Opini
Jerman Kirim Miliaran Euro, Apa Taruhannya?

Berlin akan mengucurkan tambahan €5 miliar (sekitar Rp87 triliun) untuk bantuan militer kepada Kiev—menambah €28 miliar (sekitar Rp487 triliun) yang telah digelontorkan sejak pecahnya konflik Ukraina pada awal 2022. Kementerian Pertahanan Jerman mengumumkan hal ini dengan nada tegas, seolah ingin menegaskan komitmen kuat terhadap pertahanan Eropa. Namun, di balik angka-angka fantastis itu, tersimpan kegelisahan mendalam: sebuah perang yang kian jauh dari titik akhir, jutaan nyawa yang terus terancam, dan bayang-bayang ketidakstabilan yang semakin merayap di jantung Eropa.
Sebagai negara ekonomi terbesar di Eropa yang kini tengah menghadapi perlambatan, Jerman memilih jalur yang penuh tantangan—mengokohkan dukungan terhadap Ukraina, bukan hanya dengan suplai senjata jarak jauh dan amunisi, tapi juga dengan pembangunan kapasitas produksi militer langsung di wilayah Ukraina. Langkah ini bukan sekadar bantuan, melainkan investasi strategis dalam kelanjutan perang. Namun, Moskow memperingatkan: keterlibatan ini bisa menyeret Jerman menuju “kehancuran.” Retorika yang menakutkan, tetapi tidak dapat diabaikan begitu saja.
Sebagai pengamat yang prihatin dan berpikir kritis, saya memandang langkah Jerman ini sarat ambivalensi—antara keberanian dan pertaruhan besar. Menurut laporan RT.com tertanggal 31 Mei 2025, total bantuan mencapai €33 miliar (sekitar Rp574 triliun) sejak 2022, menjadikan Jerman penyumbang terbesar kedua setelah Amerika Serikat. Dana ini diklaim akan membiayai produksi sistem senjata jarak jauh, amunisi, dan peralatan medis. Dalam pertemuan di Berlin, Menteri Pertahanan Jerman Boris Pistorius, bersama Menteri Pertahanan Ukraina Rustem Umerov dan Presiden Volodymyr Zelensky, menandatangani kesepakatan kerja sama pertahanan. Senjata yang diproduksi di Ukraina ini, menurut laporan, akan segera digunakan—tanpa pelatihan tambahan.
Langkah ini jelas strategis. Tapi juga membawa pesan kuat: perang akan terus berlanjut. Ini bukan sekadar bentuk solidaritas, melainkan bentuk keterlibatan aktif dalam menciptakan daya tempur baru bagi Ukraina. Maka, kita patut bertanya: apakah tujuan akhirnya adalah perdamaian, atau justru perpanjangan konflik?
Dana tambahan €5 miliar (sekitar Rp87 triliun) itu mencakup berbagai jenis bantuan: amunisi untuk sistem pertahanan udara, senjata ringan, hingga logistik medis. Yang menarik, Kanselir Friedrich Merz menyatakan bahwa produksi bersama senjata jarak jauh akan dilakukan tanpa batasan jangkauan, memberi lampu hijau bagi Ukraina untuk menyerang target di luar wilayahnya. Ini sinyal provokatif. Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Lavrov, langsung menanggapi dengan keras, menuding Jerman telah terlibat langsung dalam perang, dan memperingatkan bahwa negara itu tengah “meluncur ke jurang yang sama” seperti pada Perang Dunia I dan II.
Pernyataan Lavrov memang sarat propaganda, namun tetap menyentuh sisi historis yang sensitif bagi bangsa Eropa. Kita di Indonesia pun bisa merasakan ketegangan ini. Sebagai negara yang pernah merasakan dampak penjajahan dan perang, kita memahami bahwa eskalasi militer bukan sekadar urusan geopolitik, melainkan soal nyawa dan masa depan umat manusia.
Data dari Kiel Institute for the World Economy (2024) menunjukkan Jerman menempati posisi kedua di Eropa dalam hal bantuan militer ke Ukraina. Tapi bantuan miliaran euro itu datang di tengah proyeksi pertumbuhan ekonomi yang lesu—PDB Jerman diperkirakan tumbuh kurang dari 1% pada 2025. Krisis energi pasca-sanksi terhadap Rusia terus membebani industri dan rumah tangga. Kita di Indonesia pun turut terdampak: sejak 2022, harga pangan dan bahan bakar melonjak akibat rantai pasok global yang terganggu.
Namun, Jerman tampaknya tak mundur. Mengapa? Bisa jadi karena Ukraina dianggap sebagai benteng terakhir Eropa Timur. Bila Rusia menang, ancaman dinilai bisa menyebar ke Polandia, negara Baltik, dan bahkan menguji batas pertahanan NATO. Sebagai pilar Uni Eropa, Jerman merasa bertanggung jawab. Tapi tanggung jawab ini datang dengan beban politik dan sosial yang tidak ringan. Inflasi, ketidakpastian energi, serta ketegangan domestik bisa menjadi harga mahal atas kebijakan luar negeri ini.
Reaksi Rusia patut dicermati lebih dalam. Lavrov menilai bahwa bantuan senjata dari Barat tak akan mengubah tujuan strategis Moskow. Justru, menurut Kremlin, bantuan semacam ini memperpanjang perang dan menutup peluang diplomatik. Proses damai yang dimediasi AS pun disebut-sebut terancam kembali buntu. Kita di Indonesia tahu betapa krusialnya jalan diplomasi—seperti yang kita lihat dalam penyelesaian konflik Aceh melalui dialog yang sulit tapi berhasil.
Melihat Ukraina hari ini, kita menyaksikan tragedi yang memedihkan: jutaan orang mengungsi, kota-kota berubah jadi puing, dan masa depan generasi muda yang tertunda. Maka, muncul pertanyaan: apakah investasi dalam senjata jarak jauh akan membawa jalan keluar, atau justru menambah bara dalam bara?
Jerman mungkin berharap, dengan membangun kapasitas produksi di Ukraina, mereka tak hanya membantu perang, tapi juga memperkuat ekonomi lokal dan industri pertahanan mereka sendiri. Namun, jika Ukraina kalah atau terpaksa berkompromi secara besar-besaran, investasi ini bisa hilang tanpa hasil. Krisis pengungsi bisa kembali melanda Eropa—seperti tahun 2022, ketika jutaan orang lari dari Ukraina. Indonesia pun pernah mengalami beban kemanusiaan serupa, seperti saat menerima gelombang pengungsi Vietnam pascaperang di era 1970-an.
Dan jika perdamaian akhirnya tercapai, dalam bentuk apa ia hadir? Apakah Ukraina harus menyerahkan wilayahnya? Apakah Rusia akan menghentikan agresinya, atau justru merasa dibenarkan? Dan bagaimana posisi NATO dan Uni Eropa jika Ukraina gagal bertahan?
Dari sudut pandang kita di Indonesia, perang bukan hanya soal kekuatan militer, tapi juga soal kelangsungan hidup sehari-hari. Sejak 2022, harga beras, bahan bakar, hingga biaya logistik meningkat karena konflik yang terjadi ribuan kilometer dari sini. Maka kita pun punya kepentingan untuk mendorong penyelesaian yang adil dan damai.
Kembali ke pertanyaan dasar: apakah ini perang antara NATO dan Rusia dengan Ukraina sebagai proksi? Jika melihat aliran senjata, pelatihan, dan dana miliaran euro yang mengalir, sulit untuk mengabaikan dugaan itu. Namun, penting pula untuk mengakui bahwa Ukraina memang berjuang mempertahankan tanah airnya dari invasi. Rakyatnya memperlihatkan keteguhan yang luar biasa. Tapi berapa lama daya tahan itu bisa bertahan, jika perdamaian tak juga dirintis?
Mari kita berpikir jernih. Keputusan Jerman ini adalah pertaruhan besar atas nama stabilitas Eropa. Tapi stabilitas tidak akan datang dari deru senjata semata. Justru, bila jalur diplomasi terus terpinggirkan, perang ini bisa menjadi luka yang terus membesar. Anak-anak Ukraina, seperti anak-anak di Jakarta, Aceh, atau Berlin, punya harapan yang sama: hidup dalam damai.
€33 miliar (sekitar Rp574 triliun), puluhan sistem senjata, amunisi tanpa batas jangkauan—semua ini mungkin efektif secara militer. Namun, dunia sedang menahan napas. Kita, dari Berlin hingga Jakarta, layak bertanya: apakah benar senjata akan mengantar pada damai, atau justru menunda luka yang lebih dalam?