Opini
Jerman Menuduh Rusia Hybrid War, Padahal Mereka Pelakunya!

Oleh: Lutfi Awaludin Basori
Laporan terbaru dari DW mengungkapkan bahwa Menteri Pertahanan Jerman, Boris Pistorius, dengan serius memperingatkan bahwa Jerman harus siap menghadapi serangan hybrid dari Rusia, khususnya menjelang pemilu federal yang akan datang. Menurut Pistorius, Rusia berusaha memanfaatkan serangan siber dan disinformasi untuk mempengaruhi stabilitas politik di Jerman, dan negara tersebut menjadi “target utama” dari ancaman ini. Dia bahkan menyatakan, “Putin tahu bagaimana membuat kami terganggu.” Sungguh sebuah pernyataan yang menambah dramatisir ketegangan internasional, namun apakah Jerman benar-benar menjadi korban, atau justru ada skenario lain yang lebih kompleks yang sedang dimainkan di balik layar?
Jika kita berbicara soal hybrid warfare, kita tidak bisa menutup mata pada kenyataan bahwa Jerman, beserta negara-negara Barat lainnya, adalah salah satu aktor terbesar yang sudah lama menggunakan teknik ini. Mereka tak hanya sekadar menuduh Rusia menggunakan disinformation atau menargetkan infrastruktur kritis melalui serangan siber, mereka telah lama memanipulasi narasi global untuk membentuk opini dunia. Inilah kehebatan mereka—mereka bisa menyatakan bahwa mereka yang diserang, sementara di balik layar mereka menggerakkan mesin perang informasi yang jauh lebih kompleks dan merusak. Coba ingat kembali, siapa yang pertama kali meluncurkan sanksi ekonomi untuk mengisolasi Rusia? Siapa yang menggunakan media besar untuk menggambarkan Rusia sebagai ancaman besar yang harus segera dilawan? Jerman, tentu saja, bersama dengan negara-negara Barat lainnya.
Tapi kenapa Jerman melakukan ini? Pertama-tama, mereka tahu benar betapa berbahayanya ketegangan domestik yang semakin menggelora akibat kebijakan mereka yang tanpa ampun mendukung Ukraina. Ekonomi mereka, yang sudah terhimpit oleh krisis energi dan inflasi, butuh alasan kuat untuk menutupi kenyataan pahit. Tidak ada cara yang lebih baik untuk melakukannya selain dengan mengalihkan perhatian publik. “Mari kita fokus pada ancaman Rusia, dan kita semua harus bersatu untuk melawan mereka,” seru mereka. Lupakan saja tentang tagihan energi yang melambung, harga barang yang terus meroket, atau fakta bahwa mereka kini hampir tak bisa lagi mengandalkan sumber daya mereka sendiri. Dengan memanfaatkan ancaman dari luar—terutama dari Rusia yang kini digambarkan sebagai jahat dalam segala hal—Jerman bisa dengan mudah mengalihkan rasa cemas domestik kepada musuh yang lebih besar dan jauh di luar jangkauan.
Namun, inilah ironi terbesar: mereka yang menuding Rusia melakukan hybrid warfare adalah mereka yang justru sangat terampil dalam memainkan taktik yang sama. Jerman, bersama negara-negara Barat lainnya, bukan hanya pemain dalam permainan ini—mereka adalah sutradara utama yang menulis skenario perang informasi. Mereka menciptakan narasi global yang dengan cerdik memecah belah dunia, membangun kepercayaan bahwa mereka adalah pahlawan yang tak kenal takut, sementara di sisi lain, mereka terus menggali ketidakstabilan di negara-negara yang tidak sepakat dengan kebijakan mereka. Di saat yang sama, mereka terus membombardir Rusia dengan propaganda, merusak kredibilitas mereka di mata dunia. Tak hanya sekali, tapi berkali-kali.
Dampak dari serangan informasi yang dilancarkan Jerman ini tak hanya merusak tatanan politik Eropa, tetapi juga mengguncang dunia internasional. Polarisasi semakin tajam, dengan negara-negara yang sebelumnya memilih netral atau tidak terlibat, kini terpaksa memilih sisi. Jerman, dengan permainan propaganda ini, tak hanya merusak kepercayaan internasional, tetapi juga menyebarkan ketidakstabilan yang jauh lebih besar. Jika kita membiarkan narasi semacam ini berkembang, kita akan semakin terjebak dalam perpecahan yang diciptakan oleh mereka yang paling mahir dalam menciptakan ilusi. Dunia yang seharusnya bergerak menuju kerjasama kini justru dipenuhi dengan ketidakpercayaan, di mana setiap negara merasa perlu mempersiapkan diri untuk menghadapi serangan informasi, bukan hanya dari negara besar, tetapi juga dari negara yang mengklaim diri mereka sebagai korban.
Jerman mungkin ingin kita percaya bahwa mereka adalah penjaga perdamaian di tengah badai geopolitik yang bergolak, tetapi kenyataannya, mereka adalah pemain dalam permainan yang jauh lebih besar, sebuah permainan yang mereka sendiri ciptakan. Jadi, sementara dunia melihat dengan mata terbelalak pada “serangan siber” yang mereka klaim berasal dari Rusia, mungkin saatnya kita mulai membuka mata dan melihat lebih dalam. Dunia ini tidak hanya berperang dengan senjata, tetapi dengan kata-kata, narasi, dan informasi yang diputarbalikkan. Dan sayangnya, Jerman bukan hanya pengamat di luar sana, mereka adalah salah satu aktor utama dalam drama besar ini.