Connect with us

Opini

Jeritan Edan: Tawanan Terjebak di Gaza Tanpa Harapan

Published

on

Di sebuah ruangan yang temaram, seorang pria muda bernama Edan Alexander menatap kamera dengan wajah pucat, matanya bagai cermin jiwa yang retak. Suaranya bergetar saat ia berkata, “Saya hancur secara fisik dan mental.” Video yang dirilis Brigade Al Qassam ini bukan sekadar rekaman, melainkan jeritan seorang tawanan yang merasa terlupakan. Edan, tentara Israel-Amerika, mengaku terjebak di Gaza selama 551 hari, dan ungkapannya—“tak ada harapan”—menjadi simbol kegagalan dunia menghentikan perang yang mengancam nyawanya.

Edan menyebut dirinya ditinggalkan, seolah dunia telah menutup pintu baginya. “Setiap hari, saya melihat dia—Netanyahu—mengendalikan negara seperti diktator,” katanya dalam keputusasaan. Tuduhan ini menggema di Tel Aviv, di mana ribuan warga berunjuk rasa, seperti yang Edan gambarkan: “Setiap hari, saya melihat warga Israel berdemonstrasi.” Menurut Hostages and Missing Families Forum, lebih dari 100 tawanan masih ditahan Hamas. Namun, alih-alih negosiasi, Israel melancarkan serangan yang menewaskan 672 orang dalam dua minggu, menurut otoritas Gaza, memperburuk nasib tawanan.

Pernyataan Edan bahwa Hamas bersedia membebaskannya tiga minggu lalu, namun ditolak Israel, menyentuh inti konflik. “Mereka siap membebaskan saya, tapi kalian menolak dan meninggalkan saya di sini!” serunya. Meski klaim ini sulit diverifikasi, laporan dari Doha mencatat Hamas menawarkan pertukaran tawanan dengan tahanan Palestina, namun Netanyahu menolak demi strategi militer. Ia memperluas “Koridor Morag,” menggusur ribuan warga Gaza, yang membuat Edan ketakutan: “Setiap hari, saya merasa bombardir semakin dekat ke kepala kami.”

Keputusasaan Edan bukan hanya soal kurungan, tetapi juga ketidakpedulian global. “Seluruh dunia tak mendengarkan mereka,” keluhnya tentang demonstrasi di Israel. Ini mencerminkan kenyataan pahit: mediasi oleh Qatar dan Mesir gagal mencegah pelanggaran gencatan senjata. Setelah kesepakatan Januari, Israel menyerang lagi, menewaskan 98 orang dalam 48 jam, menurut Kementerian Kesehatan Gaza. Edan, yang mengaku “mengalami mimpi buruk setiap malam,” adalah korban dari siklus kekerasan yang menghancurkan harapan akan diplomasi.

Video ini memperlihatkan perpecahan di Israel, di mana Edan melihat fotonya menghiasi Habima Square. “Saya melihat fotoku dan foto semua tawanan di Tel Aviv,” katanya, menunjukkan solidaritas rakyat yang bertolak belakang dengan pemerintah. Survei Israel Democracy Institute mengungkap 60% warga mendukung gencatan senjata demi tawanan, namun koalisi Netanyahu, yang bergantung pada sayap kanan seperti Otzma Yehudit, menolak kompromi. Edan merasakan pengkhianatan ini: “Semua berbohong padaku: rakyatku, pemerintah Israel, dan pemerintahan Amerika.”

Saat Edan memohon kepada Presiden Trump, harapannya pupus. “Mengapa kau terjebak dalam kebohongan Netanyahu?” tanyanya, mencerminkan kekecewaan terhadap dukungan AS. Laporan Washington Post menyebut AS menyetujui bantuan militer $3,8 miliar untuk Israel, meskipun PBB menyerukan penghentian kekerasan. Edan, yang setiap hari mendengar “suara ibuku, suara ayahku, suara adikku,” merasa dunia telah tuli, meninggalkannya dalam penahanan yang bagai hukuman mati tanpa akhir.

Eskalasi militer yang ditakuti Edan adalah ancaman nyata. “Kami benar-benar kehilangan harapan… waktu kami semakin habis,” katanya, menggemakan peringatan tawanan lain, Yair. Menurut Al Mezan Center for Human Rights, serangan Israel telah menewaskan lebih dari 41.000 orang, dengan 30% korban anak-anak. Operasi di Jabalia dan Khan Younis menghancurkan kamp pengungsi, meningkatkan risiko tawanan seperti Edan terbunuh oleh serangan sembarangan, seperti kasus tiga tawanan yang tewas sebelumnya akibat “friendly fire.”

Di tengah keputusasaan, Edan masih memohon kepada rakyat Israel: “Teruslah berdemonstrasi dan lakukan segala yang kalian bisa.” Ini menunjukkan bahwa tekanan publik adalah satu-satunya harapan yang tersisa. Demonstrasi di Tel Aviv, menurut Haaretz, menarik puluhan ribu orang yang menuntut prioritas pada tawanan. Namun, ketika Netanyahu memperluas “zona keamanan” di Gaza, menggusur 1,2 juta warga menurut UNRWA, harapan itu memudar, seperti yang Edan keluhkan: “Tak ada yang bisa dikatakan, tak ada harapan.”

Video ini, meski dibuat dalam kondisi penahanan, membawa kebenaran yang mengguncang. Edan berkata, “Saya benar-benar ingin percaya kalian tak akan melihat saya hidup untuk terakhir kali melalui video ini.” Permohonannya menyentuh hati, namun serangan udara yang menghancurkan rumah sakit dan sekolah di Gaza meningkatkan risiko kematiannya. Amnesty International melaporkan bahwa intensitas serangan telah mencapai tingkat “tak tertahankan,” dengan dampak mematikan pada warga sipil dan tawanan yang tak berdaya.

Kegagalan diplomasi global memperparah tragedi ini. Edan, yang merasa “seluruh dunia tak mendengarkan,” adalah bukti mediasi yang mandek. Meskipun Qatar dan Mesir memfasilitasi pertukaran 12 tawanan dengan 600 tahanan Palestina, kesepakatan itu runtuh saat Israel menunda pembebasan tahanan, menurut Hamas. PBB mencatat 80% penduduk Gaza kini mengungsi, dan tanpa gencatan senjata permanen, Edan tetap terkurung, seperti yang ia tanyakan berulang kali: “Mengapa saya di sini? Mengapa saya tak di rumah?”

Perpecahan di Israel semakin nyata melalui mata Edan, yang melihat solidaritas rakyat namun pengabaian pemerintah. “Saya datang untuk bertugas di Brigade Golani. Saya tentara sendirian,” katanya, mengenang pengabdiannya yang kini terasa sia-sia. Protes anti-Netanyahu, yang menurut Yedioth Ahronoth melibatkan 50.000 orang di satu malam, menunjukkan kemarahan publik. Namun, ketika Menteri Keamanan Itamar Ben-Gvir mengancam menggulingkan koalisi jika serangan dihentikan, Edan dan tawanan lain tetap jadi korban kebuntuan politik.

Dampak serangan militer bagi Edan adalah horor sehari-hari. “Kami benar-benar berpikir kami akan pulang dalam keadaan mati,” katanya, mencerminkan ketakutan akan kematian akibat bom Israel sendiri. Laporan dari Euro-Med Human Rights Monitor menyebutkan serangan di Gaza telah menghancurkan 65% rumah, membuat tawanan rentan terhadap serangan acak. Ketika Netanyahu bersikeras bahwa tekanan militer akan membebaskan tawanan, kenyataannya justru sebaliknya, memperpanjang penderitaan Edan dalam kurungan yang tak pasti.

Video ini juga resonansi global, menarik simpati dan kemarahan. Edan memohon, “Cobalah mengingat wajahku!” seolah takut dunia melupakannya. Reaksi di media sosial, dengan ribuan unggahan menurut analisis X, menunjukkan dukungan untuk tawanan, namun juga kecaman terhadap Netanyahu. Meskipun demikian, dukungan AS yang tak tergoyahkan, seperti pengiriman 2.000 bom presisi baru menurut Reuters, memungkinkan Israel melanjutkan serangan, mengabaikan jeritan Edan dan publik yang menuntut perdamaian.

Pada akhirnya, Edan adalah cerminan dunia yang kehilangan arah. Ia berkata, “Mengapa saya di sini hari ini? Mengapa?”—pertanyaan yang tak hanya untuk Israel, tetapi untuk semua yang membiarkan perang ini berlanjut. Ketika bom menghantam Gaza, menghancurkan harapan bersama puing-puing, Edan dan tawanan lain tetap terjebak. Tanpa gencatan senjata yang nyata, “tak ada harapan” bukan sekadar kata-kata, melainkan kenyataan pahit bagi mereka yang dilupakan di tengah dentuman perang.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *