Opini
Jenin Rata dengan Tanah: Israel dan Dalih Keamanan

Israel kembali menunjukkan kepiawaiannya dalam seni penghancuran, kali ini dengan memporak-porandakan Jenin. Sebanyak 23 bangunan dihancurkan demi alasan keamanan, sebuah konsep yang tampaknya hanya bisa diterjemahkan sebagai hak mutlak untuk menghapus kehidupan warga Palestina. Dengan dalih memberantas terorisme, kini yang tersisa hanyalah reruntuhan, kehilangan, dan ribuan keluarga tanpa tempat tinggal.
Tentu saja, ini bukan kebrutalan, ini hanyalah bagian dari upaya ‘menjaga stabilitas’ di wilayah pendudukan. Karena di mata Israel, sebuah rumah yang dihuni oleh tiga atau empat keluarga Palestina bukanlah tempat tinggal, tetapi sarang ancaman. Dan ancaman harus dimusnahkan, tak peduli apakah yang ada di dalamnya lansia, anak-anak, atau sekadar orang-orang yang ingin hidup.
Para jenderal Israel, dengan bangga, mungkin tengah menggelar rapat evaluasi. Misi berjalan mulus: bangunan hancur, 15.000 orang terpaksa mengungsi, dan beberapa nyawa melayang. Pencapaian luar biasa! Dunia menyaksikan, namun dunia tetap bungkam. Seperti biasa, para pemimpin dunia hanya mengeluarkan kecaman setengah hati, lalu kembali menikmati kopi mereka.
Mungkin Israel ingin mencetak rekor baru dalam penghancuran infrastruktur Palestina. Ledakan demi ledakan mengguncang Jenin, terdengar hingga ke kota-kota sekitarnya. Sebuah pertunjukan kembang api yang luar biasa, kecuali bahwa ini bukan perayaan. Ini adalah tragedi, teater kehancuran yang dipentaskan oleh kekuatan militer dengan teknologi tercanggih melawan orang-orang tak berdaya.
Para pengungsi Jenin kini harus memulai lagi dari nol, jika mereka masih diberi kesempatan. Rumah yang mereka bangun dengan susah payah kini hanya tinggal abu. Tetapi tentu, Israel akan membela diri: semua ini untuk keamanan. Dan jika ada yang berani menyebut ini kejahatan perang, mereka akan segera dicap antisemit. Skakmat!
Sementara itu, di Arroub, tentara Israel memastikan tidak ada yang selamat dari kekejaman ini. Seorang pemuda 27 tahun, Mohammed Amjad Hadoush, kehilangan nyawanya. Apakah dia membawa senjata? Tidak ada bukti. Apakah dia ancaman nyata? Tentu saja, di mata Israel, menjadi warga Palestina sudah cukup untuk dianggap ancaman.
Seorang lelaki tua berusia 73 tahun juga ditembak mati. Teroris berbahaya, tentu saja. Mungkin dia mengancam tentara Israel dengan tongkatnya. Atau mungkin dia hanya sedang berjalan di halaman rumahnya, tanpa menyadari bahwa kehidupannya tak lebih berharga dibanding peluru yang menghujam tubuhnya. Dan dunia tetap berdiam diri, seperti biasanya.
Israel, seperti biasa, memiliki dalih yang solid. Ini semua bagian dari operasi ‘Iron Wall’, dinding besi yang tidak hanya memisahkan Israel dari Palestina, tetapi juga memisahkan nurani dunia dari realitas. Mereka menyebutnya operasi kontra-terorisme, tetapi yang diteror adalah rakyat Palestina, yang dihancurkan adalah kehidupan mereka.
Tak hanya rumah, masjid pun ikut terbakar. Mungkin karena doa-doa yang dipanjatkan di dalamnya terlalu berbahaya bagi Israel. Atau mungkin karena penghancuran tempat ibadah adalah bagian dari strategi ‘pengamanan’. Apa pun alasannya, yang jelas masjid itu kini menjadi abu, seperti harapan mereka yang pernah beribadah di dalamnya.
Pemukim ilegal, dengan penuh percaya diri, merangsek masuk ke pemakaman di Silwan, menghancurkan pagar dan mengklaimnya sebagai milik mereka. Mungkin karena bahkan orang mati pun dianggap sebagai ancaman. Atau mungkin karena, di mata mereka, tidak ada yang boleh tersisa dari Palestina, bahkan makam leluhur sekalipun.
Palestina terus berjuang, sementara Israel terus meratakan segalanya. Dunia mengecam, tetapi tidak berbuat apa-apa. Persis seperti yang diinginkan Israel. Dan begitulah siklus ini terus berlanjut, tanpa akhir, tanpa keadilan. Sementara itu, para politisi dunia tetap sibuk dengan kepentingan mereka, dan rakyat Palestina dibiarkan bertahan di tengah reruntuhan.