Connect with us

Opini

Jepang dan Amerika: Romantika yang Kandas di Meja Dagang

Published

on

Lima bulan yang lalu, dunia menyaksikan adegan manis diplomasi antara dua negara yang katanya bersaudara. Di depan kamera, Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyebut hubungan Washington dan Tokyo sebagai “fantastis”, sembari menyerahkan topi merah bertuliskan Make America Great Again kepada utusan dagang Jepang. Sang diplomat, Ryosei Akazawa, menerimanya dengan senyum sopan khas Timur, lalu berpose dengan gaya yang entah tulus atau terpaksa—sulit membedakan ketika semua ekspresi sudah menjadi koreografi politik. Tapi senyum itu kini pudar, lenyap ditelan surat resmi dari Gedung Putih yang mengancam: tarif hukuman akan diberlakukan jika Jepang tak tunduk pada tenggat dagang baru. Lima bulan dari pujian ke penekanan. Dari topi ke ultimatum. Betapa cepatnya angin berubah arah di ibukota negara adidaya.

Dan Jepang pun terdiam. Bukan karena tidak punya kata, tapi karena apa yang ingin diucapkan terlalu getir untuk ditelan sendiri. Amerika, yang selama ini mereka anggap “saudara tua”, rupanya hanya bersaudara ketika saldo neraca dagang bersahabat. Begitu angka-angka mulai melukai harga diri Trump, maka seluruh sejarah persahabatan, investasi, bahkan solidaritas keamanan di Indo-Pasifik mendadak kehilangan nilainya. Jepang, yang selama ini menanam modal besar-besaran di Amerika dan menciptakan lebih dari satu juta lapangan kerja sejak 2019, kini diperlakukan setara dengan negara-negara yang nyaris tak punya jejak sejarah bersama. Tidak ada pengecualian, tidak ada keringanan. Hanya kalkulasi yang dingin, kaku, dan… ya, sangat Trumpian.

Donasi ke Vichara via Saweria

Dukung Vichara dengan berdonasi 💛

Dalam percaturan internasional yang makin menyerupai arena catur para miliarder, Jepang seolah sedang memainkan bidak putih dalam permainan yang dari awal sudah berat sebelah. Perdana Menteri Shigeru Ishiba berharap bisa mendapatkan perlakuan khusus, semacam kuota tarif seperti yang dinikmati mitra-mitra lama di masa jabatan Trump sebelumnya. Tapi kali ini, kata “khusus” sudah dibuang dari kamus Washington. “Japan is being treated the same as other Asian nations,” kata Tokuko Shironitta dari Asia Group, sebuah pernyataan yang terdengar adil di atas kertas, namun terasa seperti tamparan keras bagi Tokyo. Karena faktanya, Jepang tidak pernah memosisikan diri sama dengan negara-negara Asia lainnya dalam berurusan dengan AS. Mereka merasa lebih dekat, lebih “barat”, lebih senior. Tapi logika Trump tak mengenal kedekatan emosional. Ia hanya mengenal angka. Dan Jepang kebetulan sedang membawa angka yang salah.

Dari tujuh putaran perundingan, tak satu pun menghasilkan kemajuan berarti. Setiap langkah negosiasi selalu dibayangi oleh keterbatasan politik domestik Ishiba yang harus menghadapi pemilu parlemen pada 20 Juli. Membuka keran impor terlalu lebar bisa berarti bunuh diri politik, terutama jika menyangkut sektor pertanian dan otomotif. Dua sektor ini bukan sekadar statistik ekonomi, tapi simbol jati diri Jepang modern. Mobil mereka adalah kebanggaan. Beras mereka adalah harga diri. Maka ketika Trump menyebut tarif beras Jepang mencapai 700 persen, dan menganggapnya simbol proteksionisme yang keterlaluan, para pejabat Jepang hanya bisa menghela napas. Mungkin benar tarifnya tinggi, tapi itu bukan karena tamak—itu karena sejarah, budaya, dan kebijakan pangan nasional. Tapi bagaimana menjelaskan semua itu pada seorang presiden yang menyebut kesepakatan internasional sebagai jebakan dan institusi multilateral sebagai beban?

Mungkin Trump memang datang dari generasi Japan-bashing tahun 1980-an. Saat itu, Jepang sedang naik daun dan dianggap ancaman besar bagi industri Amerika. Ada nuansa nostalgia yang aneh dalam retorikanya hari ini—seolah dendam lama yang tertunda kini menemukan momen pembalasan. Bedanya, dulu Jepang kuat dan percaya diri. Sekarang, Jepang ragu dan tersandera. Tanpa sosok seperti Shinzo Abe yang dulu menjadi saluran diplomasi personal dengan Trump, Jepang kini kehilangan “jembatan emosi” ke Gedung Putih. Yang tersisa hanyalah data ekonomi yang tak lagi menyentuh simpati.

Inilah titik balik yang pahit. Jepang dihadapkan pada pilihan yang tak mudah: tunduk pada tekanan Gedung Putih demi mempertahankan stabilitas hubungan, atau berdiri tegak dan menerima konsekuensi, termasuk kemungkinan diganjar tarif tinggi atas ekspor mobilnya yang mencapai 1,4 juta unit ke AS tahun lalu. Ironisnya, Amerika hanya berhasil menjual 16.000 mobil ke Jepang. Sebuah kesenjangan yang jika dilihat dari angka, memang mencolok. Tapi Jepang punya alasan: jalanan sempit, tempat parkir mungil, dan preferensi konsumen yang berbeda. Tapi alasan-alasan itu hanya logis di Tokyo—tidak di Washington.

Dan jika Trump menuntut agar Jepang membuka keran lebih besar untuk beras Amerika, mungkin ada baiknya seseorang memberinya nasi Jepang dan nasi dari Arkansas dalam mangkuk yang sama, lalu meminta dia membedakan keduanya. Jepang tahu bahwa lidah rakyatnya bisa menerima banyak hal, tapi tidak sembarang nasi. Jepang tahu bahwa jika mereka menyerah di sektor ini, maka yang mereka bayar bukan hanya politik, tapi identitas. Itu sebabnya Ishiba menyebut proteksi beras sebagai “urusan kepentingan nasional”. Sebuah frasa yang berat, dan sayangnya, tidak punya nilai tukar tinggi dalam bahasa dagang Trump.

Yang lebih mengkhawatirkan, retaknya hubungan Jepang-AS ini bisa dibaca sebagai sinyal lemah oleh para rival kawasan. Cina, Rusia, bahkan Korea Utara tak butuh lebih dari satu celah untuk membaca goyahnya poros Tokyo-Washington. Seperti kata mantan Dubes Jepang untuk AS, Ichiro Fujisaki, jika hubungan terlihat renggang dari luar, maka lawan akan merasa punya ruang untuk bermanuver. Dan inilah yang membuat persoalan tarif ini bukan semata tentang ekonomi—tapi tentang posisi geopolitik Jepang di dunia yang makin tak menentu.

Maka muncullah pertanyaan mendasar: apakah Jepang akan terus berpegang pada ilusi bahwa mereka adalah “saudara tua” bagi Amerika? Atau sudah saatnya mereka sadar bahwa dalam permainan kekuasaan global, tak ada saudara—yang ada hanya kepentingan? Sebuah pernyataan lama pernah menyindir realitas ini: “Amerika tidak punya teman tetap, hanya punya kepentingan tetap.” Mungkin dulu terdengar sinis, tapi kini terdengar realistis, bahkan… terlampau jujur.

Di sinilah Jepang berdiri hari ini: di antara kenangan akan masa lalu yang manis dan tuntutan akan masa depan yang kejam. Di satu sisi, mereka ingin tetap menjadi mitra utama AS, menjaga relasi yang telah mereka rawat selama lebih dari setengah abad. Tapi di sisi lain, mereka sadar bahwa mempertahankan relasi itu kini menuntut pengorbanan yang makin besar—bukan lagi sekadar biaya politik, tapi juga martabat nasional.

Jepang sedang belajar bahwa bahkan dalam aliansi yang paling erat sekalipun, cinta yang tak setara hanya akan menghasilkan kekecewaan. Amerika tidak sedang marah, mereka hanya ingin lebih. Dan Jepang, jika terus berharap belas kasih dari Washington, mungkin harus siap menerima lebih banyak surat ancaman daripada topi-topi merah.

Dan bagi negara-negara seperti Indonesia, pelajaran ini terlalu mahal untuk diabaikan. Jika Jepang saja—yang sudah mencurahkan investasi, kesetiaan militer, bahkan gestur simbolik selama puluhan tahun—masih bisa dipermalukan oleh kepentingan sesaat, maka kita, yang hanya sesekali disapa dalam forum internasional, harus lebih cermat dan mandiri dalam membaca arah angin. Karena dunia kini bukan lagi tentang siapa teman kita, tapi tentang seberapa siap kita berdiri ketika teman berubah menjadi pedagang.

2 Comments

2 Comments

  1. Pingback: Bom Hiroshima & Nagasaki: Bahaya Terbesar Ada pada Pelaku - vichara.id

  2. Pingback: Krisis Demografi Jepang: Populasi Turun Rekor

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer