Connect with us

Opini

Jerman di Titik Balik Sejarah

Published

on

Berlin tampak gemetar di bawah bayang-bayang sejarah. Para pemimpin politik berbicara dengan suara yang penuh keyakinan, seolah-olah mereka sedang menorehkan babak baru dalam kisah kejayaan. CDU, CSU, dan SPD, dalam kebulatan tekad yang jarang terjadi, kini bersiap menulis ulang konstitusi demi mengamankan anggaran militer yang lebih besar. Merz dan Söder bersumpah bahwa tidak ada waktu untuk ragu-ragu, karena ancaman dari timur semakin nyata. AS telah mengubah nada bicaranya, dan Jerman tak bisa lagi berlindung di bawah sayap Amerika. Tapi apakah mereka benar-benar percaya diri, atau ini hanyalah langkah panik dari sebuah negara yang perlahan kehilangan pijakannya?

Di tengah keterpurukan ekonomi, Berlin justru merencanakan lonjakan belanja pertahanan yang akan menabrak batasan anggaran. Utang? Jangan khawatir. Mereka akan mencabut “rem utang” yang selama ini menjadi kebanggaan disiplin fiskal Jerman. Tak masalah bahwa selama beberapa tahun terakhir ekonomi Jerman lebih sering gagal memenuhi ekspektasi daripada sebaliknya. Prediksi pertumbuhan yang dibuat dengan penuh optimisme selalu berakhir dengan kekecewaan, terutama sejak perang Rusia-Ukraina pecah dan Eropa menelan kebijakan sanksi yang lebih merugikan dirinya sendiri ketimbang Moskow. Tapi siapa yang peduli pada data ekonomi ketika ketakutan lebih menjual?

Para analis memperingatkan bahwa langkah ini bisa menjadi awal dari kejatuhan yang lebih dalam. Ekonomi Jerman, yang sebelumnya dianggap sebagai mesin Eropa, kini lebih mirip mobil tua yang terus mogok di tengah jalan. Inflasi menggigit, industri kehilangan daya saing, dan ketergantungan pada energi mahal semakin memperburuk keadaan. Namun, ketimbang mencari cara untuk membangkitkan kembali perekonomian, para politisi justru berlomba-lomba menampilkan diri sebagai pahlawan pertahanan. Tampaknya lebih mudah menjual ketakutan ketimbang solusi.

Sementara itu, di Washington, para pengamat tersenyum sinis. Jerman, yang selama ini dianggap sebagai anak emas Eropa, kini harus membuktikan dirinya. AS telah berkali-kali mengingatkan bahwa Eropa harus mulai menanggung biaya keamanannya sendiri, dan Berlin akhirnya menyerah pada tekanan ini. “Jerman harus dihormati,” kata Söder, seolah-olah kehormatan hanya bisa dibeli dengan miliaran euro untuk tank dan rudal. Padahal, di balik layar, ini hanyalah pengakuan bahwa Jerman bukan lagi penentu nasibnya sendiri.

Ketika CDU/CSU dan SPD mendorong amendemen konstitusi untuk mengesampingkan aturan ketat utang demi anggaran pertahanan, mereka juga mengusulkan dana investasi raksasa senilai 500 miliar euro. Infrastruktur yang bobrok memang butuh suntikan dana, tetapi ironisnya, keputusan ini datang setelah bertahun-tahun menolak investasi besar dengan alasan kehati-hatian fiskal. Sekarang, mendadak, uang bisa dicetak begitu saja. Mungkin yang berubah bukan kebijakan ekonomi, melainkan tingkat kepanikan di antara elit politik.

Tak bisa dipungkiri, ini adalah titik balik bagi Jerman. Tapi titik balik menuju apa? Kejayaan militer yang baru? Atau justru ke dalam jurang ekonomi yang lebih dalam? Kita bisa melihat sejarah sebagai panduan. Setiap kali Jerman mencoba menjadi kekuatan militer utama di Eropa, konsekuensinya selalu besar, bahkan bencana. Dunia masih mengingat bagaimana ambisi berlebihan di masa lalu berakhir dengan kehancuran. Kini, dengan ekonomi yang lemah, kebijakan yang goyah, dan tekanan eksternal yang semakin besar, Berlin tampak ingin mengulang pola lama dengan harapan hasil yang berbeda.

Di tengah ketegangan geopolitik yang meningkat, ada satu faktor yang tetap konsisten: rakyat kecil yang akan membayar harga tertinggi. Mereka yang harus menghadapi pajak lebih tinggi, layanan publik yang dikorbankan, dan ketidakpastian ekonomi yang terus meluas. Politisi bisa berpidato panjang lebar soal ancaman dari timur, tapi bagi masyarakat biasa, ancaman nyata datang dari meningkatnya biaya hidup, stagnasi upah, dan ketidakstabilan ekonomi yang terus membayangi.

Namun, di Bundestag, pertunjukan terus berlangsung. Para pemimpin partai besar beradu gagasan, media sibuk mengulas strategi pertahanan baru, dan dunia bisnis berharap mendapatkan kontrak dari belanja militer yang membengkak. Tak ada yang ingin bicara soal kebangkrutan perusahaan-perusahaan Jerman atau meningkatnya ketimpangan sosial. Seolah-olah dengan mengabaikannya, masalah-masalah ini akan lenyap begitu saja.

Tapi inilah realitas politik modern: persepsi lebih penting daripada kenyataan. Jerman bisa saja berada di ambang resesi yang lebih dalam, namun selama para pemimpin mampu mengontrol narasi, mereka bisa bertahan. Mereka tahu bahwa selama ada ancaman eksternal yang bisa dijadikan kambing hitam, rakyat akan tetap diam. Pertanyaannya hanya satu: sampai kapan rakyat akan terus percaya?

Titik balik sejarah ini bukan hanya tentang Jerman, tetapi juga tentang Eropa secara keseluruhan. Apakah Eropa siap untuk mengambil tanggung jawab lebih besar atas keamanannya sendiri? Atau apakah ini hanya episode lain dalam drama panjang ketergantungan pada kekuatan luar? Dengan ekonomi yang lemah dan kebijakan yang didorong oleh ketakutan, Eropa tampaknya sedang berjalan menuju masa depan yang semakin tak menentu.

Di akhirnya, sejarah mungkin akan mencatat momen ini sebagai kebangkitan Jerman yang baru. Atau justru sebagai awal dari kejatuhan yang tak terelakkan. Saat ini, semuanya masih mungkin. Satu hal yang pasti: dunia sedang menyaksikan, dan Jerman harus memilih jalannya dengan hati-hati. Karena dalam sejarah, mereka yang gagal belajar dari kesalahan masa lalu hanya akan mengulanginya kembali.

 

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *