Connect with us

Opini

Jejak Satria: Dari Marinir ke Rusia, Apa yang Hilang?

Published

on

Ada yang mengiris hati saat melihat video viral di TikTok @zstorm689. Seorang pria, dulu gagah dengan baret ungu Marinir TNI AL, kini berdiri dalam seragam militer Rusia, seolah menertawakan sumpah yang pernah diucapkannya. Dia Satria Arta Kumbara, Sersan Dua yang dipecat karena desersi sejak 13 Juni 2022. Video itu, penuh narasi dramatis, bukan cuma soal dia, tapi tentang kita: apa yang retak di jiwa prajurit kita?

Kompas.com (11/5/2025) mengungkap, Satria diadili in absentia oleh Pengadilan Militer II-08 Jakarta, divonis setahun penjara dan diberhentikan tidak hormat per 17 April 2023. Tapi vonis itu terasa kosong—ia tak hadir, tak jelas apakah hukuman itu dijalani. Laksamana Pertama TNI I Made Wira Hady, Kadispenal TNI AL, menyebutnya pelaku desersi, pelanggaran berat. Tapi di balik hukum, ada kegelisahan: apa yang mendorong seorang Marinir memilih jalan pengkhianatan?

Laporan detik.com (10/5/2025) bilang Satria dulunya di Inspektorat Korps Marinir, prajurit terlatih yang seharusnya jadi kebanggaan. Tapi ia pergi, meninggalkan tugas tanpa izin, dan kini bertempur di Ukraina bersama Rusia. Gambar-gambar di TikTok, dengan seragam asing dan klip operasi militer, terasa seperti tamparan. Di Indonesia, seragam adalah simbol hormat, tapi Satria memakainya sebagai kenangan yang ditinggalkan. Apakah kita cukup mengenal beban yang dipikul prajurit kita?

Media sosial, seperti ditulis CNN Indonesia (11/5/2025), mempercepat kegaduhan. Unggahan @zstorm689, dengan kutipan emosional, tak cuma memamerkan Satria, tapi juga risiko glorifikasi. Di tengah budaya Indonesia yang gemar “viral,” kisah ini bisa menggoda jiwa-jiwa rapuh—prajurit yang merasa tertekan, atau pemuda yang melihat perang asing sebagai petualangan. Apa jadinya jika lebih banyak Satria muncul, terpikat oleh narasi heroik di ponsel mereka?

Ini bukan cuma soal Satria, tapi celah besar dalam sistem. Prajurit TNI punya keahlian tempur yang, jika jatuh ke tangan asing, bisa jadi ancaman. Sistem Informasi Penelusuran Perkara Dilmil II-08 Jakarta mencatat Satria bersalah atas “desersi dalam waktu damai.” Tapi setelah dipecat, ia lenyap. Tak ada jejak apakah ia masih WNI atau sudah berganti kewarganegaraan. Bukankah ini menunjukkan kita butuh pengawasan lebih ketat untuk eks prajurit?

Efek domino mengintai. Bayangkan prajurit lain, bergulat dengan gaji pas-pasan atau tekanan dinas, terinspirasi oleh Satria. Dunia kini terbuka—Rusia merekrut Satria, Israel menerima “lone soldiers” dengan bayaran besar, seperti dilaporkan Anadolu Agency (2023). Meski belum ada WNI di IDF, potensi itu nyata. Jika Rusia bisa, apa yang menghentikan Israel? Posisi pro-Palestina kita, yang begitu kuat, bisa ternoda oleh ulah segelintir orang.

Di kampung-kampung Indonesia, orang tua masih bangga anaknya jadi tentara, meski hidup mereka sederhana. Tapi kasus Satria, seperti luka, mengoyak kepercayaan itu. Di warung kopi, orang bicara dengan nada prihatin: “Gaji tentara kecil, tapi tuntutannya besar.” Itu bukan keluhan kosong, tapi cermin realitas. Pemerintah harus dengar—tunjangan lebih baik, konseling psikologis, jenjang karier adil. Bukankah itu cara kita bilang, “Kami peduli pada kalian”?

Hukum juga harus diperkuat. Satria, menurut Kompas.com, mengaku jadi “tentara organik” Rusia, bukan bayaran. Tapi klaim itu perlu diselidiki. Jika ia masih WNI, pemerintah harus bertindak—mungkin dengan sanksi seperti pencabutan kewarganegaraan, seperti yang diancamkan Afrika Selatan pada warganya di IDF. Kementerian Luar Negeri bisa keluarkan imbauan tegas: “Jangan gabung konflik asing.” Tanpa aturan keras, kasus ini cuma awal dari masalah besar.

Media sosial adalah medan perang baru. Unggahan TikTok tak cuma menyebar cerita, tapi juga narasi berbahaya. Pemerintah, lewat Kominfo, harus melawan dengan kampanye digital—cerita kebangsaan yang kuat, menonjolkan risiko hukum dan etika bergabung dengan militer asing. TNI bisa bikin konten yang dekat dengan anak muda, bukan cuma seremonial. Jika Satria terpikat oleh “kerennya” perang, bukankah kita bisa menang dengan cerita yang lebih manusiawi?

Diplomasi tak kalah urgent. Indonesia, dengan sikap netral di konflik Rusia-Ukraina dan pro-Palestina di Timur Tengah, tak boleh kecolongan. Kemenlu harus koordinasi dengan Rusia, Ukraina, bahkan Israel, untuk pantau WNI di zona konflik. Kerja sama dengan Interpol bisa diterapkan, seperti untuk kasus teroris. Satria lenyap setelah desersi—ini bukti kita butuh jaringan intelijen yang lebih luas. Apa kita siap hadapi dunia yang kian rumit?

Prajurit bukan cuma profesi, tapi simbol kehormatan. Ketika Satria memilih Rusia, ia tak cuma melanggar hukum, tapi juga nilai-nilai yang kita pegang. Pendidikan di barak harus diperkuat—tak cuma fisik, tapi juga jiwa. Cerita tentang tanah air, solidaritas, harus jadi napas sehari-hari. Jika Satria merasa negara jauh, mungkin kita gagal membuatnya merasa di rumah. Bukankah ini panggilan untuk kita perbaiki?

Pemerintah harus lihat ini sebagai krisis nasional. Kementerian Pertahanan, Kemenlu, Kominfo, dan BIN perlu bentuk tim khusus—audit ketidakpuasan prajurit, pantau eks prajurit, lawan narasi digital. DPR bisa dorong undang-undang baru soal keterlibatan WNI di konflik asing. Tanpa langkah besar, kita cuma menunggu Satria-Satria lain muncul, entah di Rusia, Israel, atau tempat lain. Apa kita rela kehilangan lebih banyak anak bangsa?

Terakhir, ini soal kita sebagai bangsa. Kita bangga dengan TNI, tapi apakah kita cukup mendukung mereka? Kita marah pada Satria, tapi sudahkah kita paham apa yang mendorongnya? Di tengah dunia yang kian liar, kita harus pegang erat tanah air dan kehormatan. Satria mungkin tersesat, tapi kita bisa pastikan tak ada lagi yang mengikuti jejaknya—dengan peduli, bertindak, dan membangun sistem yang lebih kuat.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *