Connect with us

Opini

Jerman dan Bayang-Bayang Perang: Pelajaran untuk Indonesia

Published

on

Carsten Breuer, inspektur jenderal Bundeswehr, menandatangani Directive Priorities for the Bolstering of Readiness, sebuah dokumen yang memuat desakan agar Jerman memperkuat kesiapan militernya menghadapi potensi konflik bersenjata. Dokumen ini menjadi penanda bahwa negara yang selama beberapa dekade dikenal pasif dalam urusan militer itu kini tengah bersiap menghadapi kemungkinan terburuk: perang.

Langkah ini menimbulkan banyak pertanyaan. Apakah Jerman benar-benar merasa terancam? Ataukah ini bagian dari dinamika geopolitik yang lebih luas di kawasan Eropa? Dan lebih jauh lagi, bagaimana seharusnya Indonesia membaca geliat persiapan militer Jerman ini—di tengah situasi dunia yang kian tak pasti?

Sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Eropa, Jerman tak hanya membuat pernyataan. Mereka bergerak cepat dan konkret. Fokus penguatan militer mereka mencakup pengadaan senjata presisi jarak jauh lebih dari 500 kilometer, pengembangan sistem perang elektronik, hingga kemampuan berbasis ruang angkasa. Ini bukan sekadar modernisasi alat perang, melainkan pembangunan ulang fondasi pertahanan secara menyeluruh.

Dorongan untuk membesarkan anggaran militer pun terus menguat. Friedrich Merz, Ketua Partai CDU yang menjadi oposisi utama di parlemen, menyerukan agar pengeluaran pertahanan dinaikkan hingga 5% dari PDB pada 2032—melampaui target 2% yang ditetapkan NATO. Ambisi ini memberi sinyal kuat bahwa Jerman tak ingin lagi sekadar menjadi penonton dalam urusan keamanan regional.

Namun, benarkah semua ini semata-mata karena ancaman Rusia?

Narasi yang berkembang di Eropa memang banyak menunjuk Rusia sebagai sumber ancaman utama. Tapi Rusia sendiri telah berulang kali membantah memiliki niat menyerang negara-negara NATO. Dalam Konsep Kebijakan Luar Negeri 2023, Moskow justru menyebut ekspansi NATO ke arah timur—termasuk Ukraina—sebagai bentuk provokasi. Pandangan ini mencerminkan bahwa apa yang dianggap sebagai langkah pertahanan oleh satu pihak, bisa dipersepsi sebagai ancaman oleh pihak lain.

Pada Mei 2024, laporan Reuters menyoroti isi dokumen militer yang ditandatangani Breuer. Di dalamnya, tertulis bahwa tahun 2029 dipandang sebagai titik krusial bagi potensi agresi Rusia. Beberapa negara Baltik dan Polandia, yang memiliki sejarah panjang dengan Moskow, mendesak Jerman untuk mengambil peran yang lebih kuat, tidak hanya dalam bentuk dukungan ekonomi, tapi juga perlindungan nyata di garis depan pertahanan NATO.

Perubahan ini tak terjadi dalam ruang hampa. Sejak invasi Rusia ke Ukraina pada 2022, yang disebut Zeitenwende atau “titik balik zaman” oleh Kanselir Olaf Scholz, Eropa dilanda kesadaran baru: perdamaian bukanlah sesuatu yang bisa dianggap permanen. Sejak saat itu, Jerman mulai merumuskan ulang peran mereka dalam arsitektur keamanan global.

Apa yang dilakukan Jerman ini sebenarnya relevan bagi Indonesia. Kita hidup dalam kawasan yang juga rawan konflik. Ketegangan di wilayah Natuna, misalnya, memperlihatkan bahwa klaim sepihak dari negara lain dapat memicu situasi genting. Ancaman terhadap kedaulatan tidak selalu datang dalam bentuk invasi terbuka, tetapi juga bisa berupa tekanan diplomatik, penguasaan wilayah laut, atau manipulasi ekonomi.

Namun, membangun kekuatan militer bukan tanpa risiko. Restrukturisasi besar-besaran yang dilakukan perusahaan industri berat Jerman seperti ThyssenKrupp mencerminkan betapa mahalnya harga kesiapan militer itu. Perusahaan yang pernah menjadi simbol kekuatan industri Jerman itu kini memangkas staf dan menjual aset-aset strategis. Sementara itu, kekhawatiran akan deindustrialisasi dan tekanan resesi terus menghantui ekonomi Jerman.

Di tengah kondisi tersebut, muncul pertanyaan: apakah mungkin membangun kekuatan militer besar jika fondasi ekonomi justru melemah? Ini seperti membangun benteng kokoh di atas tanah yang mulai bergeser.

Indonesia pun kerap menghadapi dilema serupa. Anggaran pertahanan nasional mencapai Rp135 triliun pada 2024—angka yang cukup besar, namun tetap menjadi perdebatan. Apakah anggaran sebesar itu akan menghasilkan peningkatan kapasitas pertahanan yang memadai? Atau justru mengorbankan alokasi untuk pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan?

Di Jerman, kritik terhadap lonjakan anggaran militer datang dari berbagai pihak, termasuk Partai Hijau dan partai-partai kiri yang khawatir bahwa fokus pada persenjataan bisa menggerus nilai-nilai sosial yang selama ini mereka jaga. Kekhawatiran semacam itu bukan tanpa dasar. Sejarah telah menunjukkan bahwa perlombaan senjata kerap kali membawa pada eskalasi, bukan penyelesaian.

Di sisi lain, pemerintah Jerman juga mendorong kesiapan sipil. Masyarakat diminta menyiapkan logistik dasar selama 72 jam—makanan, air, obat-obatan—sebagai bentuk kesiagaan menghadapi berbagai skenario krisis. Bukan hanya perang, tetapi juga bencana alam, pemadaman energi, hingga serangan siber. Sebuah langkah yang seharusnya juga menjadi refleksi bagi Indonesia, negara yang kerap dilanda bencana dan kerentanan pangan, namun belum memiliki budaya kesiapsiagaan yang tertanam kuat di masyarakat.

Langkah politik Jerman pun semakin tegas. Rencana menghapus batasan jangkauan senjata ke Ukraina, termasuk kemungkinan mengirim rudal Taurus, menunjukkan keberanian mengambil risiko diplomatik. Rusia menyebut langkah ini sebagai provokasi serius. Situasi ini menjadi pengingat bahwa setiap langkah strategis—termasuk di Indonesia—akan selalu dibaca dari berbagai perspektif, dan bisa menimbulkan reaksi yang tak diinginkan.

Gerak cepat Jerman juga dipicu oleh kondisi politik global. Komitmen Amerika Serikat terhadap NATO tengah dipertanyakan. Prancis lebih fokus pada proyek otonomi strategis Eropa. Italia dililit utang dan kebijakan dalam negeri yang tak menentu. Dalam konteks ini, Jerman tampaknya merasa perlu melangkah lebih dulu—sekalipun mungkin belum sepenuhnya disambut oleh sekutu-sekutunya.

Meski demikian, langkah-langkah tersebut tidak sepenuhnya mulus. Usulan Menteri Pertahanan Boris Pistorius untuk menghidupkan kembali wajib militer menghadapi resistensi publik. Generasi muda Jerman, yang tumbuh dalam bayang-bayang perdamaian, sulit menerima gagasan untuk kembali menjadi bagian dari mesin militer. Ini menjadi pengingat bahwa kesiapsiagaan tidak bisa dibangun hanya dengan anggaran dan teknologi, tetapi juga memerlukan dukungan dan pemahaman publik.

Pertanyaannya kemudian: apakah Indonesia siap jika menghadapi situasi serupa? Jika wacana wajib militer digaungkan di sini, apakah generasi muda akan siap menerima, atau justru menolaknya mentah-mentah?

Langkah-langkah Jerman—entah disetujui atau tidak—mencerminkan upaya untuk menghadapi dunia yang semakin tidak menentu. Mereka bersiap menghadapi agresi, bencana, dan krisis sistemik lainnya, dengan harapan bahwa kesiapan itu cukup untuk mencegah terjadinya bencana.

Indonesia seharusnya tidak hanya mengamati, tapi juga belajar. Dunia pasca-pandemi dan konflik Ukraina telah menunjukkan bahwa negara yang siap lebih mampu bertahan. Jerman mengajarkan bahwa kesiapsiagaan bukan soal perang, tapi tentang memastikan kita tidak jadi korban tanpa daya.

Pertanyaannya: kapan kita mulai bersiap?

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *