Connect with us

Opini

Jerman dan Ujian Kekuatan di Abad Ketakpastian

Published

on

Ketika dunia masih bergulat dengan krisis berlapis—dari perang yang tak kunjung usai, perubahan iklim yang kian nyata, hingga ekonomi global yang limbung—sebuah pernyataan dari pusat kekuatan Eropa menggema melampaui batas benua. Friedrich Merz, pemimpin baru Jerman yang dilantik sebagai kanselir pada 6 Mei 2025, berdiri di depan Bundestag dan melontarkan janji yang tak biasa untuk telinga Eropa modern: menjadikan Bundeswehr sebagai “tentara konvensional terkuat di Eropa.” Pernyataan itu tak hanya menandai arah baru bagi Jerman, tapi juga menjadi pertanda bahwa Eropa sedang bersiap menghadapi masa depan yang lebih keras, lebih bersenjata.

Janji Merz disampaikan hanya delapan hari setelah ia resmi menjabat. Kalimat-kalimatnya, seperti dilaporkan oleh DW, bukan sekadar retorika kampanye. Ia berbicara dalam konteks yang sangat berbeda dari tradisi pasifisme Jerman pasca-Perang Dunia II. Sejak 1945, negeri itu cenderung menahan diri dalam urusan militer, lebih memilih jalur diplomasi dan rekonsiliasi. Tapi dunia telah berubah. Invasi Rusia ke Ukraina sejak 2022 menjadi pemicu besar. Dalam pidatonya, Merz menegaskan: “Kekuatan mencegah agresor, sementara kelemahan mengundang agresi.” Sebuah prinsip klasik dalam doktrin keamanan, tapi terdengar baru bagi rakyat Jerman.

Situasi Bundeswehr saat ini memang jauh dari ideal. Meski memiliki anggaran sebesar €50 miliar pada 2024, militer Jerman digambarkan oleh Eva Högl, komisaris parlemen untuk militer, sebagai kekuatan yang “kekurangan segalanya”—dari kendaraan tempur hingga jumlah personel. Bundeswehr hanya memiliki sekitar 180.000 prajurit aktif, masih jauh dari target resmi sebanyak 203.000. Kelemahan ini bukan rahasia, dan Merz, yang dikenal pragmatis, tentu menyadari tantangan logistik dan finansial untuk mencapai ambisinya. Tapi justru di situlah letak keberanian politiknya: menawarkan visi kekuatan di tengah kondisi rapuh.

Ukraina menjadi latar penting dalam transformasi ini. Perang yang berlangsung lebih dari tiga tahun telah mengubah persepsi keamanan regional. Bagi Merz, konflik itu bukan hanya soal pertarungan Kyiv melawan Moskwa. Ia menyebut bahwa “apa yang dipertaruhkan di Ukraina adalah tatanan perdamaian seluruh benua kita.” Jerman pun bukan sekadar penonton. Negara itu menjadi salah satu pendonor militer terbesar untuk Ukraina, mengalokasikan €3 miliar bantuan pada 2025. Namun, Merz juga menegaskan garis merah: “Kami bukan pihak dalam perang, dan kami tidak ingin menjadi pihak.” Ini adalah paradoks kebijakan luar negeri: ingin terlibat, tapi tak ingin tenggelam.

Selain ancaman dari timur, Jerman juga menghadapi tekanan dari barat. Amerika Serikat, di bawah kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih, kembali mendorong sekutu NATO untuk meningkatkan kontribusi pertahanan. Target 2% dari PDB bukan lagi sekadar himbauan, melainkan tuntutan. Jerman akhirnya mencapainya pada 2024, tapi Merz ingin lebih. Ia tidak ingin negaranya hanya menjadi dompet Eropa, melainkan juga menjadi tamengnya. Ini perubahan fundamental dalam posisi strategis Jerman, yang selama ini lebih memilih peran ekonomi daripada militer.

Namun, semua ambisi ini tentu tidak tanpa risiko. Salah satu tantangan terbesar datang dari dalam negeri. Ekonomi Jerman, mesin penggerak Eropa, mulai menunjukkan gejala kelelahan. Inflasi, tingginya biaya energi, serta tekanan kompetitif dari Tiongkok membuat banyak perusahaan besar—termasuk Volkswagen—mengencangkan ikat pinggang. Di sisi lain, kebutuhan anggaran untuk memperkuat Bundeswehr tidak kecil. Jika ditotal dalam jangka panjang, bisa mencapai ratusan miliar euro. Ini membuka kemungkinan terjadinya pemotongan belanja sosial atau peningkatan pajak, sesuatu yang sangat sensitif di negara demokrasi maju seperti Jerman.

Masalahnya, rakyat Jerman belum tentu sepenuhnya menerima arah baru ini. Trauma sejarah masih membekas. Militerisme adalah momok yang pernah membawa negara itu pada kehancuran. Meski generasi berganti, memori kolektif tidak mudah dilenyapkan. Partai Hijau, yang punya kekuatan besar di parlemen, kemungkinan menentang alokasi dana besar untuk sektor militer, karena mengutamakan transisi energi hijau dan keadilan sosial. Di jalan-jalan, protes soal biaya hidup terus terjadi. Dalam suasana seperti ini, upaya Merz membentuk konsensus nasional tentang keamanan bisa menjelma menjadi pertaruhan politik.

Isu ini juga membawa implikasi luas bagi Eropa. Peningkatan kapasitas Bundeswehr bisa memperkuat pertahanan kolektif Uni Eropa dan NATO, tetapi di sisi lain juga bisa memicu ketidakseimbangan regional. Polandia, yang sudah mengalokasikan 4% dari PDB untuk militer, bisa merasa tersaingi. Prancis, yang punya ambisi kuat dalam hal otonomi strategis Eropa, mungkin melihat langkah Jerman ini sebagai ancaman terhadap perannya. Bahkan proyek pertahanan bersama UE seperti FCAS (Future Combat Air System) atau MGCS (Main Ground Combat System) bisa terganggu jika Jerman terlalu fokus pada penguatan nasional.

Dari luar benua, Rusia tentu tidak tinggal diam. Merz menyatakan, “Siapa pun yang berpikir Rusia puas dengan Ukraina, salah besar.” Pernyataan ini mencerminkan kekhawatiran bahwa Moskwa punya ambisi lebih jauh, mungkin ke Baltik atau Balkan. Respons Rusia bisa datang dalam bentuk provokasi militer, serangan siber, atau tekanan energi seperti yang pernah mereka lakukan pada musim dingin sebelumnya. Ketergantungan Eropa pada gas—meski telah berkurang—masih menjadi titik lemah. Dunia sedang bergerak ke arah multipolar yang lebih penuh konflik, dan Merz tampaknya ingin Jerman tidak hanya menyesuaikan diri, tapi memimpin respons.

Di Indonesia, isu ini tampak jauh. Tapi dalam dunia global yang saling terhubung, dinamika keamanan di Eropa bisa mempengaruhi kita dalam banyak cara. Perdagangan global, harga energi, hingga stabilitas politik kawasan—semuanya bisa terdampak. Lebih dari itu, kebijakan Merz menyoroti dilema klasik yang juga kita hadapi: bagaimana membangun kekuatan nasional tanpa mengorbankan kesejahteraan rakyat? Bagaimana memastikan pertahanan yang memadai tanpa menumbuhkan ketakutan atau mengulang sejarah kelam?

TNI, seperti Bundeswehr, adalah simbol kekuatan negara. Namun kita juga tahu tantangan membangunnya: anggaran yang terbatas, kebutuhan modernisasi yang besar, dan tuntutan masyarakat untuk prioritas sosial lainnya. Merz, dalam versinya sendiri, sedang menghadapi dilema yang mirip. Ia punya visi: Jerman yang kuat agar tak perlu berperang. Tapi seperti banyak hal dalam sejarah, niat baik tak selalu sejalan dengan kenyataan politik. Dunia seringkali memberi dua pilihan buruk, bukan satu pilihan ideal.

Apa yang kita lihat di Berlin hari ini adalah potret dari dunia yang sedang berubah cepat, kadang terlalu cepat untuk bisa dicerna sepenuhnya. Merz mewakili gelombang pemimpin baru yang mencoba menjawab tantangan masa depan dengan bahasa yang lebih tegas, lebih militeristik. Apakah ini langkah yang benar? Hanya waktu yang bisa menjawab. Tapi satu hal pasti: pertarungan antara idealisme dan realitas terus berlangsung, bukan hanya di Eropa, tapi juga di mana-mana, termasuk di Indonesia.

Kita, sebagai pengamat dari kejauhan, patut merenung. Bukan karena kita ingin meniru, tapi karena kita juga harus bersiap. Dunia yang lebih keras sedang datang—dengan atau tanpa kita bersiap. Dalam suasana seperti ini, damai tak datang dengan sendirinya. Ia harus dirawat, dijaga, dan—kadang kala—dilindungi dengan kekuatan. Pertanyaannya, seperti yang mungkin juga menghantui Merz malam-malam ini: apakah kita siap menanggung biayanya?

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *