Connect with us

Opini

Jeritan Sabaya: Genosida Wanita Alawit di Suriah

Published

on

Di sebuah biara kecil di Qatada, Mother Agnes Mariam duduk dengan tatapan penuh beban, menceritakan kengerian yang ia saksikan di pesisir Suriah. Wanita-wanita Alawit, ibu dari anak-anak kecil, diculik dari rumah mereka, diperjualbelikan di pasar gelap dengan label harga dan deskripsi mengerikan: “pirang, bermata biru, pandai memasak, $1.500.” Kesaksiannya, disampaikan dalam podcast The Gray Zone, mengguncang nurani, mengingatkan dunia pada kebiadaban ISIS yang pernah mencengkeram Yazidi. Ini bukan sekadar cerita—ini adalah seruan untuk menghentikan genosida baru.

Mother Agnes, superior Biara St. James, bukan orang asing bagi konflik Suriah. Ia telah berjalan di tengah reruntuhan, berbicara dengan para penyintas, dan mengorganisir konvoi bantuan ke wilayah Alawit yang terkepung. Dalam kesaksiannya, ia menggambarkan bagaimana muhajirin—pejuang asing dari Chechnya, Uighur, hingga Pakistan—dilepaskan ke pemukiman sipil, membantai, memperkosa, dan menculik. Wanita-wanita ini, yang ia sebut sabaya, dijadikan budak seksual, diperdagangkan dengan iklan daring yang merinci “keterampilan” mereka. Praktik ini, katanya, adalah replika dari pasar perbudakan ISIS di Mosul dan Raqqa.

Kengerian ini bukanlah hal baru di Suriah, tetapi skala dan sifat sistematisnya mengejutkan. Mother Agnes menyebutkan daftar 48 nama wanita yang diculik, beberapa di antaranya ibu dengan anak-anak kecil, yang kini hilang dalam jaringan perdagangan manusia. Ia mendengar kisah seorang gadis yang “menikah” dengan penculiknya hanya untuk keluar dari siksaan, namun pasar sabaya terus beroperasi. Iklan daring, yang ia terima dari Paris, menunjukkan bagaimana wanita diperlakukan sebagai komoditas, dihargai berdasarkan penampilan dan “fungsi” rumah tangga.

Praktik ini mencerminkan pola ISIS yang terdokumentasi dengan baik. Pada 2014–2017, ISIS menculik ribuan wanita Yazidi, menjual mereka di pasar budak di Mosul dengan harga $20 hingga $1.500, menurut laporan PBB. Wanita-wanita ini dipamerkan, diperkosa, dan diperdagangkan, sering dengan “sertifikat kepemilikan” yang dikeluarkan oleh “pengadilan syariah” ISIS. Mother Agnes menegaskan bahwa muhajirin di Suriah kini mengadopsi ideologi yang sama, lengkap dengan bendera hitam ISIS dan seruan jihad dari Idlib, menargetkan Alawit sebagai “kafir” yang pantas dihancurkan.

Namun, yang membuat kesaksian ini semakin memilukan adalah kelalaian yang tampak sistematis. Mother Agnes menggambarkan bagaimana pasukan keamanan pemerintah interim, di bawah Ahmad al-Sharaa (alias Mohammed al-Jolani), gagal menghentikan muhajirin di pos pemeriksaan. Ia bertanya-tanya apakah ini karena empati ideologis atau arahan diam-diam, tetapi jawabannya tetap kabur. Al-Sharaa, mantan pemimpin Front al-Nusra yang berafiliasi dengan al-Qaeda, pernah berjanji membangun Suriah yang inklusif. Namun, kata-kata indahnya tentang “persatuan” dan “mengasihi musuh” kontras dengan kenyataan di lapangan, di mana wanita Alawit menjadi korban kebrutalan yang tak terkendali.

Skala kekerasan ini sulit dipahami. Mother Agnes memperkirakan 30.000 hingga 40.000 korban, baik tewas maupun hilang, angka yang jauh lebih tinggi dari laporan media Barat yang minim. Ia menyebut penghancuran arsip sipil, pembuangan jenazah ke laut, dan penolakan untuk mengubur korban sebagai upaya menghapus keberadaan Alawit. Ini bukan sekadar pembunuhan—ini adalah pembersihan etnis, menurutnya, yang dirancang untuk menghilangkan identitas komunitas. Laporan serupa dari Human Rights Watch pada 2013–2015 mencatat bagaimana faksi jihad di Suriah menargetkan minoritas seperti Alawit dan Syiah untuk “menghapus” mereka dari peta demografis.

Wanita, khususnya, menjadi sasaran utama. Mother Agnes menggambarkan bagaimana anak laki-laki dan pria dibunuh atau diculik, sementara wanita diambil untuk sabaya. Istilah ini, yang berakar pada tradisi penaklukan abad pertengahan, digunakan oleh ISIS untuk membenarkan perbudakan seksual sebagai “hak” pejuang. Dalam laporan Amnesty International 2014, seorang penyintas Yazidi menggambarkan bagaimana ia diperdagangkan berulang kali, dipukuli, dan dipaksa melayani “pemilik” baru setiap minggu. Kesaksian Mother Agnes menunjukkan pola serupa: wanita Alawit diperjualbelikan dengan harga dan deskripsi yang merendahkan, diperlakukan sebagai “trofi jihad”.

Mengapa dunia tampak diam? Mother Agnes mengeluhkan kurangnya perhatian media Barat, yang ia duga enggan mengkritik pemerintah interim yang didukung Turki dan kekuatan Barat. The Guardian, salah satu dari sedikit outlet yang melaporkan, hanya menyentuh permukaan isu ini, menurutnya. Padahal, laporan PBB pada 2016–2018 telah memperingatkan bahwa kelompok seperti Hay’at Tahrir al-Sham (HTS) dan faksi jihad lainnya terus melakukan kejahatan perang, termasuk penculikan dan perdagangan manusia. Ketidakpedulian ini mungkin berakar pada kepentingan geopolitik: pemerintah interim dianggap sebagai “harapan” melawan kekacauan, meski praktiknya mencerminkan kebrutalan pendahulunya.

Konteks Suriah yang kacau memperparah situasi. Mother Agnes menyebut Suriah bukan lagi negara, melainkan “konglomerasi” yang dikuasai berbagai faksi dan kekuatan asing. Turki, yang mendukung HTS, memiliki sejarah hubungan ambigu dengan kelompok jihad, termasuk ISIS, seperti yang didokumentasikan oleh media Turki seperti Cumhuriyet pada 2015. Israel, di sisi lain, merebut wilayah selatan, memperumit dinamika. Dalam kekosongan kekuasaan ini, wanita Alawit menjadi korban paling rentan, tanpa perlindungan dari pemerintah interim yang lemah atau komunitas internasional yang apatis.

Upaya kemanusiaan Mother Agnes menawarkan secercah harapan, namun penuh rintangan. Konvoi bantuan pertamanya, yang membawa 6.000 ransum makanan dan 350 ton tepung dari wilayah Kurdi ke pesisir Alawit, berhasil meski diwarnai tuduhan palsu sebagai “kuda Troya” militer. Konvoi kedua terhenti karena birokrasi pemerintah interim, yang menolak izin dengan alasan ketidakpercayaan terhadap Kurdi. Ini mencerminkan ketegangan antar-faksi yang menghambat respons kemanusiaan, meninggalkan wanita dan anak-anak Alawit dalam keputusasaan.

Kesaksian Mother Agnes adalah seruan moral yang tak bisa diabaikan. Dunia pernah gagal bertindak cepat saat Yazidi dihancurkan oleh ISIS; kini, pola yang sama muncul di Suriah. Menurut laporan PBB 2019, lebih dari 3.000 wanita Yazidi masih hilang, banyak yang diperdagangkan hingga ke Turki dan Teluk. Jika kesaksian Mother Agnes benar, nasib serupa menanti wanita Alawit tanpa intervensi segera. Ia meminta investigasi PBB, dan ini bukan sekadar permintaan—ini adalah keharusan. Dewan Keamanan PBB harus membentuk tim investigasi independen untuk mendokumentasikan kejahatan ini, seperti yang dilakukan untuk Rwanda pada 1994.

Namun, investigasi saja tidak cukup. Komunitas internasional harus menekan Turki dan pendukung HTS untuk menghentikan muhajirin dan memastikan akuntabilitas. Sanksi terhadap pelaku perdagangan manusia, seperti yang diterapkan AS terhadap jaringan ISIS pada 2017, bisa menjadi langkah awal. Organisasi seperti UNICEF dan UN Women harus memprioritaskan perlindungan wanita dan anak-anak Alawit, mungkin melalui koridor kemanusiaan seperti yang dibentuk di Aleppo pada 2016. Individu di seluruh dunia dapat mendukung upaya Mother Agnes dengan donasi untuk konvoi bantuan, seperti yang ia sebutkan dalam wawancara.

Kisah wanita-wanita Alawit ini bukan sekadar statistik. Mereka adalah ibu yang merangkul anak-anaknya sebelum direnggut, istri yang berjuang mempertahankan martabat di tengah penghinaan. Mother Agnes, dengan suara gemetar namun teguh, telah meletakkan beban ini di pundak dunia. Jika kita gagal bertindak, kita mengulangi dosa kelalaian saat Yazidi dibiarkan menderita. Suriah bukan lagi sekadar medan perang—ini adalah cermin kemanusiaan kita. Akankah kita memalingkan muka, atau akhirnya mendengar jeritan mereka?

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *