Connect with us

Opini

Jerit Rakyat dan Parade Tank: Amerika di Ambang Keretakan

Published

on

Puluhan ribu warga Amerika turun ke jalan pada 14 Juni 2025. Dari New York hingga Los Angeles, mereka memenuhi ruang publik, memprotes pendekatan agresif Presiden Donald Trump. Hari itu berubah muram ketika seorang anggota DPR dari Partai Demokrat di Minnesota tewas dalam aksi yang disebut Gubernur Tim Walz sebagai “pembunuhan bermotif politik.” Di saat yang sama, Washington, D.C., bersiap merayakan ulang tahun ke-250 Angkatan Darat Amerika Serikat—bertepatan dengan ulang tahun ke-79 Trump—melalui parade militer besar-besaran. Pemandangan kontras ini, antara sorak barisan tentara dan jerit perlawanan sipil, menyingkap kenyataan getir: bangsa itu tengah berdiri di atas jurang perpecahan. Pertanyaannya—mampukah demokrasi bertahan saat hukum dan kekuasaan saling bersilang?

Parade itu bukan sekadar seremoni tahunan. Dengan melibatkan sekitar 7.000 personel, lebih dari 150 kendaraan tempur termasuk tank M1 Abrams, serta pamer kekuatan udara dari helikopter Apache hingga pesawat B-25 peninggalan Perang Dunia II, perhelatan ini menyedot biaya yang diperkirakan mencapai $25 hingga $45 juta. Besarnya anggaran langsung menuai kritik, apalagi Trump sebelumnya berulang kali berjanji akan memangkas pengeluaran negara. Senator Tammy Duckworth menilai dana sebesar itu lebih bermanfaat bila digunakan untuk sektor pendidikan atau fasilitas anak bagi keluarga militer. Di Indonesia, gema kritik serupa terdengar saat proyek Ibu Kota Nusantara dikucurkan dana besar sementara kebutuhan dasar rakyat masih terabaikan. Pertanyaannya kembali: prioritas siapa yang sedang dijalankan—penguasa atau rakyat?

Di Los Angeles, protes “No Kings” berlangsung dengan semangat yang membara namun tetap damai. Ratusan warga berkumpul di depan Balai Kota. Tarian adat suku asli Amerika dan lingkaran drum menghiasi suasana. Bendera Amerika dan Meksiko berkibar berdampingan, mengirim pesan simbolik tentang kebersamaan dan hak atas pengakuan. Sergio Lopez, veteran Angkatan Laut berusia 44 tahun yang pernah ditugaskan ke Irak, berdiri di tengah kerumunan. “Saya tidak bertaruh nyawa demi negara ini hanya untuk dilucuti hak saya,” katanya lantang. Lopez, seorang imigran dari Meksiko, merasa bahwa kebijakan anti-imigrasi Trump mengkhianati kontribusinya. Di Indonesia, para pekerja migran pun kerap menghadapi stigma serupa, meski pengiriman devisa mereka menopang perekonomian nasional. Sebuah bangsa tidak akan besar jika terus mengabaikan mereka yang justru membangunnya.

Protes “No Kings” tidak berdiri sendiri. Hampir 2.000 aksi serupa direncanakan di berbagai negara bagian. Pesannya jelas: tidak ada seorang pun—bahkan presiden—yang berada di atas hukum. Namun di Minnesota, harapan itu ternoda. Seorang anggota DPR Demokrat tewas dalam serangan yang juga melukai rekannya. Gubernur Walz menyebutnya sebagai “serangan terhadap demokrasi.” Senator Chuck Schumer menilai tragedi itu sebagai hasil langsung dari retorika kebencian dan kekerasan yang terus digaungkan. Trump, dalam pernyataan singkat, mengutuk aksi tersebut dan mengatakan “kekerasan seperti ini tidak akan ditoleransi.” Namun media seperti The New York Times mempertanyakan ketulusan pernyataan itu, mengingat rekam jejak Trump yang kerap menyulut kemarahan terhadap pengunjuk rasa. Kita di Indonesia tahu persis bagaimana retorika yang membakar bisa menjadi pemantik tragedi, seperti yang terjadi pada Mei 1998. Ucapan yang memecah belah bisa menjadi bara yang menyulut kebencian massal.

Sementara itu, Washington berubah wajah. Pagar logam setinggi 2,4 meter membentang sepanjang 30 kilometer, melingkupi kawasan ikonik seperti Monumen Washington. Barikade beton diturunkan, dan pengawasan ketat dijalankan lewat drone milik Secret Service yang berpatroli di udara. Bandara Reagan ditutup sementara saat parade puncak digelar. Bahkan cuaca pun tampak ikut menantang, dengan prakiraan badai petir mengancam jalannya acara. Semua ini menggambarkan satu hal: pemerintah sedang mengamankan diri dari rakyatnya sendiri. Situasi ini mengingatkan kita pada berbagai demo besar di Jakarta, ketika pagar, kawat berduri, dan aparat berbaris menghadang suara publik. Tapi, pertanyaannya tetap sama: bukankah kepercayaan publik lebih kuat dari pagar dan drone?

Di Atlanta, protes diwarnai ketegangan akibat kemunculan kelompok Proud Boys—organisasi sayap kanan yang mengenakan seragam hitam-kuning. Risiko bentrokan pun meningkat. Indonesia pernah mengalami hal serupa ketika aksi damai menolak kenaikan harga BBM disusupi kelompok radikal dengan agenda terselubung. Narasi “No Kings” terus menguat. Spanduk bertuliskan “Honor Troops, not Trump” dan “No Kings Since 1776” menghiasi jalan-jalan. Kelompok RefuseFascism.org bahkan menggelar pawai menuju Gedung Putih, langsung menantang pernyataan Trump yang memperingatkan bahwa pengunjuk rasa akan “dihadapi dengan kekuatan besar.” Ini bukan sekadar protes, ini perlawanan terhadap simbolisme otoritarian. Keberanian mereka mengingatkan kita pada gerakan mahasiswa Indonesia 1998. Tapi, seberapa lama sebuah bangsa bisa bertahan di ujung tanduk seperti ini?

Parade militer itu, dengan segala kemewahan dan dentuman mesin perang, terasa seperti pertunjukan yang memaksa. Berbeda dengan parade serupa pada 1991 untuk merayakan kemenangan dalam Perang Teluk, kali ini terasa lebih sebagai panggung politik seorang presiden. Di tengah ketegangan global pasca serangan zionis ke Iran, unjuk kekuatan ini lebih memancing ketegangan ketimbang menumbuhkan rasa bangga. Di Indonesia, parade Hari Kemerdekaan terkadang juga dimanfaatkan untuk menunjukkan kekuatan negara, tapi terasa semakin jauh dari denyut kebutuhan rakyat. Sebab kekuatan sejati tidak terletak pada senjata atau kendaraan lapis baja, melainkan pada kemampuan sebuah negara untuk merangkul warganya—termasuk mereka yang dikorbankan, dilupakan, dan dijadikan kambing hitam.

Pengerahan Garda Nasional dan Marinir ke Los Angeles menambah bara. Gubernur Gavin Newsom menyebut tindakan itu sebagai pelanggaran terhadap hukum federal. Undang-undang Posse Comitatus secara eksplisit melarang penggunaan militer dalam urusan sipil domestik. Gugatan Newsom menggarisbawahi potensi penyalahgunaan kekuasaan dalam rezim yang makin tak terbendung. Di Indonesia, kita punya sejarah panjang bagaimana militer kerap digunakan untuk meredam kritik sipil pada masa Orde Baru. Akibatnya, bukan hanya rakyat yang trauma, tapi juga lembaga-lembaga demokrasi kehilangan wibawanya. Bila hukum mulai ditekuk demi kelanggengan kuasa, apa lagi yang bisa menjadi pelindung terakhir dari tirani?

Hari itu, Amerika seolah terbelah dua: satu sisi memamerkan parade megah, lengkap dengan senjata dan simbol kekuasaan. Di sisi lain, rakyat bersuara lantang, menolak kembalinya rezim yang mengancam nilai-nilai demokrasi. Sergio Lopez, sang veteran, berdiri sebagai simbol perlawanan, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi untuk jutaan warga yang merasa dijauhkan dari cita-cita republik. Di Minnesota, darah yang tertumpah dari seorang legislator adalah pengingat bahwa kebencian bisa benar-benar membunuh.

Indonesia pun tak kebal. Kita punya pelajaran dari sejarah: demokrasi adalah ruang perjuangan yang tak pernah final. Jika Amerika bisa terancam oleh parade dan peluru, kita pun harus terus waspada. Demokrasi tidak hanya hidup di bilik suara, tapi juga di jalanan, di suara rakyat, di tubuh-tubuh yang menolak tunduk pada ketakutan. Ketika kekuasaan mulai membangun pagar untuk menjauh dari warganya sendiri, saat itulah kita semua harus kembali bertanya: demokrasi milik siapa?

 

 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *