seni, dan sepak bola. Mereka tidak tumbuh dengan trauma perang langsung, tapi mereka mewarisi ingatan kolektif: bahwa kakek-nenek mereka pernah menyaksikan dunia hancur gara-gara militerisme. Bagaimana mungkin generasi yang terbiasa liburan musim panas di Barcelona atau belajar bahasa asing di Erasmus kini diminta merangkak di lumpur demi “pertahanan”?

Bahkan survei beberapa tahun terakhir menunjukkan tingkat kepercayaan publik terhadap militer Jerman jauh lebih rendah dibandingkan institusi sipil. Tidak heran jika banyak yang skeptis: bukankah ini upaya memaksakan normalisasi militerisme pada generasi yang sebenarnya ingin hidup jauh dari logika perang? Pemerintah boleh saja menyebutnya program patriotik, tapi bagi sebagian besar anak muda, ini bisa terdengar seperti undangan halus menuju barisan cadangan perang yang mereka sendiri tak yakin perlu diikuti.

Di sinilah absurditas makin terasa. Negara yang selama puluhan tahun dengan bangga menampilkan wajah baru—Jerman sebagai kekuatan ekonomi, motor integrasi Eropa, pusat teknologi ramah lingkungan—tiba-tiba tergoda untuk kembali memainkan peran lama: pemimpin militer. Seperti orang yang sudah lama sembuh dari kecanduan, lalu dengan ringan berkata, “ah, satu teguk lagi tidak apa-apa.” Padahal kita tahu, sejarah sering kali berulang dengan konsekuensi yang lebih pahit.

Rusia pun tak tinggal diam. Sergey Lavrov memperingatkan bahwa keterlibatan Jerman dalam perang Ukraina “kini jelas.” Kremlin menyebut Jerman “berbahaya lagi.” Apakah itu sekadar retorika Moskow? Bisa jadi. Tapi di balik kata-kata itu ada gema sejarah yang tak bisa diabaikan: dua kali dalam satu abad, Jerman berubah dari negara modern menjadi mesin perang. Dan kini, ketika menterinya bicara soal tentara siap “membunuh pasukan Rusia bila deterrence gagal,” wajar jika dunia kembali merasa deja vu.

Mari bayangkan dampak psikologisnya. Generasi muda Jerman yang tumbuh dengan identitas sipil akan menghadapi dilema batin. Di satu sisi, mereka diajarkan bahwa demokrasi harus menjauhi militerisme. Di sisi lain, negara menuntut mereka menandatangani kertas kesiapan tempur. Identitas yang terbelah ini berpotensi menumbuhkan alienasi. Sebagian mungkin akan menurut, sebagian lagi menolak, dan sebagian lainnya hidup dalam kegelisahan: harus menjadi warga negara yang patuh atau manusia yang menolak logika kekerasan.

Di ruang publik, wacana ini akan merembes ke banyak lini. Sekolah-sekolah mungkin akan mulai mempromosikan “patriotisme” dengan wajah baru, media akan lebih sering menampilkan citra militer, dan masyarakat perlahan terbiasa melihat tentara bukan sebagai pengecualian, tapi sebagai bagian keseharian. Inilah normalisasi yang berbahaya: ketika senjata, seragam, dan latihan perang dianggap lumrah, kita sedang menyiapkan generasi yang lebih mudah menerima perang sebagai pilihan.

Saya jadi teringat pada kondisi kita di Indonesia. Ketika wacana wajib militer atau bela negara sempat muncul, reaksi publik juga beragam: sebagian merasa bangga, sebagian mencibir, sebagian lagi khawatir. Bayangkan itu terjadi di Jerman—negara dengan beban sejarah yang jauh lebih berat, dengan luka perang yang pernah ia ciptakan sendiri. Bukankah efeknya akan lebih dalam? Bayangkan jika anak-anak muda yang seharusnya sibuk dengan inovasi energi terbarukan justru dipaksa menghitung cara membongkar senapan. Rasanya seperti memaksa seorang penulis puisi belajar strategi artileri.

Pemerintah mungkin berkilah bahwa ini hanyalah layanan sukarela, belum wajib militer penuh. Tapi kita tahu bagaimana politik bekerja. Ketika target 40.000 remaja per tahun tidak tercapai, akan selalu ada tekanan untuk mengaktifkan kembali wajib militer universal. Mekanisme sudah disiapkan, tinggal menunggu alasan yang lebih meyakinkan. Saat itu tiba, “sukarela” akan berubah menjadi “kewajiban.” Dan sekali mesin itu hidup, sulit menghentikannya.

Pertanyaan terbesar adalah: ke mana Jerman akan diarahkan? Apakah menuju masa depan Eropa yang damai, atau justru kembali ke jalur lama: Eropa yang gemetar di bawah bayangan tank Jerman? Kita tahu, kali ini Jerman tidak bergerak sendirian. Ada NATO, ada AS, ada Ukraina yang dijadikan panggung. Namun, inti persoalannya sama: logika militer kembali dipuja, dan generasi muda dijadikan bahan bakarnya.

Sejarah seharusnya menjadi guru, bukan sekadar peringatan seremonial. Namun, tampaknya bagi sebagian pemimpin Jerman, sejarah hanya dijadikan backdrop untuk pidato heroik. Mereka lupa bahwa kekuatan sejati bukan diukur dari jumlah tank atau remaja yang siap mengangkat senjata, melainkan dari keberanian menjaga generasi agar tidak lagi dijebak ke dalam lingkaran perang.

Dan di titik inilah saya merasa getir. Dunia seolah menyaksikan ironi besar: bangsa yang pernah berjanji “tak akan pernah lagi” kini dengan bangga menyiapkan barisan remaja untuk kemungkinan perang. Kita bisa menyebutnya patriotisme. Kita bisa menyebutnya strategi pertahanan. Tapi jangan lupa, di balik semua istilah manis itu, ada risiko besar: bahwa Jerman sedang perlahan-lahan kembali ke panggung yang dulu ia tinggalkan dengan darah dan air mata.

Mungkin sebagian orang akan berkata saya berlebihan. Tapi bukankah sejarah selalu dimulai dari langkah kecil yang terlihat tak berbahaya? Sebuah kuesioner untuk anak muda, sebuah pelatihan enam bulan, sebuah pidato tentang deterrence. Lalu satu demi satu, kepingan itu menyatu menjadi mesin raksasa yang sulit dihentikan. Dan ketika itu terjadi, kita hanya bisa berkata: kita sudah melihat tanda-tandanya, tapi memilih diam.

Saya yakin, rakyat Jerman sendiri masih terbelah. Ada yang percaya militerisasi adalah harga keamanan. Ada yang cemas ini hanyalah jalan pintas menuju perang baru. Namun, apa pun sikap mereka, satu hal pasti: eksperimen ini akan mengubah psikologi nasional Jerman. Dari bangsa yang dulu menolak militerisme, menjadi bangsa yang kembali dipaksa menormalisasinya.

Dan jika itu bukan tragedi sejarah yang berulang, saya tidak tahu lagi apa namanya.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer