Opini
Jerman: Negeri Tanpa Masa Depan? Ironi di Balik Prioritas Negara

Sektor perjalanan udara Jerman akan mengalami gangguan besar pada Senin mendatang ketika serikat pekerja ver.di mengumumkan pemogokan terkoordinasi selama 24 jam, yang akan melumpuhkan 11 bandara utama di seluruh negeri. Aksi mogok ini akan berdampak pada pusat-pusat internasional seperti Frankfurt, Munich, dan Berlin-Brandenburg. Pemogokan ini berakar dari perselisihan upah yang tak kunjung selesai antara serikat pekerja dan pengusaha federal serta kota.
Para pekerja bandara di Jerman turun ke jalan, bukan untuk merayakan kemajuan negara mereka, melainkan untuk menuntut hak dasar yang seharusnya sudah menjadi kewajiban pemerintah: upah yang layak dan kondisi kerja yang manusiawi.
Ver.di menuntut kenaikan upah sebesar 8% atau kenaikan gaji bulanan minimum sebesar €350 ($380) bagi para anggotanya, serta peningkatan kompensasi untuk jam kerja yang tidak teratur dan tambahan tiga hari libur. Pejabat serikat pekerja menyatakan bahwa aksi ini terpaksa dilakukan setelah pengusaha gagal mengajukan penawaran selama putaran negosiasi terakhir.
Namun ironisnya, di saat rakyat Jerman harus berjuang agar suara mereka didengar, pemerintah justru sibuk mencairkan miliaran euro untuk membantu Ukraina dalam perang yang seolah tiada ujung.
Lalu, di mana letak keadilan bagi rakyat Jerman? Jika pemerintah mampu mengalokasikan dana hingga €7 miliar untuk mendanai perang negara lain, mengapa mereka tak mampu memenuhi tuntutan kenaikan gaji sebesar 8% atau sekadar menambah hari libur bagi pekerja sektor transportasi? Ini bukan lagi sekadar ketimpangan, melainkan pengkhianatan terhadap rakyat sendiri.
Friedrich Merz, yang digadang-gadang sebagai kanselir Jerman berikutnya, tampaknya lebih sibuk memperjuangkan paket bantuan militer untuk Ukraina ketimbang mengurus negeri yang tengah dilanda krisis. Dengan anggaran pertahanan yang direncanakan mencapai €500 miliar, Jerman ingin tampil sebagai pemimpin pertahanan Eropa. Tapi pertanyaannya, bagaimana mereka bisa memimpin jika rakyatnya sendiri merasa diabaikan?
Dilema ini semakin rumit ketika melihat fakta bahwa sebagian besar rakyat Jerman mulai kehilangan kepercayaan pada pemerintah. Kekecewaan meluas, tidak hanya di sektor penerbangan, tetapi juga di bidang ekonomi, sosial, dan kesejahteraan publik. Jika protes ini terus berkembang, bukan tidak mungkin Jerman akan menghadapi gelombang perlawanan rakyat seperti yang pernah terjadi di negara-negara lain di Eropa.
Dalam analisis yang lebih dalam, situasi ini adalah hasil dari strategi politik yang gagal dalam menyeimbangkan kebijakan luar negeri dengan kebutuhan domestik. Pemerintah Jerman ingin menjaga citra sebagai negara kuat yang mendukung demokrasi dan kebebasan. Namun ironinya, mereka justru mengorbankan rakyat sendiri demi ambisi geopolitik yang tidak memberikan manfaat langsung bagi kehidupan sehari-hari masyarakat Jerman.
Sejarah mencatat, setiap kali ketimpangan seperti ini dibiarkan berlarut-larut, gerakan rakyat yang menuntut perubahan besar pasti akan muncul. Jerman bukan hanya menghadapi kegelapan seperti yang dialami Indonesia dengan tagar #IndonesiaGelap. Mereka menghadapi sesuatu yang lebih mengkhawatirkan: sebuah negara yang perlahan kehilangan masa depannya.
Jika kita menilik lebih jauh, kebijakan Jerman saat ini mencerminkan pola yang telah terjadi di banyak negara besar sebelumnya: ketika pemerintah terlalu fokus pada agenda luar negeri hingga mengabaikan kesejahteraan rakyat sendiri, akibatnya bisa sangat destruktif. Amerika Serikat, misalnya, menghabiskan triliunan dolar dalam perang di Timur Tengah, sementara rakyatnya sendiri harus berjuang menghadapi ketimpangan ekonomi yang semakin melebar. Kini, Jerman tampaknya sedang menapaki jalur yang sama.
Apa dampak dari kebijakan seperti ini bagi rakyat Jerman?
Pertama, meningkatnya kemiskinan dan ketimpangan sosial. Dengan anggaran besar yang dialokasikan untuk perang di Ukraina, anggaran untuk layanan publik dalam negeri menjadi terbatas. Sektor kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial mulai terpinggirkan, menciptakan frustrasi di kalangan masyarakat kelas menengah dan bawah.
Kedua, meningkatnya ketidakstabilan politik. Seperti yang telah kita saksikan dalam beberapa tahun terakhir, kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat dapat memicu bangkitnya gerakan populis dan kelompok ekstrem kanan. Partai Alternatif untuk Jerman (AfD), yang menentang pengeluaran besar untuk Ukraina, semakin mendapatkan dukungan dari rakyat yang kecewa dengan pemerintah saat ini. Jika tren ini terus berlanjut, Jerman bisa menghadapi perpecahan politik yang serius.
Ketiga, dampak terhadap ekonomi jangka panjang. Dengan adanya aksi mogok di sektor penerbangan dan kemungkinan sektor-sektor lain mengikuti langkah serupa, roda ekonomi Jerman bisa melambat secara signifikan. Investor internasional mulai mempertanyakan stabilitas ekonomi negara tersebut, yang pada akhirnya dapat berdampak pada turunnya daya saing Jerman di pasar global.
Pemerintah Jerman tampaknya sedang bermain dengan api. Mereka mempertaruhkan stabilitas domestik demi kepentingan geopolitik yang belum tentu memberikan manfaat jangka panjang bagi negara. Sejarah telah membuktikan bahwa ketika pemerintah terlalu lama mengabaikan aspirasi rakyat, gelombang perubahan bisa datang dari arah yang tak terduga.
Apa yang akan terjadi selanjutnya? Jika pemerintah terus mengabaikan rakyatnya sendiri demi ambisi global, bukan tidak mungkin akan muncul gelombang protes besar-besaran, bahkan ketidakstabilan politik yang lebih serius. Rakyat Jerman akan bertanya: apakah negara ini masih layak disebut demokrasi, atau hanya kedok bagi kepentingan segelintir elite politik?
Saat ini, rakyat Jerman masih dalam tahap frustrasi dan kekecewaan. Namun, jika pemerintah tetap tutup mata dan telinga, bukan tidak mungkin ledakan sosial akan terjadi dalam waktu dekat. Jerman bisa menghadapi bukan hanya pemogokan sektor transportasi, tetapi juga perlawanan dari sektor lain yang merasa diabaikan.
Jerman, negeri yang dulunya menjadi simbol kekuatan ekonomi dan stabilitas Eropa, kini menghadapi realitas pahit: ia sedang menuju ke jurang ketidakpastian. Masa depan yang dulunya cerah, kini tampak suram. Jika pemerintah tidak segera mengubah haluan, mungkin kita akan menyaksikan babak baru dalam sejarah Jerman—bukan sebagai negara adidaya di Eropa, tetapi sebagai negara yang dihantui oleh krisis internalnya sendiri.