Connect with us

Opini

Jerman: Antara Peradaban dan Kebijakan Konyol

Published

on

Jerman, negara yang selama ini dikenal dengan kedalaman filosofi pemikirannya, kebebasan berpendapat, dan semangat keadilan sosial, tiba-tiba merilis kebijakan yang sangat mencurigakan: melarang ucapan yang katanya bisa “mengancam” eksistensi negara Israel. Begitu konyolnya, sampai-sampai kita mulai bertanya-tanya apakah mereka baru saja terinspirasi oleh buku “Cara Membuat Kebijakan yang Membingungkan Dunia” yang diterbitkan oleh, entah, pihak yang entah berfungsi sebagai lampu jalan untuk kebijakan internasional.

Apakah kita benar-benar perlu menjelaskan bahwa ucapan “from the river to the sea, Palestine will be free” adalah seruan untuk kebebasan, bukan ancaman genosida? Tentu, bagi mereka yang lebih suka membenarkan kebijakan represif dengan kata-kata “anti-Semitisme baru,” rasanya tidak ada bedanya antara ucapan yang menginginkan keadilan sosial dan ancaman pemusnahan suatu bangsa. Bagaimana mungkin sebuah kalimat yang berbicara tentang kebebasan dari penindasan bisa dianggap sebagai seruan untuk menghancurkan eksistensi negara? Oh, mungkin karena kebebasan itu selalu terlihat begitu menakutkan ketika datang dari mereka yang telah lama tertindas.

Baru-baru ini, sebuah pengadilan di Berlin mengukir sejarah dengan memvonis seorang warga negara Iran karena menulis kalimat ini di Instagram. Memang, siapa yang butuh kebebasan berekspresi jika kita bisa menghindari masalah dengan memusnahkan kalimat-kalimat yang, katakanlah, terlalu berbicara tentang kebebasan? Gideon Sa’ar, seorang politisi Israel, dengan bangga menyambut keputusan tersebut, yang tentu saja, dengan penuh keyakinan, menganggap bahwa menghapus hak orang untuk mengungkapkan solidaritas dengan Palestina adalah langkah besar dalam memerangi “anti-Semitisme baru.”

Di sisi lain, mereka yang mendukung Palestina dengan lantang menyatakan bahwa kalimat ini bukanlah ancaman, melainkan ungkapan hati dari mereka yang ingin terbebas dari penindasan di tanah yang telah lama mereka sebut rumah. Dan siapa yang tidak ingin kebebasan, bukan? Tentu saja, kebebasan itu hanya akan menyusahkan jika itu mengancam kestabilan politik beberapa pihak yang sudah terlanjur nyaman dengan status quo.

Lalu, bagaimana dengan Jerman? Dengan kebijakan ini, Jerman berisiko kehilangan kemegahannya sebagai negara yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat. Negara yang sejak lama mengajarkan dunia tentang pentingnya hak asasi manusia kini justru mengundang tanya: Apa yang terjadi pada kebebasan itu? Apakah Jerman menganggap keadilan untuk Palestina lebih kecil nilainya dibandingkan dengan menjaga hubungan baik dengan Israel? Bukankah itu sedikit… konyol?

Jerman, yang begitu bangga dengan sejarahnya sebagai bangsa yang memperbaiki kesalahan masa lalu, kini malah terperangkap dalam politik luar negeri yang tampaknya lebih memilih mendukung kebijakan yang tak masuk akal daripada menegakkan prinsip yang lebih universal: kebebasan dan keadilan. Kebijakan ini menempatkan mereka di persimpangan yang tak enak: antara mempertahankan citra negara beradab yang memperjuangkan kebebasan dan menjadi negara yang terlihat konyol hanya demi membela Israel.

Jika Jerman benar-benar ingin mempertahankan citra positif sebagai negara yang menjunjung tinggi peradaban dan kebebasan, maka kebijakan ini harus segera dihentikan. Sebab, sebuah negara yang melarang kalimat penuh harapan bagi mereka yang tertindas, sementara berjuang mati-matian untuk membela negara yang telah lama menindas, hanya akan tampak sebagai negara yang membela ketidakadilan, bukan kebebasan.

Tapi mungkin itu memang yang diinginkan: menjadi bagian dari cerita absurd yang tidak hanya mengingatkan kita pada drama internasional, tetapi juga pada bagaimana sebuah negara bisa memilih untuk mengorbankan segalanya demi hubungan yang lebih nyaman. Setidaknya, kalau itu yang mereka pilih, kita akan melihat Jerman memilih untuk tetap “konyol” daripada menjadi waras.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *