Opini
Jerman dan Prancis: ‘Diplomasi Energi’ di Balik Suriah

Suriah, 2025. Nama Bashar al-Assad sudah menjadi kenangan, dan kini, dunia Barat bersolek di hadapan de facto penguasa baru, Ahmed al-Sharaa, alias Abu Mohammed al-Julani—yang dulunya merupakan musuh bersama dalam daftar panjang teroris dunia. Ya, Anda tidak salah dengar, ini adalah tokoh yang dulu dianggap musuh nomor satu dalam perang melawan terorisme, kini duduk di meja perundingan dengan para diplomat Eropa. Semuanya demi satu hal yang lebih mulia daripada demokrasi atau hak asasi manusia: gas, minyak, dan tentu saja, sebuah solusi energi untuk menghidupi Eropa.
Mari kita hadapi kenyataan: Jerman dan Prancis, yang sebelumnya menjauhkan diri dari Suriah dengan alasan kemanusiaan dan anti-terorisme, kini bersikap seolah-olah mereka baru saja menemukan tambang emas di tengah gurun pasir. Dalam perjalanan mereka yang baru-baru ini menggetarkan dunia internasional, Menteri Luar Negeri Jerman, Annalena Baerbock, dan rekan Prancis-nya, Jean-Noel Barrot, terbang ke Damaskus untuk menemui al-Julani—yang lebih terkenal dengan Hubungan Al-Qaeda-nya—dengan senyum manis dan niat mulia. Mereka berbicara tentang “transisi damai” dan “inklusi etnis”, namun tidak ada yang mengelak bahwa di balik itu semua ada satu tujuan utama: mencari cara untuk mendapatkan aliran energi yang lebih stabil pasca kehilangan gas Rusia.
Apakah kita benar-benar percaya bahwa perjalanan ini adalah tentang perdamaian? Atau apakah ini sekadar pencarian energi yang lebih aman, mengingat krisis energi yang menghantui Eropa pasca perang Ukraina? Mungkin dunia Barat ingin kita percaya bahwa mereka mengutamakan “kesejahteraan rakyat Suriah”, namun tidak ada yang lebih menggairahkan mereka selain melihat “reservoir energi” yang bisa dikuasai oleh mereka melalui Syrian Democratic Forces (SDF)—atau jika perlu, dengan bantuan teman baru mereka, Hay’at Tahrir al-Sham (HTS). Alih-alih menggali pertanyaan tentang apa yang terjadi pada warga Suriah yang terjebak dalam perang saudara selama bertahun-tahun, mereka memilih untuk berbicara tentang konstitusi baru yang harus dihadirkan dalam waktu tiga tahun. Sementara itu, ratusan ribu orang terus menderita, dan ribuan lainnya hilang begitu saja.
Baerbock dan Barrot mungkin percaya bahwa mereka sedang melakukan pekerjaan mulia, memperjuangkan hak-hak minoritas di Suriah. Namun, ironisnya, mereka berbicara tentang “penolakan terhadap tindakan balas dendam” sementara mereka melupakan satu hal: Mereka sedang berusaha mendekati seorang pemimpin yang pernah menabur kebencian tanpa ampun, yang sekarang berusaha mendeklarasikan dirinya sebagai penyelamat dunia. Apakah mungkin “moderasi” yang mereka harapkan akan muncul dari sebuah kelompok yang selama bertahun-tahun dikenal karena kedekatannya dengan kelompok ekstremis?
Kita juga harus merenungkan apakah Eropa benar-benar tidak tahu betapa besar kontradiksi dalam kebijakan mereka. Sebelumnya, al-Julani dan HTS dihadapkan sebagai monster yang perlu diberantas. Sekarang, mereka hadir di panggung internasional, dikenalkan sebagai “pemimpin yang mungkin bisa diandalkan”. Ini mirip dengan mendukung penjaga kebun binatang yang dulu menghancurkan rumah Anda, hanya untuk mendapatkan akses ke hasil kebunnya. Seolah-olah semua omong kosong tentang hak asasi manusia, etika, dan keadilan hanya relevan ketika ada keuntungan yang cukup besar untuk mereka.
Apa yang terjadi di Sednaya Prison, yang disaksikan Baerbock, hanyalah sampel kecil dari penderitaan yang telah terjadi di Suriah. Tapi meskipun di sana terlihat begitu banyak kekejaman, Baerbock berbicara tentang “mekanisme akuntabilitas” dan “proses penyembuhan”. Benar, mungkin itu akan berhasil—tapi tentu saja jika yang terpenting bagi mereka adalah menenangkan hati nurani sambil duduk nyaman di ruang rapat dengan al-Julani yang mengincar kekuasaan dan kontrol sumber daya.
Akhirnya, apakah Eropa sebenarnya percaya bahwa mereka sedang membantu Suriah menuju “negara yang berfungsi” atau apakah mereka hanya membantu menciptakan sistem di mana mereka bisa mendapatkan akses ke sumber daya Suriah melalui al-Julani dan SDF, yang telah mereka pelihara selama ini? Tentu saja, dalam dunia diplomasi ini, tidak ada yang benar-benar suka berurusan dengan masalah kecil seperti “hak asasi manusia” jika yang dibicarakan adalah gas dan minyak. Mungkin yang kita lihat hanyalah sekelompok negara besar yang berusaha mencari jalan keluar dari krisis energi mereka dengan cara yang paling strategis, mengabaikan moralitas demi keuntungan. Jangan heran jika kita nanti melihat Suriah yang “berfungsi” menjadi ladang energi, tapi bukan untuk rakyat Suriah—melainkan untuk mereka yang menungganginya.