Opini
Jerman dan Narasi Ancaman: Antara Kesiapsiagaan dan Propaganda

Pemerintah Jerman tengah mempersiapkan diri menghadapi skenario yang sebelumnya dianggap mustahil: serangan langsung dari Rusia dalam empat tahun ke depan. Ralph Tiesler, kepala Badan Perlindungan Sipil dan Bantuan Bencana Federal Jerman (BBK), memperingatkan bahwa negara dengan ekonomi terbesar di Eropa ini belum cukup siap menghadapi konflik besar. Dalam wawancara dengan harian Süddeutsche Zeitung, ia menekankan perlunya pembangunan cepat jaringan bunker dan tempat perlindungan sipil. Mulai dari terowongan bawah tanah, stasiun metro, garasi bawah tanah, hingga ruang bawah tanah gedung-gedung publik diminta untuk segera dioptimalkan.
Kekhawatiran ini jelas mencerminkan trauma sejarah Eropa, terutama Perang Dunia II dan Perang Dingin, serta ketegangan geopolitik yang meningkat akibat invasi Rusia ke Ukraina. Namun, di balik kesiapan ini, muncul pertanyaan yang tak kalah penting: benarkah ancaman itu nyata dan mendesak? Ataukah ini adalah bagian dari narasi yang dibangun untuk membenarkan kebijakan pemerintah yang membebani rakyat secara ekonomi?
Gejolak Ekonomi dan Beban Warga Jerman
Kondisi ekonomi Jerman dalam beberapa tahun terakhir telah mengalami tekanan berat. Sejak pecahnya perang di Ukraina, Jerman sebagai negara yang sangat tergantung pada gas alam dari Rusia harus menghadapi kenaikan harga energi secara drastis. Sanksi ekonomi terhadap Rusia menyebabkan pasokan gas terhenti, dan hal ini berdampak luas terhadap biaya produksi industri, harga listrik, dan tentunya pengeluaran rumah tangga. Inflasi tahunan Jerman sempat menyentuh angka 7,9 persen pada tahun 2022—angka tertinggi dalam tujuh dekade terakhir.
Untuk meredam tekanan ekonomi tersebut, pemerintah Jerman telah mengeluarkan paket bantuan sebesar 65 miliar euro untuk membantu rumah tangga menghadapi lonjakan harga kebutuhan pokok, terutama energi. Namun bagi banyak warga, bantuan itu terasa tidak cukup untuk mengimbangi naiknya harga sewa, bahan makanan, dan tarif transportasi umum. Dalam situasi seperti ini, pemerintah justru mengumumkan rencana penguatan pertahanan sipil dengan biaya tambahan miliaran euro.
Rencana tersebut mencakup pembangunan tempat perlindungan bagi satu juta warga. Saat ini, hanya sekitar 580 dari 2.000 bunker era Perang Dingin yang masih bisa difungsikan, dengan kapasitas menampung kurang dari 0,5% dari total populasi Jerman yang mencapai 84 juta jiwa. Pemerintah menargetkan pembangunan tempat perlindungan untuk 1 juta orang, namun ini tetap berarti 83 juta orang lainnya belum terlindungi. Untuk mencapai tujuan ini, dibutuhkan dana sekitar €10 miliar dalam empat tahun pertama, dan hingga €30 miliar dalam satu dekade. Ini tentu bukan angka yang kecil, terutama saat ekonomi nasional sedang tidak dalam kondisi prima.
Sebagai perbandingan, Finlandia memiliki 50.000 ruang perlindungan yang mampu menampung hingga 85% dari populasi negaranya. Tapi kondisi geopolitik Finlandia dan sejarah militernya berbeda dari Jerman. Maka pertanyaan muncul: apakah Jerman benar-benar menghadapi ancaman yang sama seriusnya?
Motif Politik di Balik Narasi Ancaman
Menurut hemat saya, langkah pemerintah Jerman tidak semata-mata dilandasi oleh kepentingan pertahanan sipil atau perlindungan rakyat. Tampaknya ada motif politik yang lebih dalam. Saya melihat upaya ini sebagai bagian dari strategi komunikasi pemerintah untuk membenarkan terus mengalirnya dana dan senjata ke Ukraina. Dengan membangun narasi bahwa Rusia bisa menyerang Jerman dalam waktu dekat, pemerintah ingin membentuk opini publik agar menerima kenyataan bahwa miliaran euro digunakan untuk konflik di luar negeri, sementara warga sendiri menghadapi kesulitan ekonomi.
Jika rakyat diyakinkan bahwa mereka berada dalam bahaya yang sama seperti Ukraina, maka mereka akan lebih mudah menerima pengeluaran besar untuk militer dan bantuan luar negeri. Ini adalah bentuk legitimasi melalui ketakutan. Di tengah ketidakpuasan masyarakat terhadap kondisi ekonomi, narasi ancaman bisa menjadi alat yang efektif untuk menyatukan opini publik dan meredam kritik.
Padahal, fakta di lapangan menunjukkan bahwa Rusia belum pernah menyerang negara anggota NATO secara langsung, meskipun Jerman, Polandia, dan beberapa negara lainnya terang-terangan mendukung Ukraina. Rusia memang melakukan invasi besar ke Ukraina, namun belum ada indikasi kuat bahwa Moskow berniat memperluas serangan ke wilayah Uni Eropa atau NATO.
Ini mengingatkan pada dinamika konflik Rusia-Georgia pada 2008. Ketika itu, Rusia mendukung separatis di Abkhazia dan Ossetia Selatan, namun tidak berlanjut ke pendudukan ibu kota Tbilisi. Begitu juga dengan Ukraina, meskipun Rusia menganeksasi empat wilayah dan mengakui mereka sebagai bagian dari Federasi Rusia, mereka tidak mengambil alih Kyiv secara penuh atau menggulingkan pemerintahan Presiden Zelenskyy. Maka dari itu, sulit dibayangkan bahwa Rusia secara tiba-tiba akan menginvasi Jerman dalam waktu empat tahun ke depan.
Ketegangan Internal dan Potensi Politik Dalam Negeri
Langkah-langkah pemerintah Jerman juga tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik domestik. Di tengah menurunnya kepercayaan terhadap partai-partai besar seperti CDU dan SPD, serta meningkatnya suara untuk partai Alternatif untuk Jerman (AfD), pemerintah mungkin merasa perlu untuk menciptakan narasi ancaman eksternal. Ini bisa memperkuat posisi mereka sebagai pelindung rakyat Jerman dan menegaskan bahwa negara harus bersatu menghadapi ancaman dari luar.
Namun, jika strategi ini gagal, bisa jadi malah memperkuat partai-partai oposisi yang menuduh pemerintah membuang-buang anggaran negara demi konflik asing. Ketidakpuasan warga terhadap kebijakan ekonomi dan keterlibatan dalam konflik Ukraina bisa menjadi senjata ampuh bagi oposisi dalam pemilu mendatang.
Relevansi untuk Indonesia
Meskipun Indonesia tidak berada di garis depan konflik global seperti Eropa, kita bisa mengambil pelajaran dari situasi ini. Di era informasi saat ini, narasi ancaman bisa dibentuk dan disebarluaskan secara cepat untuk membentuk opini publik dan mengarahkan kebijakan. Kita perlu lebih kritis terhadap setiap langkah pemerintah, terutama jika langkah tersebut melibatkan anggaran besar dan dampaknya langsung dirasakan rakyat kecil.
Bayangkan jika pemerintah Indonesia tiba-tiba mengumumkan pembangunan bunker di seluruh kota besar, dengan dalih mengantisipasi konflik regional. Tanpa penjelasan yang masuk akal dan transparan, tentu publik akan mempertanyakan urgensi dan efektivitas kebijakan semacam itu. Rakyat tidak boleh hanya dijadikan objek dari narasi ketakutan, tapi harus dilibatkan secara sadar dalam perumusan kebijakan.
Penutup
Kesiapsiagaan adalah hal yang penting, namun ia tidak boleh dijadikan dalih untuk membenarkan segala bentuk pengeluaran yang membebani rakyat. Rencana pembangunan bunker dan narasi ancaman Rusia yang dilontarkan pemerintah Jerman sebaiknya dibaca dengan kacamata kritis. Apakah ini benar-benar tentang melindungi rakyat, ataukah hanya propaganda untuk membenarkan kebijakan luar negeri dan alokasi anggaran militer?
Di tengah tekanan ekonomi, warga Jerman berhak mendapatkan penjelasan yang jujur dan kebijakan yang berpihak pada kesejahteraan mereka, bukan pada retorika perang yang belum tentu akan terjadi. Dunia memang tidak dalam kondisi aman, tapi ketakutan tidak boleh menjadi dasar utama dalam membangun kebijakan publik. Narasi yang menakut-nakuti hanya akan memperdalam ketidakpercayaan, dan pada akhirnya bisa menjadi bumerang bagi mereka yang menggunakannya.