Connect with us

Opini

Jerman Memicu Api: Provokasi NATO di Ambang Perang dengan Rusia

Published

on

Saat konflik di Eropa Timur terus membelah benua, Jerman melangkah dengan pengumuman yang mengguncang keseimbangan geopolitik: paket bantuan militer besar-besaran untuk Ukraina, mencakup kendaraan lapis baja, roket pertahanan udara, dan howitzer. Friedrich Merz, calon kanselir baru, bahkan mengisyaratkan pengiriman rudal jarak jauh Taurus, memicu peringatan keras dari Moskow. Langkah ini bukan sekadar dukungan untuk Ukraina, melainkan provokasi terbuka NATO terhadap Rusia, yang memperdalam jurang konflik dan menjauhkan harapan perdamaian.

Jerman, dengan komitmen bantuan militer senilai 28 miliar euro sejak eskalasi konflik, menunjukkan perubahan sikap dari kehati-hatian menjadi keberanian yang berbahaya. Paket terbaru mencakup kendaraan MRAP, amunisi untuk tank Leopard 2, dan sistem pertahanan udara IRIS-T SLM. Menteri Pertahanan Boris Pistorius juga mengumumkan rencana donasi 2025, termasuk empat sistem IRIS-T, 25 kendaraan tempur Marder, dan 15 tank Leopard 1A5. Namun, sorotan utama adalah potensi pengiriman rudal Taurus, yang mampu menjangkau 500 km, memungkinkan Ukraina menyerang jauh ke wilayah Rusia. Langkah ini, jika direalisasikan, akan melintasi “garis merah” yang telah lama ditegaskan Rusia.

Rusia tidak tinggal diam. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Maria Zakharova memperingatkan bahwa serangan rudal dengan bantuan Bundeswehr akan dianggap sebagai keterlibatan langsung Jerman dalam perang. Peringatan ini bukan isapan jempol. Rusia telah lama menyuarakan kekhawatiran atas ekspansi NATO ke timur, yang mereka pandang sebagai ancaman eksistensial. Sejak 1990-an, Moskow memprotes perluasan aliansi militer Barat, terutama ketika negara-negara bekas Pakta Warsawa seperti Polandia (1999) dan Baltik (2004) bergabung. Ukraina, dengan perbatasan 2.000 km dengan Rusia, adalah titik kritis. Deklarasi NATO di KTT Bukares 2008 bahwa Ukraina akan menjadi anggota aliansi memperburuk ketegangan.

Langkah Jerman harus dilihat dalam konteks sejarah panjang provokasi NATO. Pada 1990, pejabat Barat seperti Menteri Luar Negeri AS James Baker menjanjikan kepada Mikhail Gorbachev bahwa NATO tidak akan meluas “satu inci pun ke timur” jika Jerman bersatu. Janji lisan ini, meskipun tidak tertulis, menjadi dasar kepercayaan Rusia. Namun, NATO terus meluas, mengabaikan protes Rusia. Vladimir Putin, dalam pidato München 2007, mengecam ekspansi ini sebagai pelanggaran kepercayaan geopolitik. Pada Desember 2021, Rusia mengajukan rancangan perjanjian kepada NATO dan AS, menuntut penghentian ekspansi ke Ukraina dan penarikan pasukan dari Eropa Timur. Penolakan Barat memicu eskalasi yang berujung pada invasi Rusia 2022.

Pengamat independen mendukung narasi bahwa ekspansi NATO adalah akar konflik. John Mearsheimer, dalam esai 2014, menyebut krisis Ukraina sebagai “kesalahan Barat,” menyoroti bagaimana dorongan NATO ke timur dan dukungan untuk revolusi pro-Barat di Ukraina 2014 memprovokasi Rusia. Jeffrey Sachs menyebut ekspansi NATO sebagai “arogansi Barat” yang mengabaikan kekhawatiran Rusia sejak 1990-an. Noam Chomsky membandingkan situasi ini dengan skenario di mana Rusia membentuk aliansi militer di perbatasan AS—tindakan yang pasti akan memicu kemarahan Washington. Para ahli ini menegaskan bahwa Barat, dengan kekuatan yang lebih besar, memiliki tanggung jawab untuk mencegah konflik dengan menghormati peringatan Rusia.

Langkah Jerman memperkuat persepsi bahwa NATO tidak belajar dari kesalahan. Rudal Taurus, jika dikirim, akan memungkinkan Ukraina menyerang infrastruktur kritis Rusia, seperti jembatan Krimea atau pangkalan militer. Rusia telah menunjukkan kemampuan untuk membalas, baik melalui serangan konvensional, siber, atau hybrid. Pada 2022, Rusia meluncurkan lebih dari 4.000 rudal ke Ukraina, menghancurkan infrastruktur sipil. Jika NATO dianggap terlibat langsung, Rusia mungkin menargetkan fasilitas logistik di negara-negara seperti Polandia atau Jerman, memperluas perang ke Eropa. Konflik yang meluas akan menghancurkan Ukraina lebih jauh dan mengancam stabilitas Eropa.

Barat sering membenarkan tindakan mereka dengan prinsip kedaulatan Ukraina dan agresi Rusia. Mereka berargumen bahwa Ukraina berhak memilih aliansinya, dan invasi Rusia 2022 adalah tindakan tidak beralasan. Namun, argumen ini mengabaikan fakta bahwa Barat memicu ketegangan jauh sebelum invasi. Revolusi Maidan 2014, yang didukung AS dan UE, menggulingkan pemerintahan pro-Rusia di Ukraina, memicu aneksasi Krimea dan konflik Donbas. Bantuan militer Barat ke Ukraina sebelum 2022, termasuk pelatihan oleh AS dan Inggris, memperkuat militer Ukraina sebagai ancaman bagi Rusia. NATO mengetahui peringatan Rusia, tetapi memilih untuk melanjutkan ekspansi.

Langkah Jerman juga mencerminkan kontradiksi dalam narasi Barat. Mereka mengklaim mendukung perdamaian, tetapi tindakan mereka—meningkatkan bantuan militer tanpa dorongan diplomasi yang kuat—memperpanjang perang. Ukraina telah kehilangan lebih dari 400.000 tentara dan jutaan warganya mengungsi, menurut estimasi PBB. Bantuan senjata mungkin memperkuat Kyiv, tetapi juga menghancurkan negaranya lebih lanjut. Jika Jerman serius tentang perdamaian, mereka akan mendorong negosiasi, mungkin melalui mediator netral seperti Turki, daripada memicu eskalasi dengan rudal Taurus.

Lebih jauh, langkah ini melemahkan kredibilitas Barat secara global. Banyak negara di Global South—India, Tiongkok, Afrika Selatan—menolak sanksi terhadap Rusia, melihat konflik ini sebagai akibat dari ambisi hegemoni Barat. Menurut jajak pendapat Pew Research 2022, hanya 32% responden di negara-negara berkembang memandang Barat sebagai pihak yang “benar” dalam konflik ini. Dengan terus memprovokasi Rusia, Barat kehilangan relevansi sebagai penutur solusi damai, memperdalam perpecahan global.

Jerman, sebagai kekuatan ekonomi Eropa, memiliki peluang untuk memimpin de-eskalasi. Mereka bisa mendorong moratorium ekspansi NATO atau mendukung status netral untuk Ukraina, seperti Austria selama Perang Dingin. Namun, dengan memilih bantuan militer dan potensi rudal Taurus, Jerman melanggengkan siklus provokasi NATO. Rusia, yang telah memperingatkan selama beberapa dekade, mungkin merasa tidak punya pilihan selain menanggapi dengan kekerasan. Konflik yang meluas akan menjadi tragedi, tidak hanya bagi Ukraina, tetapi juga untuk Eropa dan dunia.

Langkah Jerman bukan sekadar dukungan untuk Ukraina, melainkan kelanjutan dari strategi NATO yang gagal memahami realitas geopolitik. Dengan mengabaikan peringatan Rusia, Barat—dipimpin oleh langkah seperti ini—mendorong dunia menuju jurang perang yang lebih luas. Perdamaian hanya mungkin jika NATO mengakui kesalahannya dan membuka dialog dengan Rusia. Sampai itu terjadi, langkah Jerman akan tetap menjadi nyala api yang membakar harapan damai.

Sumber:

  1. (2025). “Germany announces new military aid package for Ukraine.” https://www.rt.com/news/616031-germany-new-military-aid-package-ukraine/
  2. Mearsheimer, J. (2014). “Why the Ukraine Crisis Is the West’s Fault.” Foreign Affairs.
  3. Sachs, J. (2022). “The West’s False Narrative About Russia and Ukraine.” Project Syndicate.
  4. Chomsky, N. (2022). Interview on Democracy Now! about NATO expansion and Ukraine.
  5. Pew Research Center. (2022). “Global Attitudes Toward Russia and Ukraine Conflict.”
  6. (2008). “Bucharest Summit Declaration.”
  7. United Nations. (2023). “Ukraine: Civilian Casualty Update.”
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *