Opini
Jeritan Palestina: Siksaan di Penjara, Dunia Tuli

Di dalam sel-sel sempit penjara al-Naqab dan Ofer, dinding beton menyaksikan kengerian yang tak terucapkan. Teriakan tahanan Palestina bergema, namun dunia seolah tuli. Laporan terbaru dari Komisi Urusan Tahanan dan Masyarakat Tahanan Palestina mengungkapkan tuduhan mengerikan: pemerkosaan, pelecehan seksual, dan penyiksaan sistematis terhadap tahanan, khususnya mereka yang diculik dari Gaza. “Pemerkosaan dan serangan seksual terhadap tahanan Gaza terus berlanjut,” demikian pernyataan bersama mereka, mengguncang nurani siapa pun yang masih percaya pada keadilan.
Seorang tahanan di Ofer menceritakan metode penyiksaan yang mengerikan: “Penjaga sengaja mengikat tahanan dan berulang kali memasukkan tongkat ke anusnya hingga ia merasa tersedak.” Menurut laporan, semakin keras tahanan menjerit, semakin ganas penjaga memperburuk siksaan. Ini bukan sekadar kekejaman individu, melainkan pola terorganisir. Lebih dari 8.100 warga Palestina dari Tepi Barat dan al-Quds telah ditahan sejak Oktober 2023, termasuk 258 wanita dan 500 anak-anak, banyak tanpa dakwaan.
Penyiksaan ini dirancang untuk menghancurkan lebih dari sekadar tubuh. Kamera pengawas, yang seharusnya untuk keamanan, menjadi alat penindasan. “Jika tahanan terlihat tersenyum atau menunjukkan sikap menentang, penjaga memukuli hingga pingsan,” ungkap laporan. Hukuman kolektif sering diterapkan, dengan unit penindasan melakukan penggeledahan brutal. Tindakan ini, menurut kelompok hak asasi, adalah bagian dari strategi untuk mematahkan semangat perlawanan Palestina, merampas martabat mereka.
Skala penahanan mengejutkan. Komisi Urusan Tahanan dan Masyarakat Tahanan Palestina mencatat 4.430 perintah penahanan administratif, termasuk untuk anak-anak dan wanita, tanpa proses hukum. Di antara tahanan, 64 jurnalis, 43 di antaranya masih dipenjara, 23 tanpa dakwaan. Penggerebekan oleh pasukan Israel diiringi pemukulan brutal, ancaman terhadap keluarga, dan penghancuran rumah. Ini bukan sekadar penegakan hukum, tetapi kampanye untuk menanamkan ketakutan.
Namun, ketika warga Palestina melawan, dunia dengan cepat menghakimi. Hamas, yang melakukan serangan bersenjata, dicap teroris tanpa diskusi tentang konteks penindasan yang memicu perlawanan. “Ini ironis,” kata seorang aktivis HAM Palestina, yang identitasnya dirahasiakan demi keselamatan. “Kami disiksa, ditahan tanpa alasan, rumah kami dihancurkan, tetapi ketika kami melawan, kami yang disebut penjahat.” Narasi ini mengaburkan akar masalah: pendudukan yang telah merenggut kebebasan selama puluhan tahun.
Sejarah menunjukkan pola serupa. Perjuangan anti-kolonial, dari Aljazair hingga Afrika Selatan, sering dicap teroris oleh penjajah, namun dunia akhirnya mengakui ketidakadilan yang memicu perlawanan. Di Palestina, laporan seperti yang diterbitkan Al Mayadeen menunjukkan bahwa kekerasan struktural—penahanan massal, penyiksaan, penggusuran—adalah pemicu utama. Mengutuk Hamas tanpa mengatasi pendudukan ibarat merawat luka tanpa menghentikan pendarahan.
Komunitas internasional, yang seharusnya menjadi penjaga keadilan, justru bungkam. PBB, meski menerima laporan pelanggaran, sering terhambat veto politik, terutama dari Amerika Serikat. Mahkamah Pidana Internasional (ICC) menghadapi tekanan geopolitik, membuat investigasi terhadap Israel terhenti. “Dunia tahu apa yang terjadi,” kata Addameer, organisasi hak asasi di Ramallah. “Tetapi kepentingan politik lebih berat daripada nyawa kami.” Keheningan ini memperpanjang impunitas.
Standar ganda global terlihat jelas. Pelanggaran HAM di satu wilayah memicu kecaman keras, sanksi, bahkan intervensi militer. Namun, di Palestina, tuduhan penyiksaan dan penahanan anak-anak disambut dengan pernyataan diplomatik kosong. Laporan Amnesty International dan Human Rights Watch telah lama mendokumentasikan pelanggaran serupa, namun tindakan nyata nihil. Ini bukan sekadar kelalaian, tetapi pengkhianatan terhadap prinsip hukum internasional.
Data dari Addameer memperkuat gambaran mengerikan ini. Sejak Oktober 2023, 258 wanita, termasuk dari wilayah Palestina 1948, ditahan. Lebih dari 500 anak-anak, beberapa berusia di bawah 12 tahun, dipenjara. Penahanan administratif, yang memungkinkan tahanan ditahan tanpa tuduhan hingga enam bulan atau lebih, menjadi alat utama penindasan. “Ini adalah hukuman tanpa kejahatan,” kata seorang pengacara tahanan.
Penyiksaan tidak hanya fisik, tetapi juga psikologis. Tahanan dilucuti pakaiannya, dihina di depan kamera, dipaksa menahan rasa sakit di bawah ancaman kekerasan lebih lanjut. “Tujuannya adalah menghancurkan jiwa kami,” kata seorang mantan tahanan, yang dibebaskan setelah tiga tahun tanpa dakwaan. Laporan Al Mayadeen mencatat bahwa pengabaian medis sering digunakan sebagai senjata, memperburuk penderitaan tahanan.
Sementara itu, narasi “teroris” terus mendominasi wacana global. Media Barat jarang menyoroti konteks pendudukan, memilih untuk fokus pada kekerasan perlawanan tanpa menyebut penyebabnya. Ini menciptakan persepsi yang menyimpang, di mana Palestina dilihat sebagai agresor, bukan korban. “Kami tidak ingin kekerasan,” kata seorang ibu di Ramallah, yang anaknya ditahan. “Kami ingin hidup bebas di tanah kami.”
Kegagalan dunia untuk bertindak memperparah siklus kekerasan. Tanpa tekanan untuk menghentikan pendudukan atau menegakkan akuntabilitas, penyiksaan akan terus berlanjut, dan perlawanan, dalam bentuk apa pun, akan bertahan. “Setiap tahanan yang disiksa adalah benih perlawanan baru,” kata seorang aktivis. Mengabaikan fakta ini hanya memperpanjang penderitaan semua pihak dalam konflik.
Solusi bukanlah utopia, tetapi langkah konkret. Investigasi independen oleh badan seperti ICC harus didesak, bebas dari tekanan politik. Sanksi terhadap pelaku pelanggaran HAM, termasuk pejabat penjara, bisa menjadi sinyal bahwa impunitas tidak lagi ditoleransi. Organisasi seperti Addameer dan Masyarakat Tahanan Palestina membutuhkan dukungan global—dana, advokasi, dan perlindungan—untuk melanjutkan dokumentasi mereka.
Dialog yang jujur juga penting. Mengakui pendudukan sebagai akar konflik bukan berarti mendukung kekerasan, tetapi membuka jalan untuk perdamaian yang adil. “Kami tidak meminta belas kasihan,” kata seorang tahanan yang dibebaskan. “Kami meminta hak kami sebagai manusia.” Dunia harus mendengar, bukan hanya mendengarkan, suara mereka yang menderita di balik jeruji.
Di sel-sel gelap al-Naqab dan Ofer, kemanusiaan sedang diuji. Setiap jeritan yang diabaikan, setiap laporan yang dibiarkan berdebu, adalah noda pada nurani kolektif kita. Keadilan tertunda bukanlah keadilan, melainkan undangan untuk lebih banyak penderitaan. Dunia harus memilih: tetap diam dan complicit, atau berdiri bersama mereka yang menuntut martabat. Palestina menunggu jawabannya.
Daftar Sumber
- Palestinian Commission of Detainees and Ex-Detainees Affairs & Palestinian Prisoners Society. (2025). Joint Statement on Ongoing Sexual Abuse and Torture of Palestinian Detainees. (https://english.almayadeen.net/news/politics/ongoing-sexual-abuse-of-gaza-detainees-sparks-rights-groups)
- Al Mayadeen English. (2025). Ongoing Sexual Abuse of Gaza Detainees Sparks Rights Groups. (https://english.almayadeen.net/news/politics/ongoing-sexual-abuse-of-gaza-detainees-sparks-rights-groups)
- Addameer Prisoner Support and Human Rights Association. (2023-2025). Reports on Administrative Detention and Human Rights Violations in Israeli Prisons. (https://www.addameer.org/)
- Amnesty International. (2023-2024). Israel and Occupied Palestinian Territories: Reports on Detention and Torture. (https://www.amnesty.org/en/location/middle-east-and-north-africa/israel-and-occupied-palestinian-territories/)
- Human Rights Watch. (2023-2024). Israel/Palestine: Arbitrary Detention and Ill-Treatment of Palestinian Prisoners. (https://www.hrw.org/middle-east/north-africa/israel/palestine)