Opini
Jenin adalah Gaza di Tepi Barat

Pada 9 Februari, pasukan Israel memperluas operasi mereka di Tepi Barat, menggempur kota Tulkarem dan kamp pengungsi Nour Shams. Dua nyawa melayang, salah satunya seorang wanita hamil. Jika itu terjadi di Gaza, dunia mungkin sudah mengadakan rapat darurat. Namun di Jenin? Sunyi. Sepertinya, Jenin harus benar-benar seperti Gaza dulu, baru dunia akan berbicara tentang kemanusiaan.
Jenin, seperti Gaza, dilanda serangan brutal tanpa ampun. Pasukan Israel menggempur kamp-kamp pengungsi, menghancurkan rumah dan infrastruktur, sementara warga sipil tak berdaya terjebak di tengah kebrutalan itu. Tapi apa yang terjadi setelahnya? Dunia melihatnya dengan mata yang seolah-olah buta. Tidak ada pernyataan tegas dari negara-negara besar. Tidak ada aksi nyata. Seolah, Jenin hanyalah angka dalam laporan yang terlupakan.
Jika yang terjadi di Jenin adalah gempa bumi, dunia akan datang dengan bantuan. Jika itu adalah bencana alam, seluruh negara akan berbondong-bondong mengirimkan tim penyelamat. Namun, saat yang terbunuh adalah perempuan hamil dan anak-anak, saat rumah-rumah dihancurkan, hanya kesunyian yang mengisi ruang-ruang pertemuan internasional. Apakah begini standar kemanusiaan? Harus ada ledakan besar seperti di Gaza agar dunia terbangun?
Apa yang membuat Jenin berbeda? Mungkin ukurannya yang lebih kecil. Mungkin jumlah korbannya yang tidak cukup besar. Atau mungkin dunia hanya peduli jika kejadiannya menjadi spektakuler, penuh darah dan jasad bergelimpangan. Gaza telah menjadi simbol penderitaan Palestina, sementara Jenin hanya selembar berita kecil yang tenggelam di antara laporan lain. Penderitaan rakyat Palestina tak pernah cukup untuk membuat dunia merasa terganggu.
Bayangkan sejenak, jika Jenin benar-benar seperti Gaza—terisolasi, terkepung, dan dipenuhi reruntuhan. Barangkali, dunia akan terbangun dari tidur panjangnya. Barangkali, kata “genosida” akan lebih sering terdengar di depan kamera-kamera itu. Barangkali, tragedi kemanusiaan ini tidak akan lagi dipandang sebelah mata. Tapi kenapa harus seperti itu? Apakah nilai kehidupan manusia bergantung pada seberapa besar ledakan yang terdengar?
Saat Israel menyerang Jenin, kita tidak mendengar seruan yang keras dari negara-negara yang biasanya cepat bersuara. Tidak ada deklarasi yang menggugah atau aksi nyata untuk menekan penghentian kekerasan. Bahkan PBB, yang seharusnya menjadi suara bagi mereka yang tak bersuara, hanya bisa menawarkan resolusi yang tidak pernah dilaksanakan. Apa yang salah dengan dunia ini? Apakah harus menunggu skala kehancuran yang lebih besar untuk dunia peduli?
Rakyat Palestina di Jenin, seperti di Gaza, bukanlah angka statistik. Mereka adalah manusia dengan harapan dan mimpi yang sama. Namun, dunia memilih untuk menutup mata hingga darah mengalir deras dan jenazah bertebaran. Ketika ketidakadilan ini berlangsung, dunia yang seharusnya menjadi penjaga perdamaian justru menjadi penonton yang tak merasa tergerak. Jika Jenin ingin didengar, mungkin saja mereka harus mengikuti jejak Gaza dan menjadi panggung kehancuran yang spektakuler.
Bungkamnya dunia ini bukan hanya soal ketidakpedulian, tetapi juga tentang standar ganda dalam memperlakukan nyawa manusia. Ketika orang-orang Eropa dan Amerika melihat perang dan pertempuran ini sebagai angka statistik, mereka lupa bahwa di balik statistik itu ada keluarga yang kehilangan anggota, ada anak-anak yang kehilangan masa depan mereka. Lalu, kita bertanya—apakah Jenin harus benar-benar seperti Gaza agar dunia mau bersuara?
Mungkin kita sudah terbiasa dengan penderitaan Gaza, sehingga ketika Jenin merasakan hal yang sama, kita menganggapnya biasa saja. Seolah tidak ada yang luar biasa. Seolah hidup dan mati warga Palestina tidak lebih dari sekadar omong kosong dalam perbincangan politik internasional. Tapi apakah kita bisa terus seperti ini? Diam, berpura-pura tidak tahu, sampai suatu saat Jenin benar-benar menjadi Gaza, dan dunia baru terbangun untuk peduli?
Sampai kapan dunia akan membiarkan penderitaan ini terus berlanjut? Sampai kapan kita akan terus menunggu tragedi yang lebih besar untuk memicu aksi? Rakyat Palestina di Jenin dan Gaza pantas mendapatkan lebih dari sekadar kata-kata kosong. Mereka pantas mendapatkan dunia yang bersedia bertindak, bukan hanya berbicara saat ledakan sudah terjadi. Dunia harus memilih: terbangun dari tidur panjangnya atau membiarkan penderitaan ini berlangsung tanpa suara.